Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, February 21, 2018

KPU KK dan Centang-perenang Warung Kopi

APA penyebab sepakbola Indonesia—negeri dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa—selalu gagal punya 11 orang yang pintar mengola sebiji bola dan bikin gol? Ini bukan pertanyaan sinis atau retorik. Tidak pula membandingkan dengan timpang antara jeruk nipis dan kelapa, misalnya jika Timnas Indonesia disanding dengan Timnas Islandia yang sukses berlaga (nanti) di Piala Dunia 2018.

Islandia, negeri yang masuk jajaran negara-negara Skandinavia, berdasar statistik 2016 hanya berpenduduk 334.252 jiwa. Sepakbolanya? Umumnya klub amatir yang para pesepakbolanya bermain sebagai hobi belaka. Bahkan pekerjaan utama pelatih yang membawa negeri ini ke Piala Dunia 2018, Heimir Hallgrimsson, adalah dokter gigi. Di luar kesibukannya mengebor dan mencabut gigi, Hallgrimsson mengatur menejemen, strategi, dan taktik Timnas Islandia supaya efektif mengocek bola dan menjebol gawang lawan. Mereka sukses, berjaya, mengejutkan dunia.

Pasti ada nyinyir dan berkilah, ‘’Jangan bandingkan Islandia dan Indonesia. Islandia itu negara makmur. Kita?’’ Baiklah. Bagaimana dengan timnas Panama, negara berpenduduk hampir 4 juta jiwa (perkiraan 2015) di Amerika Tengah yang babak-belur intrik dalam negeri dan korupsi? Atau Nigeria, negara di Afrika Barat yang berpenduduk hampir 200 juta jiwa, yang kerap diguncang konflik tetapi tetap mampu punya timnas yang diperhitungan di Piala Dunia?

Bila dicermati—demikian pula pendapat dan bual-bual para pengamat—, keberhasilan negara-negara ‘’di luar perhitungan’’ seperti Islandia dan Panama punya timnas sepakbola handal, tak lepas dari manajemen, keseriusan, dan (yang terpenting) kesungguhan serta kekeras-hatian profesional semua pihak yang terlibat. Organisasinya mengurus sepakbola bukan dengan otak dan praktek politik. Wasitnya tidak memposisikan diri sebagai pemain ke-12 salah satu tim. Pelatih dan pemainnya fokus pada sepakbola, bukan intrik, apalagi jual beli gol dan pengaturan pertandingan. Masyarakat dan (khusus) penontonnya, memang berkeinginan melihat olah bola, bukan tawuran dan pengerusakan.

Intinya, apapun dinamika dan gejolak (politik-ekonomi-sosial, bahkan keamanan) yang terjadi, sepakbola tak perlu dicemari dengan aspek-aspek non sepakbola. Dengan begitu, peluang memiliki 11 orang di lapangan yang benar-benar mendedikasikan seluruh tenaga dan pikirannya membobol gawang lawan, menjadi optimal dan optimum.

Apa relevansi sepakbola, timnas Islandia, Piala Dunia, dan KPU KK—yang menjadi tajuk tulisan ini? Tidak ada! Kecuali bahwa ada persinggungan fungsi dan peran yang disebut ‘’penyelengara (organisator) dan wasit’’ dalam laga bola dengan KPU sebagai ‘’penyelenggara dan wasit’’ dalam perhelatan politik, lebih khusus lagi dalam konteks Pilwako KK 2018, yang semaraknya kebetulan bersamaan dengan Piala Dunia 2018.

KPU KK adalah penyelenggara sekaligus wasit dalam pelaksanaan Pilwako 2018. Dengan sejumlah tuntutan, setidaknya jujur, terbuka, tertata-laksana, transparan, akuntabel, dan profesional. Aspek-aspek ini menempatkan para komisioner dan perangkat KPU (tidak hanya di KK) harus bersikap dan bertindak bagai malaikat. Dingin, lurus, tegas, dan tak pandang bulu. Tidak boleh tergoda hanya karena tekanan, sentimen tertentu, apalagi fulus dan janji-janji politik.

Dengan segala kelemahan dan kekurangannya, rekam-jejak KPU KK menunjukkan, lembaga ini dan orang-orangnya pernah menunjukkan kinerja sangat terpuji. Di bawah kepemimpinan Nayodo Koerniawan (yang mundur sebagai Ketua pada 2017 lalu dan mencalonkan diri sebagai Wawali KK 2018-2023 berpasangan dengan Tatong Bara), pada 2014 KPU KK diakui sebagai KPU terbaik se-Sulut dan KPU berintegritas Tingkat Nasional untuk kategori kabupaten/kota.

Itu kinerja mengkilap yang dulu. Bagaimana kini, terutama yang kita saksikan sejak tahapan Pilwako KK dimulai beberapa waktu lalu? Menurut hemat saya, di Pilwako 2018 ini KPU KK tak beda dengan warung kopi yang dijalankan dengan moto ‘’hear nothing, see nothing, say nothing’’ lengkap dengan logo tiga monyet yang masing-masing menutup telinga, mata, dan mulut. Sekadar untuk diketahui, tiga frasa bahasa Inggris ini pernah populer sebagai judul album yang dirilis grup punk Inggris, Discharge, pada 1982.

Maaf saja. Saya tidak sedang mengkampanyekan salah satu dari dua pasang calon Walikota-Wawali KK 2018-2023, Tatong Bara-Nayodo Koerniawan atau Jainuddin Damopolii-Suharjo Makalalag. Siapapun yang duduk memimpin KK setelah Pilwako 27 Juni 2018, adalah pilihan seluruh masyarakat. Soalnya adalah, bagaimana Pilwako diselenggarakan dengan sebaik dan sebenar-benarnya?

Sebaik dan sebenar-benarnya tentu menuntut jajaran KPU KK bukan berlagak seperti tiga monyet yang menutup telinga, mata, dan mulut, sembari tetap menyajikan kopi serta camilan dan mengutip duit. Yang tak peduli kopinya diseduh dari air comberan, yang camilannya penuh belatung, sementara para pengunjung warung kopi saling jambak dan baku pukul.

Menutup telinga, mata, dan mulut dari calon independen yang mengganti pasangan tiga hari sebelum pendaftaran, sungguhnya menunjukkan ada yang tak punya otak di antara kita. Sedemikian pula dengan ketak-pedulian bahwa di mana-mana orang (bahkan termasuk PPK dan PPS) mengakui ada penyalahgunaan KTP dan manipulasi tanda tangan dukungan. Ini kerja penyelenggara dan wasit macam apa?

Yang nyata dan telanjang seperti itu saja diabaikan oleh KPU KK, apalagi yang lebih sedikit menukik dan substansial. Misalnya soal surat pengunduran diri calon yang berstatus ASN, yang kebetulan pernah tersandung pidana dan sudah diperintahkan dipecat oleh BKN. Aturan mana yang akan dipakai? Yang dikeluarkan KPU, sekadar hasil konsultasi antara KPU KK dan KPU Provinsi dan Pusat, atau UU dan turunannya yang mengikat ASN?

Manakah yang dirujuk KPU KK, sebagai penyelenggara dan wasit Pilkwako, dalam isu itu? Tidak perlu menjadi ahli hukum atau administrasi negara untuk mengkongklusi bahwa ASN yang mengajukan pengunduran diri (dengan hormat), sementara dia dalam proses pemecatan, jelas tidak memenuhi syarat. Lain soal kalau yang diajukan adalah surat keterangan dalam proses pemecatan.

Tapi, memang apa yang diharapkan dari warung kopi bermoto ‘’hear nothing, see nothing, say nothing’’ dengan logo tiga monyet yang menutup telinga, mata, dan mulut; kecuali situasi centang-perenang tak karuan. Itu pula yang membuat saya tak heran jika KPU KK mesti menghadapi gugatan para calon di Pilwako 2018 seperti yang dipublikasi kroniktotabuan.com, Selasa, 20 Februari 2018, TBNK dan JaDi-Jo Gugat KPU ke Panwaslu, Ini Permintaan Mereka (https://kroniktotabuan.com/2018/02/20/tbnk-dan-jadi-jo-gugat-kpu-ke-panwaslu-ini-permintaan-mereka/) atau totabuan.co, Dua Pasangan Calon di PIlkada Kota Kotamobagu Saling Gugat (http://totabuan.co/2018/02/dua-pasangan-calon-di-pilkada-kota-kotamobagu-saling-gugat/), juga di hari yang sama.

Saling gugat itu tampaknya baru pemanasan. Dengan KPU KK yang ’hear nothing, see nothing, say nothing’’ sembari hanya bersandar pada putusan dan petunjuk KPU provinsi dan pusat, saya menyiapkan diri menerima, bahwa: Seperti sepakbola Indonesia, bukan tak mungkin pada akhirnya bakal terbukti KPU KK tak lebih dari bagian tim sukses salah satu pasangan calon.

Petanda yang kasat mata adalah fakta yang sulit diperdebatkan.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:


ASN: Aparatur Sipil Negara; BKN: Badan Kepegawaian Nasional; KK: Kota Kotamobagu; KPU: Komisi Pemilihan Umum; KTP: Kartu Tanda Penduduk; Pilwako: Pemilihan Walikota (dan Wakil Walikota); PPK: Panitia Pemungutan Kecamatan; PPS: Panitia Pemungutan Suara; Sulut: Sulawesi Utara; Timnas: Tim Nasional; UU: Undang-undang; dan Wawali: Wakil Walikota.