Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, September 30, 2018

Menghormati Tai Sapi? Blum Stau!

Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup; dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia.
(Ali bin Abi Thalib, 599-611 M)

SELASA, 25 September 2018, sama dengan hari biasa lainnya. Saya bangun subuh, menyeret badan yang sedang diterjang flu dan batuk (barangkali gara-garatravelingterus-menerus dalam beberapa pekan terakhir), menyeduh kopi, dan bersiap berangkat ke kantor. Hari biasa dengan pagi cerah yang menandakan matahari bakal terik hingga petang.

Langit yang cerah membuat hari gembira. Itu sebabnya saya riang-riang belaka menjawab telepon yang masuk—sembari menikmati tol Sentul-Jakarta yang mulai dipadati rayapan mobil—, yang menanyakan apakah saya akan hadir di pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023. Tentu tidak, bukan hanya karena saya sedang tidak berada di Sulut, tetapi juga sebab banyak alasan ‘’memalukan’’ yang terpaksa mesti saya akui.

Pertama(dan terutama), saya tidak mendapat undangan. Jangankan dalam bentuk surat yang biasanya dihiasi gambar garuda; sekadar SMS atau WA basa-basi pun (yang pasti tidak saya harapkan dari TB atau NK) sama sekali tak ada. Dua, yang sangat terkait dengan poin pertama, memangnya siapa saya? Bukan ketua parpol; bukan pemuka masyarakat; tidak pula masuk kategori tokoh agama, adat, atau aktivis; lalu mengapa mesti berharap diundang? Dan ketiga, saya memang tidak punya jasa atau ‘’saham’’ terhadap terpilihnya Walikota-Wawali KK 2018-2023, kecuali sebagai penonton.

Bahwa, misalnya ada dugaan saya berada di balik beberapa orang yang menjadi tokoh kunci tim pemenangan TB-NK (yang sukses terpilih dan dilantik sebagai Walikota-Wawali KK), juga mengada-ada belaka. Yang benar, Ketua Tim Pemenangan, Syarif Mokodongan, pernah sekadar sambil lalu bertanya, apa pendapat saya jika dia mendukung TB-NK. Tentu respons saya ketika itu adalah mendukung 100%. Mau bagaimana lagi, tidak saya dukung 1.000% pun dia tetap akan menyokong dan bekerja keras untuk pasangan ini. Syarif orang merdeka yang berhak atas kemerdekaannya, termasuk merdeka mendukung atau tidak mendukung calon Walikota-Wawali.

Demikian pula sosok lain, Ismail Dahab, yang menjadi ‘’kembar siam’’ Syarif, yang mulanya enggan dengan macam-macam alasan yang sifatnya sangat personal. Kepada Ismail, saya hanya mencandai, otak rasionalnya sudah tercemar ego melankolis. Apa-apa pakai baper, padahal sebagai aktivis yang bertahun-tahun berada di pusaran politik praktis (mulai dari tukang sigi hingga pengatur strategi dan operator kandidat di kompetisi politik), dia mestinya khatam: perasaan adalah faktor ke 113 yang diperhitungan dalam politik.

Setelah ber-ha ha-he he dengan beberapa penelepon, juga membalas sejumlah WA dengan kegembiraan yang sama, saya menenggelamkan diri dalam kepadatan lalu lintas dengan membayangkan Syarif Mokodongan dan Ismail Dahab hadir dengan setelan rapih di pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023. Mereka berdua tentu saja duduk di kursi paling depan dengan senyum paling lebar yang dimiliki—dalam bayangan saya, gigi mereka mungkin perlu sering-sering dibilas karena senyum yang tak putus-putus selalu membuat gigi kering-kerotang. 

Kerja politik siang-malam yang dilakukan Syarif, Ismail, dan sejumlah orang (termasuk mereka yang kerap saya sebut ‘’adik-adik’’), jelas sangat melelahkan. Lahir-bathin. Menguras tenaga, juga emosi. Apalagi yang dihadapi bukan hanya kandidat dan tim lawan, tetapi juga kebodohan, kengawuran, sok tahu, dan macam-macam yang bikin ‘’hati lelah’’ di internal tim.

Lelah-luluh-lantak Syarif, Ismail, dan tim yang mendukung TB-NK terbayar dengan kemenangan. Saya tahu persis bagaimana sukacitanya mereka, yang bahkan masih tetap bersiaga, waspada, dan bekerja, jauh setelah hari pencoblosan selesai. Kandidat lawan, Jadi-Jo, kendati sudah terbukti kalah, masih tetap melakukan perlawanan. 

Bayangan indah itu yang menjelang siang mendorong saya menelepon Syarif, berbual-bual menanyakan bagaimana suasana pelantikan, sambil tak lupa mengucapkan selamat. Sungguh saya terkejut karena dengan nada datar Syarif menginformasikan bahwa pasangan TB-NK sama sekali tidak mengundang dia. Kalau pun ada undangan di tangannya, itu datang dari Pemkot yang ditujukan ke Ketua Nasdem KK (kebetulan Syarif-lah sang ketua dimaksud). 

Barangkali Syarif cuma sedang memprovokasi saya. Karenanya saya kemudian menelepon Ismail, yang setelah berkali-kali akhirnya tersambung dan menyahut dengan suara masih terdengar setengah memeluk bantal. Dia baru bangun tidur dan memang setengah harian bermalas-malasan karena tidak punya agenda keluar rumah. Termasuk agenda menghadiri pelantikan Walikota-Wawali KK, sebab, katanya sambil terbahak-bahak, ‘’Saya tidak tahu dan memang tidak diundang.’’

Walau lebih sering jauh dari Sulut dan KK beberapa waktu setelah Pilwako selesai dan pemenangnya diumumkan, saya tetap mendapat info lengkap ada ketidaksepahaman kecil antara Syarif dan Wawali terpilih. Masalah sepele tentu tak perlu didramatisir, apalagi misalnya antara Wawali terpilih dan Syarif, yang hubungannya lebih dari sekadar perkawanan. Yang paling gampang, lepaskan seluruh titledan embel-embel, panggil Syarif, dudukkan, marahi (jikapun dia memang melakukan kekeliruan) dan urusan selesai. 

Pemimpin yang sebenarnya adalah promotor kebijaksanaan dan solusi; kakak yang baik adalah pengusung akal sehat. Lagipula, manusia mana yang tidak terpeleset (bahkan terperosok) dalam kekeliruan? 

Sayangnya, sesuatu yang ‘’mendadak wah’’ memang kerap mengguncang yang tidak siap, bahkan seketika bisa mencerabut seseorang dari akar. Kekuasaan—jabatan dan (juga) uang, sepasang godaan yang selalu tak bisa dipisahkan—tampaknya tetap valid sebagai penguji. Dalam kasus Syarif—dan Ismail—, saya kira, mereka menjadi korban kenaifan prasangka bahwa seseorang yang diantar ke gerbang kekuasaan tetaplah dia yang dikenal sejak berpuluh tahun. Barangkali pula, sebagai dua orang yang kini total memasuki politik praktis, Syarif dan Ismail telah siap menerima perubahan yang paling menyakitkan sekalipun. Sayalah mungkin yang akhirnya tersadar dan menolak ‘’ketidakhormatan’’ tetap harus dibalas dengan ‘’kehormatan’’.

Buat saya, ‘’tak dianggapnya’’ Syarif dan Ismail saat pelantikan Walikota-Wawali KK 2018-2023, tak beda dengan memperlakukan mereka berdua dengan sangat tidak terhormat. Apapun kekhilafan dan kekeliruan yang mereka lakukan, sebesar gunung sekalipun, semestinya mereka lebih dari pantas tetap didudukkan dengan wajah tegak. Terlebih alasan utama bersedianya mereka bekerja (politik) untuk TB-NK (sudah saatnya saya membeber ini) bukanlah karena TB, melainkan semata dan sesungguhnya karena NK.

Dengan apa yang terjadi sebelum, pada saat, dan setelah pelantikan TB-NK sebagai Walikota-Wawali KK, saya (yang tentu, sekali lagi, bukan siapa-siapa) belajar satu lagi peringatan yang disampaikan kerabat, sahabat, dan menantu Nabi Muhammad SAW, Alih bin Abi Thalib, bahwa: ‘’Jika ingin menguji karakter seseorang, hormati dia. Jika dia memiliki karakter yang bagus, dia akan lebih menghormati dirimu. Namun jika dia memiliki karakter buruk, dia akan merasa dirinya paling baik dari semuanya.’’

Hari ini, jikapun seluruh KK, Sulut, bahkan seisi bumi, menghormati orang yang saya maksudkan dalam tulisan ini; barangkali karena yang dilihat adalah labelyang sedang disandang. Saya sendiri cukup puas dengan memandang dia tak lebih baik dari seonggok tai sapi. Hanya orang tak waras yang bersedia menghormati tai sapi. Dan saya kira saya masih sangat waras.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
Baper:Bawa Perasaan; Jadi-Jo:Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag; KK:Kota Kotamobagu; Nasdem:Nasional Demokrat; NK:Nayodo Kurniawan; Parpol:Partai Politik; Pemkot:Pemerintah Kota; SMS:Short MessageSulut:Sulawesi Utara; TB:Tatong Bara; WA:WhatsApp; dan Wawali:Wakil Walikota.