Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, March 28, 2011

Yusuf Mooduto dan Ironi Kesetiaan

RIBUAN kata ingin tercetus dari mulut saya tatkala melihat satu gambar di Harian Manado Post, Sabtu (26 Maret 2011). Gambar itu mencantumkan keterangan bahwa Ketua PPP Bolmong, Yusuf Mooduto, sedang berteriak di pembukaan Musyawarah Wilayah (Muswil) PP di Hotel Sintesa Peninsula.

Lalu bibir saya mendesak menyemburkan ribuan kata lagi ketika bercakap-cakap per telepon dengan seorang kerabat di Kota Kotamobagu dan mengetahui detil kejadian yang melibatkan Yusuf itu. Yakni ketika itu dia bukan hanya cekcok mulut dengan Satgas Pengamanan Muswil, tapi bahkan ada adu jotos segala (tanpa dijelaskan lebih jauh, tulang tua Yusuf --seperti juga saya yang kian gampang keseleo walau hanya dicolek-- tentu kalah sakti dibanding otot, urat, dan tulang muda para Satgas).

Saya ingin mengatakan banyak hal. Bukan soal benar atau salah apa yang dia lakukan; bukan pula pantas atau tidak dia beraksi bagai koboi kehilangan kuda; melainkan tentang Yusuf Mooduto yang saya kenal.

Si Tukang Gertak

Beberapa tahun silam Institut Bakid in Totabuan bekerjasama dengan Centre for Electoral Reform (Cetro) berkenaan dengan kesadaran masyarakat terhadap partisipasi politiknya (di masa itu, seingat saya, semua orang sedang berada di puncak gairah reformasi). Salah satu yang disodorkan oleh teman-teman di Bakid sebagai nara sumber adalah Yusuf Mooduto. Mulanya saya kasak-kusuk mempertanyakan pilihan itu, mengingat reputasinya yang bagai Samudera Indonesia: lebih banyak bergolaknya ketimbang teduh.

Tapi akhirnya saya paham mengapa Yusuf menjadi salah satu nara sumber yang ideal, baik sebagai ketua partai, anggota DPR Bolmong, dan sebagai pribadi. Sebagai ketua partai dan anggota DPR Bolmong, Yusuf terkenal ceplas-ceplos, cenderung seenaknya, dan tidak kalah gertak --kerap bahkan dengan provokasi fisik. Temperamen Yusuf yang mudah ''naik'' itu sering membuat saya tertawa, mengingat badannya yang relatif tidak kekar --kurang lebih sama dengan sosok. Bukan sekali-dua saya mendengar Yusuf adu mulut hingga menjurus ke fisik, terutama dengan sesama politikus. Sebagai pribadi (bagian ini sungguh segar), Yusuf sebenarnya tidak mudah tersinggung, apalagi kalau disentuh di tempat yang tepat.

Saya ingat persis ketika itu dia baru saja mempersunting seorang gadis muda --saya lupa apakah itu istri kedua atau ketiganya. Yusuf yang datang bersama dengan sang istri sewaktu tampil di talk show di radio milik Pemda Bolmong, sama sekali tidak tersinggung, marah, apalagi menghunus kepalan diledek dan digoda oleh teman-teman yang sebagian berusia jauh di bawahnya. Dia malah ikut terlibat dalam percakapan ramai dan penuh tawa, hingga kami tertahan cukup lama di pelataran dan baru bubar begitu adzan magrib berkumandang.

Jauh sebelumnya saya sudah mengenal Yusuf, yang sebenarnya masih kerabat dari sisi ayah. Mungkin karena kekerabatan itu saya bisa tetap mengapresiasi sepak-terjangnya di satu sisi, dan tanpa takut bebas mengkritisi di sisi lain. Termasuk tidak merasa gentar ketika Tabloid Totabuan masih terbit dan mempublikasi sebuah tulisan yang membuat dia naik darah. Saya dan teman-teman di Totabuan diingatkan berkali-kali bahwa Yusuf ''konon'' berencana menggeruduk kantor kami di Kotamobagu, dengan membawa orang dilengkapi aneka senjata.

Nyatanya hingga Totabuan berhenti terbit hubungan Yusuf dengan saya dan teman-teman baik-baik saja. Bila bertemu kami masih tetap berpelukan, bertukar cerita lucu, dan terbahak bersama-sama. Saya juga masih setia mengikuti ''persilatannya'' di DPR Bolmong dan di PPP, termasuk ketika dia mendudukkan semua kerabat sebagai pengurus teras partai yang akhirnya bermuara konflik dan pencopotannya sebagai Ketua DPC PPP Bolmong.

Mengartikan Kesetiaan

Namun, bukan paparan di atas yang menjadi subtansi dari tulisan ini. Yang ingin saya ungkapkan adalah bagaimana sebagai politikus dan pribadi Yusuf Mooduto mengekspresikan kesetiaan dan ''rasa terima kasih'' terhadap orang yang menjadi patronnya, yaitu Bupati Marlina Moha-Siahaan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dia adalah salah seorang yang berada di lingkaran dalam Bupati, loyal, dan berani mengambil risiko tinggi dalam menunjukkan loyalitasnya. Di saat yang sama, terutama berkaitan dengan sikap politik, Yusuf juga bisa tiba-tiba mempertanyakan, mengkritik, atau mengecam kebijakan yang diambil Bupati.

Bisa jadi sikap kritis Yusud sudah ''diatur'' terlebih dahulu di balik meja dengan Bupati. Bila dugaan ini benar, justru disitulah letak keunggulan dan kepiawaiannya sebagai politikus: mampu menjaga keseimbangan dan mengambil manfaat di saat yang sama. Untuk bisa melakukan itu, seorang politikus harus cerdas, berpengalaman, serta trampil dari sisi taktik dan strategi.

Sekadar bermimpi-mimpi, bila saya seorang polikus yang menduduki jabatan Bupati, Walikota, atau Gubernur, saya ingin mengumpulkan orang-orang seperti Yusuf Mooduto di sekitar; dan agar mereka tidak lepas kendali, dipagari dengan komitmen yang jelas dan tegas. Aspek ini penting, menurut saya, karena faktanya Yusuf  ''terpeleset'' tatkala dia menjadikan PPP Bolmong sebagai organisasi keluarga. Andai sosok yang menjadi panutan Yusuf cukup jeli menjaga kebermanfaatan jangka panjangnya, seharusnya dia dinasehati (atau bahkan diinstruksikan) untuk berhati-hati dalam mengambil tindakan politik penting seperti mengurus PPP. Bila tak ada badai yang kemudian menjungkalkan Yusuf Mooduto dari PPP Bolmong, saya kira hasil Pilkada 22 Maret 2011 lalu bisa jadi berbeda dengan yang kita lihat hari ini.

Terjungkal dari partai yang menjadi pondasi politiknya, tak menggoyahkan Yusuf dan kemudian membuat dia buru-buru menyelamatkan diri. Masih segar di kepala saya, di malam pendaftaran Didi Moha-Norma Makalalag sebagai kandidat peserta Pilkada Bolmong 2011-2016, saya diundang ke kediaman pribadi Bupati Marlina Moha-Siahaan. Orang pertama yang berdiri, menyambut saya, dan memeluk adalah yusuf Mooduto. Di tengah pandangan mata puluhan orang, Yusuf dengan lantang berkata, ''Biar so bagini, nyanda mo ka mana-mana. Tetap di sini.''

Malam itu, tanpa terucapkan, saya memuji Yusuf Mooduto. Dia, dengan caranya sendiri yang ugal-ugalan dan beresiko tinggi, berhasil mengartikan kesetiaan politik yang mengundang kagum.

Itu sebabnya, ketika tahu dia ditolak masuk Muswil PPP dan kemungkinan ''tak bakal dipakai'' lagi oleh PPP Sulut, saya justru berpendapat lain. Bila seluruh jajaran PPP tahu mengapresiasi dan menggendalikan dia, maanfaatnya akan sangat luar biasa bagi kepentingan partai di masa datang. Masalahnya apakah mereka mampu membaca apa yang saya maksudkan; dan bersedia meluaskan hati?***