Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 17, 2011

13 Syarat Walikota-Wawali KK 2013-2018 (II)

Tiga: Berpengetahuan komprehensif dan tegas dalam tindakan. Tidak diperlukan seorang professor atau doktor jenius untuk jadi calon kandidat Walikota-Wawali KK. Cukup seseorang dengan pengetahuan yang komprehensif (utamanya terhadap aspek menejerial) dan ketegasan bersikap.

Sebagai pengelola sebuah sistem kompleks dengan sumber daya relatif lengkap, Walikota-Wawali berperan sebagai pengatur yang tahu kepada siapa-siapa mereka menyerahkan wewenang mengurusi setiap aspek yang dibutuhkan KK dan warganya. Contohnya naifnya adalah: percayakan urusan Pekerjaan Umum (PU) pada insinyur sipil atau kepentingan tata pemerintahan pada sarjana ilmu pemerintahan; berikan target dan ukuran-ukuran capaiannya; lalu terapkan reward and punishment terhadap keberhasilan dan kegagalan.

Sepanjang Walikota-Wawali menjalankan pendekatan itu dengan tegas dan konsisten, saya berkeyakinan tahun demi tahun warga KK dengan mudah bisa menakar telah berada di level mana kotanya dalam cetak biru cita-cita bersama. Tidak seperti saat ini di mana indikator keberhasilan pembangunan seolah-olah pada berapa penghargaan (atau bahkan rekor Museum Rekor Indonesia --MURI) yang diraih Walikota-Wawali selama mereka berkuasa.

Empat: Rasional dan sadar diri. Pengalaman membuktikan sebelum seorang politikus menduduki jabatan publik, biasanya dia mampu mempertimbangan sesuatu dengan komprehensif. Tindakannya juga hati-hati dan masuk akal. Pendeknya, satu kata cukup mewakil: rasional.

Sejalan dengan itu, dia juga tidak menempatkan diri sebagai ‘’pusat dunia’’. Segala-galanya tidak berdasarkan ‘’saya’’, tetapi ‘’kita’’ atau ‘’kami’’. Bahasa yang digunakan ini secara eksplisit menunjukkan tingkat kesadaran menempatkan posisinya di tengah orang banyak.

Berbanding terbalik, berdasar pengalaman pula, rasionalitas dan kesadaran diri itu dengan cepat menguap tatkala posisi yang didambakan sudah berhasil direngkuh. Keputusan-keputusan yang diambil tidak agi berdasarkan pertimbangan matang dengan mengkaji semua aspek, melainkan karena ‘’saya menginginkan’’. Repotnya, keinginan itu tidak diberangi kecukupan pengetahuan. Akibatnya dia menjadi semata keinginan yang ditingkat implementasi memunculkan mudarat beranak-anak pinak. Atau setidaknya memicu gejolak yang berkelindang kesana-kemari.

Pemindahan Pasar Serasi adalah salah satu contoh ‘’karena saya menginginkan’’, yang diputuskan tanpa melibatkan pertimbangan komprehensif dan jangka panjang. Sangatlah tidak masuk akal memaksakan pemindahan para pedagang sementara areal relokasi belum memenuhi syarat minimal. Itu sebabnya dalam isu relokasi ini saya berulang kali mengkritik (bahkan dengan amat sangat pedas), bahwa kegigihan Walikota KK, Djelantik Mokodompit, mewujudkan kebijakannya itu tak lebih dari cerminkan ketidak-sadardirian.

Lima: Bertanggungjawab. Terkait dengan aspek keempat, seorang pemimpin yang irasional dan tak sadar diri biasanya juga berkecenderungan suka cuci-tangan. Kalau kebijakannya, yang kemudian dijalankan bawahan membuahkan hasil positif; maka dia akan menepuk dada. Sebaliknya bila terjadi kekeliruan, apalagi skandal, yang harus bertanggungjawab dan jadi kambing hitam adalah para bawahan.

Skandal penerimaan calon pegawai negeri sipil (CPNS) KK 2009 adalah bukti bagaimana tanggungjawab Walikota-Wawali KK patut dipertanyakan dengan serius (juga upaya pihak berwenang mengungkap kasusnya). Sepengetahuan saya mereka yang patut diduga terlibat dalam skandal sudah diperiksa, bahkan ada yang konon telah ditetapkan sebagai tersangka. Mereka umumnya adalah birokrat yang jadi pelaksana teknis rekrutmen CPNS. Akan halnya Walikota KK sebagai penanggungjawab, justru ‘’pura-pura gila’’. Jangan bertanggungjawab, janji yang dia nyatakan di mana-mana (dimuat pula oleh media) seolah tak pernah dilakukan.

Sesumbar Walikota Djelantik Mokodompit yang akan mundur bila tidak seluruh CPNS yang dinyatakan lulus mengantongi SK, memang omong kosong belaka. Kalau pertanggungjawaban terhadap janji yang dinyatakan terbuka itu diingkari, jangan harap warga KK bisa menuntut tanggungjawab lebih berat lagi.

Untuk isu CPNS KK, secara pribadi saya mendorong warga kota terus menuntut pertanggungjawaban Walikota, utamanya pada janji mundur dari jabatannya. Selain untuk memberi pelajaran agar pemimpin KK di masa mampu memelihara mulut, juga agar harga diri Djelantik Mokodompit dapat dipelihara secara kolektif.  Tidak mundurnya dia dari jabatan Walikota KK setelah terbukti apa yang dijanjikan gagal, cuma menjadi konfirmasi bahwa rumor ‘’sedang di Tanah Suci ba dusta, apalagi cuma di Mongondow’’, bukan bisik-bisik belaka.

Enam: Sederhana dan membumi. Bukan sekali-dua saya bertemu Walikota Bitung, Hanny Sondakh, di Bandara Seokarno-Hatta sedang berjalan sendiri. Tanpa ajudan ,apalagi segerombolan pengawal dan dayang-dayang. Sudah begitu dia sama sekali tak tampak sebagai pejabat tinggi. Tetap sederhana sebagaimana yang dikenal warga Bitung semasa dia hanya sebagai pengusaha sukses pengolahan hasil perikanan.

Kesan Hanny Sondakh sebagai pemimpin membumi kian kuat ketika mendengar kisah, satu ketika terjadi kecelakaan di depan kediaman Walikota Bitung, Saat itu, Walikota Hanny Sondakh hanya dengan celana pendek dan t-shirt kebetulan melihat nahas tersebut. Tanpa peduli dia adalah pejabat publik nomor satu, Hanny Sondakh berlari ke tengah jalan, mengurusi orang-orang yang tertimpa kemalangan itu.

Elit politik lain yang saya kenal, yang juga tak kehilangan bumi tempat berpijak adalah Wawali Kota Manado, Harley Mangindaan. Ai –demikian saya menyapanya—tetap seperti yang saya kenal sejak semasa ayahnya, EE Mangindaan, menjadi Gubernur Sulut. Sebelum menjadi Wawali, Ai senang bersepeda, menelusuri banyak tempat di Manado. Setelah menjadi Wawali, dia masih akrab dengan sepeda. Bedanya, kini terlalu banyak ‘’pengawal’’ yang ikut (ini pula salah satu kritik saya), yang membuat fleksibilitas dan kedekatannya dengan orang banyak menjadi berjarak.

Walikota dan Wawali KK 2013 dan seterusnya mungkin bisa bercermin dari perilaku yang ditunjukkan Walikota Bitung, Wawali Kota Manado, dan (satu lagi) Wabup Boltim, Medi Lensun (yang juga tetap punya bumi di bawah telapak kakinya). Pemimpin di era mondern bukanlah Maharaja yang dimitoskan sebagai keturunan dewa. Bahkan sudah bersikap dan berbuat sebaik mungkin masih dikritik dan dicemooh, apalagi kalau bersikap pongah dan seolah hidup di awan-awan.***