Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 10, 2011

Kebodohan yang Mengundang Iba

BIASANYA saya jengkel terhadap orang yang tak juga mengerti duduk-soal satu masalah kendati sudah berulang kali dijelaskan dengan gamblang. Namun untuk kasus Uwin Mokodongan, saya justru jatuh iba. Hanya orang sakit jiwa yang bersuka-rela secara terbuka mengakui, mempertontonkan, dan bangga terhadap ‘’langit pikirannya’’ yang cupet.

Satu: Berbalas tanggapan dengan Anda, Uwin Mokodongan, bukanlah debat. Saya sedang berbaik hati memberi perspektif dan cakrawala dengan pemahaman bahwa Anda orang yang cukup berpendidikan dan terbuka terhadap koreksi diri. Kalau ternyata soalnya adalah keras-kerasan, sekali pun yang dipertahankan salah, ya, terserah. Yang jelas di jagat jurnalistik Anda belum, bukan, dan mungkin tidak akan menjadi siapa-siapa. Jadi tidak pula ada urusannya dengan saya.

Dua: Penggunaan bahasa adalah konvensi. Setiap orang, terutama yang teruji pengetahuan dan otoritasnya, boleh mengintroduksi satu kata baru yang kemudian penggunaannya ditakar sejauh mana dia diserap dan digunakan. Siapa Anda? Apa pengetahuan dan otoritas Anda dalam berbahasa sehingga dengan jumawa mengklaim menciptakan kata sendiri semacam ‘’alas-dasar’’? Ini contoh kepongahan sekaligus kepandiran.

Tiga: Pengetahuan menulis Anda juga sudah seberapa jauh? Saya paham bahwa media tempat Anda bekerja tidak secara khusus melatih, membimbing, apalagi secara kontinu mengajari wartawannya perkembangan jurnalistik dan tulis-menulis umumnya. Karenanya, saya tak peduli sekali pun yang Anda tulis sampah namun tetap dimuat. Di blog ini, yang bukan media umum, saya berhak mengedit apa pun yang dikirimkan orang (sikap adil saya sebaliknya adalah memuat kritik dan makian sepedas apa pun). Kalau keberatan, bikin blog dong dan kita lihat berapa banyak orang yang mau membacanya.

Sekali lagi, apa subtansi yang ingin Anda sampaikan? Saya menyarankan belajar sejarah jurnalistik biar genah, eh, yang ditulis adalah soal minor editing yang dilakukan. Kelirukah editing itu? Di mana kelirunya? Untuk konteks ‘’kuli tinta’’, kalau Anda sekadar mempertunjukkan dan mengakui kebodohan, tanpa ditulis pun Pembaca sudah tahu.

Kalau ingin menguji kemampuan, menulislah di media dengan standar ketat (untuk menyebut contoh) seperti Koran Tempo atau Kompas. Kalau mampu, hingga satu tahun ke depan, begitu tulisan dimuat saya akan mentransfer Rp 5.000.000.- ke rekening Anda.

Empat: Sama halnya dengan kata ‘’kampungan’’. Anda memang kampungan dalam arti negatifnya. Kalau ada yang menyukai kata ‘’kuli tinta’’, mengapa saya tidak boleh mencaci orang dengan ‘’kampungan’’? Tidak ada yang salah dari penggunaan kata ini, sebagaimana yang sudah saya tulis sebelumnya. Saya justru prihatin dan kasihan, karena Anda masih berusaha mendebat dengan dasar yang diraih-raih dari udara kosong. Sama dengan menuliskan bahwa beberapa penulis senior tidak lagi menggunakan kata seperti ‘’kampungan’’.

Saya ingin tahu siapa saja penulis senior itu, karena memang tidak tahu di mana harus mencari mereka. Saya kenal hampir sebagian besar penulis senior dan papan atas Indonesia; dan tahu mereka masih menggunakan kata yang bahkan lebih pedas dan sarkas dari sekadar ‘’kampungan’’. Maka, siapa penulis senior yang Anda maksudkan dan di mana saya bisa mencari mereka?

Lima: Saya sudah mengecek kembali apa yang saya tulis. Tidak ada satu kata pun yang dapat diartikan sebagai menyuruh menyalin Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) atau Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI). Yang saya sarankan adalah cek kata ‘kuli’’. Logika, oh, sekali lagi betapa payahnya logika Anda. Kok bisa, ya, lulus tes wartawan (tapi adakah pula tes itu dilakukan)?

Enam: Baca lagi dengan pelan-pelan dan resapi (juga konsultasi kiri-kanan), ‘’geer’’ yang saya maksud tidak semata sebab klaim bahwa ada komplein dari pembaca blog ini ke Anda sebagai wartawan. Itu sebabnya saya mempertanyakan pengertian Anda terhadap logika? Pun bahwa tulisan yang Anda kirimkan tidaklah ditulis sendiri, sebab alurnya tak linier dengan pilihan bahasa tak konsisten –juga banyak tanda baca yang salah tempat.

Tujuh: Pemilihan Pitres Sombowadile sebagai nara sumber karena posisinya sebagai analis politik, jelas omong kosong wartawan idiot. Secara langsung Anda menjelaskan bahwa media di mana Anda bekerja tidak punya standar nara sumber seperti apa yang layak dikutip. Bahwa wartawan seperti Anda memang tidak membaca literatur dan panduan jurnalistik yang paling dasar dan normatif.

Saya lebih menghargai bila Anda jujur sekalian menyatakan memang mendukung atau bersimpati pada pasangan Limi Mokodompit-Meydi Pandeirot. Syarat minimal seorang nara sumber adalah kompetensi dan kredibilitas. Apa kompetensi dan kredibilitas Pitres Sombowadile dalam soal analisis politik?

Delapan: Dengan berkelit dari data analisis isi (content analysis) yang saya tanyakan, Anda secara langsung mengkonfirmasi media di mana Anda bekerja tidak punya catatan dan telaah berkaitan dengan berita-berita yang diturunkan. Anak muda, keyakinan saja tidak cukup sebagai modal berdebat. Anda bawa data, maka akan saya tunjukkan data, termasuk record tulisan Anda yang sumir, spekulatif, dan sejenisnya.

Mulut besar tidak salah, tapi kalau sekadar mangap, cuma meruarkan bau abab ke mana-mana.

Sembilan: Saya dengan ini menerima tantangan Anda untuk mengajari menulis pembenihan terong dan pemijahan mujair di Buyat, bersama siapa pun. Kapan kita akan bertemu di Buyat (saya sungguh-sungguh menunggu waktunya tiba)? Agar jadwal saya tidak bentrok dengan waktu Anda, saya berada di Indonesia kembali pada tengah Juli 2011 mendatang.

Jangan lupa pula mengundang rekan-rekan wartawan lain (atau pihak mana pun yang ingin Anda bawa) yang dapat menjadi saksi supaya saya tidak dituduh berlaku curang.

Saudara Uwin, kalau Anda sekadar menggertak, saya menuntut permintaan maaf segera. Anda salah menantang orang. Ada baiknya jauh-jauh hari bersiaplah dengan data, pengetahuan, dan semua bahan pendukung pelajaran jurnalistik yang akan Anda jalani dengan saya.

Mengait-ngaitkan perdebatan tulis-menulis dengan isu yang sama sekali berbeda adalah sikap pengecut orang kepepet. Yang saya debat, serang, dan pojokkan adalah cara berpikir Anda, bukan latar belakang Anda yang seorang lay outer sebelum menjadi wartawan. Tapi kalau pun isu yang sama sekali berbeda ingin Anda campur-adukkan, saya menyambut dengan suka cita. Saya pernah menghadapi lawan debat yang tak hanya cerdas, berpengetahuan, tapi juga logis dan gigih; dan saya tidak mundur selangkah pun.***