Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, March 27, 2011

Tiga Perkara dari Para Pecundang

SUNGGUH mengejutkan perkembangan Bolmong setelah Pilkada Selasa, 22 Maret 2011.

Di akhir pekan ini, sejak Jumat (25 Maret 2011) saya menerima sejumlah SMS dan telepon yang menginformasikan dinamika terakhir di tengah masyarakat, terutama berkaitan dengan manuver tim pemenangan dan pendukung kandidat yang kalah. Di sisi lain, masyarakat banyak yang terlibat sebagai pemilik suara, justru umumnya menerima hasil Pilkada tanpa banyak cingcong, apalagi mengancam-ngancam bakal menggungat dan bikin rusuh.

Ada setidaknya tiga isu yang menarik perhatian saya (walau sebenarnya tidak penting dan tak perlu ditanggapi. Tapi karena ini libur akhir pekan, apa salahnya saya meluangkan sedikit waktu untuk ''menunjukkan jalan yang benar'' pada beberapa orang yang patut dikasihani karena membodoh-bodohi diri sendiri). Di luar itu, isu sepele yang disampaikan, yang segera saya lepehkan adalah gigihnya salah satu anggota tim pemenangan pasangan Limi Mokodompit-Meidy Pandeirot, Pitres Sombowadile, menuduh pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk melakukan kecurangan lewat politik uang.

Sekadar memuaskan ego (sebagai orang Mongondow, saya berhak bicara. Pitres saja yang entah orang apa boleh bicara, masak saya tidak?), saya ingin memberikan sedikit saran pada Limi Mokodompit. Pertama, anggap saja Pitres sedang mengigau. Dia masih mencari-cari celah untuk membenar-benarkan kekeliruannya memberikan saran (atau apapun itu) dengan menyalahkan pasangan lain, dan di saat bersamaan mempertahankan pekerjaan sebagai ''konsultan''. Pak Limi, Anda hanya akan keluar biaya semakin banyak dengan hasil yang mungkin sama: Nol. Dua, saya kagum pada Pitres yang bisa tanpa tahu malu menuding kiri-kanan, sementara di saat bersamaan lupa bahwa dia pernah bersama-sama dengan sebuah tim yang secara terang-terangan dan brutal melakukan kecurangan (yang saat ini dia persoalkan --kalau pun itu benar) di masa lalu.

Dan ketiga, saya kagum pula pada pasangan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot yang sepengetahuan saya berpendidikan cukup tinggi, karena percaya pada orang yang track record-nya tidak lebih dari seorang tukang klaim. Saya bisa menunjukkan dalam sejarah saya mengenal Pitres, hampir tidak ada capaian yang benar-benar datang dari ide dan kerja kerasnya. Dan memang, untuk perkara ''curi-mencuri prestasi'' saya belum pernah mengenal sosok lain yang lebih hebat dari Pitres.

Urusan Pitres yang sangat tidak penting sampai di situ saja. Sebab kalau saya berpanjang-panjang, nanti dia merasa besar kepala dan mencari-cari cara pula agar kami bisa berpolemik (yang tentu saja tidak bakal dia menangkan).

Kembali pada tiga isu yang menarik perhatian saya, agar jangan jadi tanda-tanya, yang dimaksudkan adalah: Pertama, kabar bahwa seorang Kepala Dinas di Bolmong melakukan berbagai aksi (bahkan sudah patut diduga masuk kategori pidana) berkaitan dengan membangun opini bahwa ijazah Paket C Salihi Mokodongan tidak sah. Dua, demonstrasi menuntut Pilkada ulang di Bolmong yang dipimpin Effendi Abdul Kadir dan adanya laporan soal ijazah Salihi Mokodongan ke Polres Bolmong seorang PNS yang ''katanya' eks aktivis. Dan ketiga, bisik-bisik adanya upaya menggerakkan demonstrasi yang akan dipimpin oleh Benny Rhamdani.

Mari kita bahas urusan ini satu per satu, dimulai dengan isu pertama. Saya percaya sepenuhnya bahwa informasi yang saya terima benar adanya, apalagi orang yang ''diculik'' dan diancam oleh sang Kepala Dinas sudah menjalani pemeriksaan polisi pada Sabtu (26 Maret 2011). Saya bersimpati pada orang yang dianiaya itu, tetapi saya juga tiba-tiba merasa amat sangat kasihan pada si Kepala Dinas yang dikenal sebagai salah satu orang sangat dekat Bupati Bolmong saat ini.

Saya tidak tahu apakah yang dia lakukan adalah ekspresi kesetiaan pada Bupati Marlina Moha-Siahaan, dan karenanya si Kepala Dinas merasa harus berbuat sesuatu untuk menunjukkan dukungannya terhadap kekalahan putra junjungannya; atau memang pada dasarnya si Kepala Dinas cuma punya satu resep ampuh hingga mencapai jenjang karir saat ini, yaitu menjilat dengan membabi-buta. Mempersoalkan ijazah Salihi Mokodongan jelas tidak akan mengubah hasil Pilkada. Saya hampir yakin bahwa setelah KPU melakukan pleno, bila ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi, maka yang akan diterima hanyalah yang berkaitan dengan proses Pilkada. Urusan ijazah, bisa ke pengadilan pidana, perdata, atau PTUN. Di saat yang sama, bila Pilkada tidak diulang atau dibatalkan, Bupati-Wabup terpilih pasti akan dilantik.

Seperti apa nasib si Kepala Dinas nanti? Saya serahkan pada kreativitas imajinasinya untuk membayangkan apa yang akan dia pikul. Yang jelas, menurut informasi yang saya dapatkan, pelanggaran si Kepala Dinas sebagai birokrat sudah bertumpuk-tumpuk dan cukup untuk menyeret dia ke penjara. Bupati-Wabup terpilih tentu akan bekerja dengan profesional, adil, dan bijaksana; terutama mengusut semua kutu dan bangsat di dalam birokrasi Bolmong, saat mereka mulai menjalankan tugasnya.

Yang dilupakan pula oleh si Kepala Dinas yang --apa boleh buat dengan sedih saya harus bilang-- berotak udang itu adalah: memangnya cuma dia dan para pendukung calon yang kalah yang punya amunisi. Setahu saya hanya tinggal menunggu waktu akan ada laporan ke polisi bahwa ada konspirasi ijazah sarjana palsu dan penerimaan PNS dengan ijazah abal-abal di Bolmong. Yang terlibat adalah seorang PNS yang lulus SMU pada 2008 dan kemudian diterima sebagai PNS di 2010 untuk formasi sarjana.

Di belahan dunia mana pun, sejenius-jeniusnya seseorang hampir mustahil dia bisa menyelesaikan gelar sarjana hanya dalam waktu dua tahun.

Saya sebenarnya menuliskan informasi itu dengan kesedihan, karena betapa teganya orang membuka ''kotak pandora'' yang justru bisa membuat Bupati saat ini, Marlina Moha-Siahaan, kehilangan muka dan kredibilitas. Padahal, dalam pandangan saya, adalah sangat terhormat bila kita mengakhiri masa kepemimpinannya dengan mendudukkan dia sebagai tokoh yang patut diberi kehormatan.

Isu pertama itu terkait dengan isu kedua, tetapi dengan penekanan pada aspek lain, yaitu betapa tidak tahu dirinya orang-orang yang ge-er  mencari-cari muka ke Bupati Marlina Moha-Siahaan. Demo yang meminta Pilkada Bolmong diulang, yang dipimpin orang yang bukan penduduk Kabupaten Bolmong, cuma menunjukkan bahwa kelompok ini sudah kehabisan cara yang lebih pintar dalam menjilat. Sama halnya dengan PNS yang ''gatal'' melaporkan masalah ijazah Salihi Mokodongan ke polisi. Tidakkah terpikirkan di kepalanya yang berisi kacang polong itu, bahwa dia bisa terkena sanksi berlipat-lipat, termasuk pidana? Sebagai PNS dia bisa terkena sanksi karena terlibat politik praktis; dan sebagai pribadi bisa terkena ancaman pidana.

Dan isu ketiga, ancaman demo yang akan dipimpin Benny Rhamdany, sebenarnya juga terkait dengan isu kedua. Siapa Benny Rhamdani? Apakah dia penduduk Bolmong yang punya dan menggunakan hak pilih di Pilkada lalu; atau sekadar anggota tim pemenangan? Kalau karena sekadar anggota tim pemenangan, saya hanya bisa menasehati: ''Sudahlah, Ben, kalah memang pahit. Tapi itulah pilihan orang banyak. Tidak usah pakai ancam-ancaman dan demo segala, sebab kalau pengaruh Anda sehebat yang Anda kira, kandidat yang Anda dukung pasti menang.''

Yang menguatirkan saya, kalau sesumbar omong-kosong seperti yang suka dilakukan Benny Rhamdani tidak di-rem, bagaimana bila sekitar 50 ribu orang yang mendukung Salihi Mokodongan-Yani Tuuk marah dan juga ingin melakukan aksi tandingan? Lebih penting lagi, sebagai orang yang dalam status tahanan luar karena perkara pidana SPPD fiktik yang masih dalam proses, Benny tentu tidak bodoh hukum dan tahu pasti, polisi sebenarnya sudah berhak menjobloskan dia ke dalam penjara bahkan sekali pun baru menggumbar ancaman.***

.