Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 10, 2011

Tanggapan Tanpa Judul

Artikel Nah, Ini Dia Wartawan Duga-Duga yang diunggah Minggu, 5 Juni 2011, ditanggapi Uwin Mokodongan dengan mengirimkan tulisan lewat email kronik.mongondow@gmail.com pada Kamis subuh, 9 Juni 2011. Subyek emailnya adalah: Untuk Bung Katamsi Lagi. Sebab saya tidak yakin apakah ini judul tulisan, maka lebih baik tanggapannya ditajuki ‘’Tanggapan Tanpa Judul’’.

Oleh Uwin Mokodongan

UNTUK Bung Katamsi lagi. Tangapan yang ketiga-kalinya, semoga ini yang terakhir.

Soal kata “alas-dasar” yang tak dimengerti apa artinya, sampai-sampai ditanya kalau dipetik dari pohon sirsak siapa (yang pasti bukan pohon sirsak di teluk Buyat), jawaban saya adalah: “alas-dasar” adalah kata “bikinan” saya yang selain bisa mempertontonkan ketololan dalam memadu dua suku kata yang artinya nyaris sama, hal itu memang cukup membingungkan orang yang tidak berpikir atau pura-pura tidak berpikir. Tapi minimal, dengan memaklumi bahwa “si empu” kata adalah saya, orang bebal atau pandir yang sok pintar atau berusaha memintar-mintarkan diri, maka urusan “alas-dasar” itu tak perlu disoal atau dibesar-besarkan. Jika itupun perlu dibesar-besarkan sebab tidak menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar, maka biarlah itu menjadi bahan tertawaan para pembaca terhadap tulisan saya.

Akan tetapi, karena hal itu ditanyakan, maka disini saya ingin menyampaikan bahwa yang saya maksudkan dengan kata “alas-dasar” tak kurang dan tak lebih adalah arti kata itu sendiri, yakni alas dan dasar (saya kasih jeda waktu untuk tertawa setelah membaca ini). Agar bisa bikin terkakak-kakak lagi maka saya kasih contoh penggunaanya seperti yang ada didalam tulisan saya sebelumnya di Wartawan Itu Pun Kuli Tinta. Saya kutip: Soal dimana “alas-dasar” dari Bung Katamsi yang telah menempeli saya dengan anggapan yang tak main-main itu, Bung Katamsi sendiri yang paling tahu.

Kata “alas-dasar” yang saya maksud ini, boleh pembaca ganti dengan kata “alasan” atau “dasar”. Sehingga kalimat diatas bisa dimaknai atau ditulis begini: Soal dimana “alasan” dari Bung Katamsi yang telah menempeli saya dengan anggapan yang tak main-main itu, Bung Katamsi sendiri yang paling tahu. Atau, Soal dimana “dasar” dari Bung Katamsi yang telah menempeli saya dengan anggapan yang tak main-main itu, Bung Katamsi sendiri yang paling tahu.

Jika yang saya maksudkan ini tidak tepat atau salah, maka maafkan sudah membuat bingung (sudah saya akui jauh-jauh kalau saya adalah wartawan amatiran, yang semakin celaka dan menggelikan lagi sebab tolol meramu kalimat, juga distempeli tinggi hati).

Soal kuli tinta dan “laporan” Katamsi Ginano yang mengatakan bahwa sudah melakukan editing kecil dan membiarkan banyak kesalahan saya dalam menulis supaya pembaca bisa mencecap yang mana yang sungguh menguasai fundamen bahasa; mana yang hanya ingin dikesankan pintar dan hebat (tulisan miring kutipan asli), untuk ini saya sebenarnya agak menyesal. Kenapa? Sebenarnya saya berharap tak usah dilakukan editing kecil supaya semua ketololan saya dapat terpampang luas lebar dimata pembaca agar bisa mengetawai dengan luas lebar pula. Contoh editing yang dilakukan Bung—yang jujur amat saya sesali—adalah  sebagai berikut: Kemudian soal penggunaan kata kuli tinta untuk menyebut atau mengidentifikasi pekerjaan sebagai wartawan, saya merasa kalau itu adalah ‘’kesenangan’’ dalam menyebut diri, sama senangnya dengan disebut wartawan.

Padahal versi asli tulisan yang saya kirimkan adalah: Kemudian soal penggunaan kata kuli tinta yang kerap saya lakukan untuk menyebut atau mengidentifikasikan pekerjaan saya sebagai wartawan, saya merasa kalau itu adalah “kesenangan” saya dalam menyebut diri sebagai kuli tinta, sama senangnya saya disebut wartawan.

Semoga pembaca bisa membandingkanya.  Soal “insiden” editing kecil ini mungkin adalah itikad baik, yang mungkin pula bertujuan supaya pembaca mudah menyerap maksud yang saya utarakan. Maklum ada banyak pengulangan dan kata belepotan kemana-mana.

Namun pertanyaan saya adalah: Bukankah lebih baik kalau membiarkan versi aslinya supaya ketololan yang saya pertontonkan bisa terbaca orang-orang yang sempat singgah membaca? Sebab peng-edit-an yang “keliru” juga bisa menimbulkan tafsir yang salah.

Selanjutnya dikatakan bahwa istilah kampungan memang cocok disematkan ke jidat saya, meski saya sendiri agak trenyuh ketika menyadari orang se-hebat Katamsi Ginano dalam urusan jurnalistik masih suka memakai istilah kampungan sebagai kata ganti menyebut orang bebal, tolol, bodoh, atau pandir. Meski diklarifikasi bahwa konteks tulisan itu tidak merujuk pada perilaku orang kampung, tapi pada arti yang lain dari kata tersebut. Nah kalau arti lain dari Kampungan yang menurut Katamsi Ginano memang cocok disematkan ke jidat saya itu adalah bodoh, dungu, tolol atau pandir, kenapa tidak menyebut saja saya dengan istilah itu ketimbang harus mencaci saya dengan memakai kata kampungan? Katakanlah tolol kalau tolol, katakan dungu kalau dungu, tak perlu memakai kata Kampungan. Beberapa penulis senior sudah tidak mau menggunakan istilah Kampungan sebagai kata makian. Tak percaya? Bung tahu dimana bisa mencarinya.

Selanjutnya soal saya yang banyak menyalin kata di KBBI, bukankah itu saya lakukan atas dasar perintah Bung sendiri? Kok, kembali disoal?

Soal duga-duga, bukankah Bung juga bahkan nekat menduga bahwa tulisan saya adalah hasil keroyokan? Tulisan goblok begini kok hasil keroyokan? Orang tolol macam mana mau menjerumuskan diri mereka secara berjamaah dengan “penulis” tolol macam saya yang cuma bikin mereka jadi bahan tertawaan yang menjengkelkan?

Soal “geer”, saya sudah mengakui hal itu yang saya sadari pula bahwa sebenarnya sangat terprovokasi akibat kekecewaan terhadap satu-dua pembaca Kronik Mongondow —sudah pasti tidak semua pembaca—yang menuduh saya macam-macam hanya karena nama media saya bekerja di cantumkan dalam posting-an artikel di antaranya berjudul Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan dan Hore…! Maka kepada mereka (satu dua pembaca yang binombulow) saya —secara pribadi— meminta kumpul koran tempat saya bekerja dan cari judul atau isi berita mana yang saya turunkan menghujat atau memusuhi.

Selanjutnya, mengenai Pietres Sambowadile, saya tidak mengutip yang bersangkutan sebagai Tim Pemenangan lagi dalam berita yang diturunkan, setelah pencoblosan Pemilukada 2011 usai. Hal itu saya lakukan terlebih lagi ketika tahu kubu Limi-Meydi telah mencabut gugatan di MK. Disitu saya memandang tugas-tugas Pietres sebagai Tim Pemenangan sudah selesai apalagi ketika ditemui sehari sebelum berita naik cetak, terkonfirmasi bahwa Limi-Meydi memilih “berkoalisi” dengan kubu Bersatu.

Bahwa tugas Pietres sebagai Tim Pemenangan sudah selesai, maka kala itu saya memilih menjadikan dia nara sumber dalam memberi tanggapan atau analisisnya soal kemungkinan putusan MK, dengan memandang Peitres selaku nara sumber yang saya pilih sebagai orang yang berkecimpung disebuah lembaga bernama Center of Alternative Policy (CAP) beralamatkan di Jalan Raya Wori Kilo 6 Buha, Lingkungan 2 Mapanget, Manado 95252 Telp/Faks: 0431-818635.

Ya! Saya mengutip Pietres sebagai analisis politik dimana Katamsi Ginano sudah mengatakan sendiri kalau semua analisanya ngawur dan tak ada satu pun yang tepat. Jika pemilihan nara sumber ini membuat terusik dan jengkel, termasuk yang sekarang ini mengatai saya wartawan idiot yang mengutip sumber tak kredibel dan tak jelas juntrungannya, atau pada tulisan sebelumnya menuding saya wartawan pemalas; maka sambil menyapu dada, tanggapan saya adalah, silahkan, bebaskan diri mengatai apapun kehendak Bung! saya terima. Silahkan maki saya atas salah memilih nara sumber. Maka saya pikir disini pulalah yang menyebabkan ada pembaca kronik mongondow —tidak semua pembaca— yang langsung menghujamkan tuduhan macam-macam kepada saya. Untungnya satu diantara orang itu sudah mengaku salah tafsir. Soal ini lagi, saya rasa sudah terang di tulisan pertama kali saya (Surat Buat katamsi dan Mereka Yang Dega’ Binaombulou).

Soal content analysis biarlah itu dilakukan masing-masing pihak yang memang ingin pembuktian. Saya pun sangat yakin Katamsi Ginano tentunya bisa melakukan sebagaimana yang sedang dilakukan. Kalau yakin dengan hasil sebagaimana yang diprediksikan, maka itu bagus untuk Katamsi Ginano. Tapi (ini pernyataan pribadi) saya memiliki keyakinan ada satu-dua media yang lolos dari tuduhan tersebut.

Soal citizen journalist, saya sudah tahu itu sindiran . Terlebih lagi tanggapan terbaru yang sampai membawa-bawa citizen journalist kategori ibu rumah tangga atau tukang ojek.

Kemudian, jika benar omongan yang menyatakan kalau saja Katamsi Ginano mau mengajari saya soal jurnalistik, dengan memberi tugas pertama meliput pembenihan terong dan pemijahan mujair, maka tanggapan saya adalah: Bagaimana kalau pembenihan terong  dan pemijahan mujair itu dilakukan di Buyat? Bersama orang-orang yang diduga pernah menjadi korban limbah tailing PT NMR. Jika jawabanya ya, maka dengan senang hati saya akan sangat bergairah sekali.

Simpulan saya: Bung hebat. Saya amatir bin pandir. Selesai.

Omong-omong, kata pandir yang saya temui lagi dari Katamsi Ginano membuat saya teringat Kakek saya sebelah Ibu. Tak jarang dia akan mengatai kami cucu-cucunya dengan sebutan ini ketika tak bisa mengerjakan PR sekolah, apalagi tak bisa menjelaskan arti peribahasa yang diajarinya setelah ia cukup berbusa. Kebetulan beliau adalah seorang pengajar.***