Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 29, 2011

Surat untuk Pembaca: Maafkan Saya….

ARTIKEL terakhir yang diunggah di blog ini adalah pada Rabu, 22 Juni 2011 (Walikota KK dan Selamat HUT untuk Dirinya Sendiri). Saya menulis artikel itu dalam perjalanan dari Amsterdam ke Den Haag sembari menjagakan mata dari siksaan kantuk.

Bersigegas ke stasiun mengejar kereta subuh di bawah guyuran hujan dan angin dingin akhir musim semi membuat di mana pun berada saya selalu merindukan Tanah Air. Omong kosong bila ada yang mengatakan hidup di negeri maju seperti di Eropa Barat, di mana hampir segalanya tertata, tertib, dan berbudaya, lebih indah dari dunia ketiga yang tropis, panas, penuh keringat, tak disiplin dan kacau-balau.

Seorang kawan dari Kotamobagu yang menelepon beberapa hari sebelumnya, saat saya yang sedang kedinginan dan terburu-buru mau menghadiri satu pertemuan di Munich, spontan berkomentar, ‘’Oh, di luar negri, dang. Pe sadap skali kang….’’ Aimak, kawan ini tak tahu bahwa satu-satunya kenikmatan ke luar negeri adalah menjadi turis untuk sepekan-dua pekan. Kalau setiap bulan pindah dari satu negara ke negara lain, terutama di akhir musim gugur, musim dingin, atau awal dan akhir musim semi, bagi makluk tropis seperti saya yang terasa adalah tak beda dengan hukuman.

Belum lagi bila penerbangan yang ditempuh tergolong jarak jauh, setidaknya lebih dari 12 jam non stop (atau bahkan hampir 30 jam seperti Jakarta-Lima –ibukota Peru). Tiba di tempat tujuan dijemput jet lag, pulang ke rumah (di Jakarta atau Manado) disambut rasa yang sama. Bahkan duduk manis di pesawat, tidur-tiduran, menonton film, mendengar musik, makan dan minum (dan sesekali ke kamar kecil) pun bisa berakhir sebagai siksaan.

Dan perjalanan jauh, berpindah-pindah dengan jadwal kerja yang padat, sungguh mengguras energi. Itu pula yang mengherankan saya setiap kali membaca anggota DPR atau pejabat tinggi yang studi banding (utamanya) keluar negeri dan masih berkesempatan belanja serta ber-entertainment sepuas-puasnya. Mereka pergi studi banding, lengkap dengan membaca dan menelisik apa yang akan dipelajari, atau berwisata dengan alasan yang seolah-olah cerdas?

Bahkan sekadar berwisata pun orang-orang penting di negeri ini (atau khusus di Mongondow yang kian doyan berbondong ke Singapura) semestinya bisa memetik pelajaran penting. Katakanlah bagaimana kota-kota yang baik menata kawasan pemukiman, ekonomi, penyangga, serta yang dicadangkan untuk pengembangan jangka panjang. Atau yang lebih sepele, bagaimana menyediakan tempat bagi pejalan kaki, menanam pohon dan menata fasilitas umum hingga orang betah berada di ruang terbuka.

Pepohonan tidaklah mudah tumbuh di kawasan-kawasan tertentu di luar sana, namun di hampir semua kota (termasuk kota sangat kecil) penduduknya punya kesadaran menanam sesuatu. Salah satu perbedaan paling menggelikan adalah melihat jendela apartemen (nama Indonesianya adalah ‘’rumah susun’’, tapi jarang digunakan sebab kurang keren kecuali untuk kelas menengah-bawah) di negeri ini yang dihiasi jemuran, sementara di luar dipenuhi bunga (alamiah) aneka warna.

Kalau ada yang mengatakan saya gegar dan berkiblat ke negara-negara maju, maka pergilah ke Afrika, di mana di banyak kotanya jalanan kiri-kanan diteduhi pepohonan sepelukan dua orang dewasa. Tayangan televisi yang meracuni kita dengan gurun pasir atau sabana yang dipenuhi rumput dan sesekali sepokok pohon raksasa, bukanlah Afrika yang utuh. Menelusuri jalanan di kota seperti Acra (Ghana) atau Lome (Togo) kita perlu ekstra waspada agar tidak dikucuri tai burung atau kelelawar yang hidup di rindangan pepohonan.

Apa susahnya membuat kota-kota di Mongondow diteduhi pepohonan? Sungguh memalukan alasan Kota Kotamobagu (KK) gagal meraih Adipura karena salah satu aspek, penghijauan kota, mendapat nilai sangat rendah. Padahal di seantero Mongondow pohon apa saja (kecuali pohon duit), sangat mudah tumbuh.

Barangkali karena kebanyakan kita, terutama para pemimpin yang menduduki posisi elit politik dan birokarasi, terbiasa berpikir sempit dan demi keuntungan pribadi. Soal apa yang akan diwarisi anak cucu, cuma sampai ke rumah besar (yang saking besarnya hingga sulit dirawat), mobil, dan harga-benda artifisial lainnya. Bukan tentang gagasan dan ide menjadi lebih baik dari satu generasi ke generasi berikut.

Maafkan Saya

Tapi kali ini bukan soal bagaimana kita belajar dari komunitas yang minimal sudah menunjukkan keberhasilan menata kota mereka dengan baik, menghormati manusia pemukimnya dan lingkungan yang mendukung. Yang ingin saya tulisakan adalah permintaan maaf pada para penikmat blog ini yang selama lebih sepekan kecewa (mungkin pula jengkel) karena tak ada tulisan baru yang diunggah.

Permintaan maaf ini terlebih pada 117 pengakses yang telah meluangkan waktunya memilih ‘’pembaharuan setiap hari’’ di survei yang hasilnya masih terpampang hingga artikel ini ditulis. Survei itu tidaklah main-main dan karenanya saya harus bertanggungjawab memenuhi harapan yang sudah dimintakan pendapat pada para pembaca.

Demikian pula terhadap mereka yang meluangkan waktu mengirimkan tulisan memperkaya blog ini. Saya tidak bersengaja belum memampang, tapi karena memang selama dua pekan terakhir jadwal kerja benar-benar padat dan melelahkan.

Maka, walau tak ada yang menangih (barangkali pula ini hanya ‘’ke-ge-er-an’’ dan perasaan bahwa banyak orang yang menunggu pembaharuan blog ini), saya ingin menegaskan: Maafkan saya. Walau barangkali tak banyak yang sesungguhnya secara rutin mengakses blog ini, membaca dan memperhatikan isinya, komitmen terus-menerus memperbaharui dan berbagi pikiran, gagasan, ide, atau sekadar repeten orang yang jengkel terhadap satu isu, sedapatnya akan saya tegakkan.***