APA penyebab sepakbola Indonesia—negeri dengan penduduk lebih dari 200
juta jiwa—selalu gagal punya 11 orang yang pintar mengola sebiji bola dan bikin
gol? Ini bukan pertanyaan sinis atau retorik. Tidak pula membandingkan dengan
timpang antara jeruk nipis dan kelapa, misalnya jika Timnas Indonesia disanding
dengan Timnas Islandia yang sukses berlaga (nanti) di Piala Dunia 2018.
Islandia, negeri yang masuk jajaran
negara-negara Skandinavia, berdasar statistik 2016 hanya berpenduduk 334.252
jiwa. Sepakbolanya? Umumnya klub amatir yang para pesepakbolanya bermain
sebagai hobi belaka. Bahkan pekerjaan utama pelatih yang membawa negeri ini ke
Piala Dunia 2018, Heimir Hallgrimsson, adalah dokter gigi. Di luar kesibukannya
mengebor dan mencabut gigi, Hallgrimsson mengatur menejemen, strategi, dan
taktik Timnas Islandia supaya efektif mengocek bola dan menjebol gawang lawan. Mereka
sukses, berjaya, mengejutkan dunia.
Pasti ada nyinyir dan berkilah, ‘’Jangan
bandingkan Islandia dan Indonesia. Islandia itu negara makmur. Kita?’’ Baiklah.
Bagaimana dengan timnas Panama, negara berpenduduk hampir 4 juta jiwa
(perkiraan 2015) di Amerika Tengah yang babak-belur intrik dalam negeri dan
korupsi? Atau Nigeria, negara di Afrika Barat yang berpenduduk hampir 200 juta
jiwa, yang kerap diguncang konflik tetapi tetap mampu punya timnas yang
diperhitungan di Piala Dunia?
Bila dicermati—demikian pula pendapat dan
bual-bual para pengamat—, keberhasilan negara-negara ‘’di luar perhitungan’’
seperti Islandia dan Panama punya timnas sepakbola handal, tak lepas dari
manajemen, keseriusan, dan (yang terpenting) kesungguhan serta kekeras-hatian profesional
semua pihak yang terlibat. Organisasinya mengurus sepakbola bukan dengan otak
dan praktek politik. Wasitnya tidak memposisikan diri sebagai pemain ke-12
salah satu tim. Pelatih dan pemainnya fokus pada sepakbola, bukan intrik,
apalagi jual beli gol dan pengaturan pertandingan. Masyarakat dan (khusus)
penontonnya, memang berkeinginan melihat olah bola, bukan tawuran dan
pengerusakan.
Intinya, apapun dinamika dan gejolak
(politik-ekonomi-sosial, bahkan keamanan) yang terjadi, sepakbola tak perlu
dicemari dengan aspek-aspek non sepakbola. Dengan begitu, peluang memiliki 11
orang di lapangan yang benar-benar mendedikasikan seluruh tenaga dan pikirannya
membobol gawang lawan, menjadi optimal dan optimum.
Apa relevansi sepakbola, timnas Islandia,
Piala Dunia, dan KPU KK—yang menjadi tajuk tulisan ini? Tidak ada! Kecuali
bahwa ada persinggungan fungsi dan peran yang disebut ‘’penyelengara
(organisator) dan wasit’’ dalam laga bola dengan KPU sebagai ‘’penyelenggara
dan wasit’’ dalam perhelatan politik, lebih khusus lagi dalam konteks Pilwako
KK 2018, yang semaraknya kebetulan bersamaan dengan Piala Dunia 2018.
KPU KK adalah penyelenggara sekaligus wasit
dalam pelaksanaan Pilwako 2018. Dengan sejumlah tuntutan, setidaknya jujur,
terbuka, tertata-laksana, transparan, akuntabel, dan profesional. Aspek-aspek
ini menempatkan para komisioner dan perangkat KPU (tidak hanya di KK) harus
bersikap dan bertindak bagai malaikat. Dingin, lurus, tegas, dan tak pandang
bulu. Tidak boleh tergoda hanya karena tekanan, sentimen tertentu, apalagi fulus dan janji-janji politik.
Dengan segala kelemahan dan kekurangannya,
rekam-jejak KPU KK menunjukkan, lembaga ini dan orang-orangnya pernah menunjukkan
kinerja sangat terpuji. Di bawah kepemimpinan Nayodo Koerniawan (yang mundur
sebagai Ketua pada 2017 lalu dan mencalonkan diri sebagai Wawali KK 2018-2023
berpasangan dengan Tatong Bara), pada 2014 KPU KK diakui sebagai KPU terbaik
se-Sulut dan KPU berintegritas Tingkat Nasional untuk kategori kabupaten/kota.
Itu kinerja mengkilap yang dulu. Bagaimana
kini, terutama yang kita saksikan sejak tahapan Pilwako KK dimulai beberapa
waktu lalu? Menurut hemat saya, di Pilwako 2018 ini KPU KK tak beda dengan
warung kopi yang dijalankan dengan moto ‘’hear nothing, see nothing, say
nothing’’ lengkap dengan logo tiga monyet yang masing-masing menutup telinga,
mata, dan mulut. Sekadar untuk diketahui, tiga frasa bahasa Inggris ini pernah
populer sebagai judul album yang dirilis grup punk Inggris, Discharge, pada
1982.
Maaf saja. Saya tidak sedang
mengkampanyekan salah satu dari dua pasang calon Walikota-Wawali KK 2018-2023,
Tatong Bara-Nayodo Koerniawan atau Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag.
Siapapun yang duduk memimpin KK setelah Pilwako 27 Juni 2018, adalah pilihan
seluruh masyarakat. Soalnya adalah, bagaimana Pilwako diselenggarakan dengan
sebaik dan sebenar-benarnya?
Sebaik dan sebenar-benarnya tentu menuntut
jajaran KPU KK bukan berlagak seperti tiga monyet yang menutup telinga, mata,
dan mulut, sembari tetap menyajikan kopi serta camilan dan mengutip duit. Yang
tak peduli kopinya diseduh dari air comberan, yang camilannya penuh belatung,
sementara para pengunjung warung kopi saling jambak dan baku pukul.
Menutup telinga, mata, dan mulut dari calon
independen yang mengganti pasangan tiga hari sebelum pendaftaran, sungguhnya
menunjukkan ada yang tak punya otak di antara kita. Sedemikian pula dengan ketak-pedulian
bahwa di mana-mana orang (bahkan termasuk PPK dan PPS) mengakui ada
penyalahgunaan KTP dan manipulasi tanda tangan dukungan. Ini kerja
penyelenggara dan wasit macam apa?
Yang nyata dan telanjang seperti itu saja
diabaikan oleh KPU KK, apalagi yang lebih sedikit menukik dan substansial.
Misalnya soal surat pengunduran diri calon yang berstatus ASN, yang kebetulan
pernah tersandung pidana dan sudah diperintahkan dipecat oleh BKN. Aturan mana
yang akan dipakai? Yang dikeluarkan KPU, sekadar hasil konsultasi antara KPU KK
dan KPU Provinsi dan Pusat, atau UU dan turunannya yang mengikat ASN?
Manakah yang dirujuk KPU KK, sebagai penyelenggara
dan wasit Pilkwako, dalam isu itu? Tidak perlu menjadi ahli hukum atau
administrasi negara untuk mengkongklusi bahwa ASN yang mengajukan pengunduran
diri (dengan hormat), sementara dia dalam proses pemecatan, jelas tidak
memenuhi syarat. Lain soal kalau yang diajukan adalah surat keterangan dalam
proses pemecatan.
Tapi, memang apa yang diharapkan dari
warung kopi bermoto ‘’hear nothing, see nothing, say nothing’’ dengan logo tiga
monyet yang menutup telinga, mata, dan mulut; kecuali situasi centang-perenang
tak karuan. Itu pula yang membuat saya tak heran jika KPU KK mesti menghadapi
gugatan para calon di Pilwako 2018 seperti yang dipublikasi kroniktotabuan.com, Selasa, 20 Februari
2018, TBNK dan JaDi-Jo Gugat KPU ke Panwaslu, Ini
Permintaan Mereka (https://kroniktotabuan.com/2018/02/20/tbnk-dan-jadi-jo-gugat-kpu-ke-panwaslu-ini-permintaan-mereka/) atau totabuan.co, Dua Pasangan Calon di PIlkada Kota Kotamobagu Saling Gugat (http://totabuan.co/2018/02/dua-pasangan-calon-di-pilkada-kota-kotamobagu-saling-gugat/), juga di hari yang
sama.
Saling gugat itu tampaknya baru pemanasan.
Dengan KPU KK yang ’hear nothing, see nothing, say nothing’’ sembari hanya bersandar
pada putusan dan petunjuk KPU provinsi dan pusat, saya menyiapkan diri menerima,
bahwa: Seperti sepakbola Indonesia, bukan tak mungkin pada akhirnya bakal
terbukti KPU KK tak lebih dari bagian tim sukses salah satu pasangan calon.
Petanda yang kasat mata adalah fakta yang
sulit diperdebatkan.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; BKN:
Badan Kepegawaian Nasional; KK: Kota
Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan
Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil
Walikota); PPK: Panitia Pemungutan
Kecamatan; PPS: Panitia Pemungutan
Suara; Sulut: Sulawesi Utara; Timnas: Tim Nasional; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.