Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, June 29, 2011

Pemimpin atau Cuma Biduan Paksa?

MENYEMPIT di sudut salah satu bangunan agar tak diguyur hujan yang mendadak tercurah, saya menonton orang-orang berlarian di Plaza Dam, depan Meseum Madema Tussauds Amsterdam. Jumat (24 Juni 2011) yang basah, saya mengigil karena dingin dan lapar. Sudah begitu, celakanya yang terbayang-bayang di kepala adalah katang binango’an.

Baru beberapa waktu lalu saya menyantap kepiting dimasak dengan santan (dibumbui aneka rempah dan cabe) saat berada di Mongondow, tepatnya di Restoran Tanjung, Kotabunan. Harus diakui, di antara banyak kekayaan kuliner Mongondow, salah satu yang paling menggoda adalah katang binango’an. Bahwa jenis sajian ini berpotensi menaikkan tekanan darah, asam urat, atau apalah, nanti kita urus belakangan.

Saya sedang menimbang-nimbang merebos hujan, menyeberangan ke arah Damstraat dimana berjejer aneka tempat makan (salah satunya restoran Argentina yang menyajikan makanan lumayan lezat), ketika pesan pendek itu masuk. Yang tiba adalah kabar dari kampung di Kotamobagu yang dimulai dengan: ‘’Ironi hari ini….’’

Lanjutan kabar itu adalah cerita bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Kotamobagu dan seluruh jajaran Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) diundang menghadiri kegiatan olah raga dalam rangka Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara. Nah, kata sanga kabar, hal pertama yang dilakukan setelah acara olah raga dalam bentuk jalan sehat adalah: Walikota Kota Kotamobagu (KK) diundang menyanyikan beberapa lagu.

Lagu yang dinyanyikan Walikota pun bisa ditebak pasti berbau ‘’pesan sponsor’’. Tentu bukan tentang HUT Bhayangkara, melainkan ‘’curahan hati’’ dan sindir-sindiran terkait dinamika politik terkini KK yang mulai memanas (padahal pemilihan Walikota-Wakil Walikota –Wawali—baru 2013 mendatang), lebih khusus lagi rivalitasnya dengan Wawali.

Dendang selesai, Walikota segera melaksanakan tugas protokoler sebagaimana yang umum dijalani tokoh politik atau birokrasi teras di Mongondow: menarik door prize untuk hadiah yang disediakan panitia. Usai tak-tek-tok undian, Walikota KK langsung cabut meninggalkan arena.

Saya terbahak-bahak membaca pesan pendek itu. Tak peduli beberapa pasang spontan menatap saya dengan kening berkerut. E, stau lei. Nyanda ada yang kanal ini.

Sudah lama saya mendengar, di mana-mana --tak hanya di hajatan pernikahan-- seperti telah menjadi salah satu protokol tetap (Protap), Kepala Daerah, Kepala SKPD, atau tokoh penting di Mongondow harus tampil bernyanyi. Kalau kemudian lagunya itu-itu juga dari satu event ke event yang lain, dengan suara dan olah vokal yang sepertinya cuma pas mengusir burung di sawah, orang banyak harap memaklumi.

Jangan pula tidak memberikan kesempatan bernyanyi pada para tokoh tertentu bila mereka diundang hadir di hajatan, sebab itu dapat dianggap pelanggaran kesopanan dan tak menghargai martabat yang bersangkutan. Dengan kata lain, boleh tidak pidato (toh pidato pun isinya juga ngalor-ngidul tidak karuan), tapi haram hukumnya kalau alpa diundang menyanyi.

Begitu pentingnya menyanyi sebagai ekspresi eksistensi seorang pejabat publik, politisi, atau birokrasi di Mongondow, hingga lama-kelamaan saya membiasakan diri tak berkomentar setiap kali pulang berlebaran di Kotamobagu. Musababnya, hampir di setiap kediaman pejabat atau politisi yang saya datangi untuk silahturrahmi, pasti tersedia organ dan microphone. Setelah ritual salaman, peluk-pelukkan, maaf-maafkan, biasanya tamu dipersilahkan mencicip hidangan. Setelah itu, ini dia: sabet microphone, pilih lagu dan action!

Mengingat saya sama sekali tak bisa menyanyi, sedapat mungkin saya berusaha memaklumi tradisi yang berkembang pesat itu dan berupaya keras turut menikmati. Di banyak kesempatan saya akui gagal menjadi penikmat yang baik. Selain pilihan lagunya umumnya bukan tergolong selera saya, suara si penyanyi pun bukannya menghibur tapi justru membangkitkan kemarahan.

Artis yang Digaji Negara

Apa yang seharusnya dilakukan seorang politikus, Bupati, Walikota, Gubernur, atau bahkan Presiden ketika dia berkesempatan tampil di depan orang banyak? Kita bisa berdebat panjang-pendek, tetapi yang paling utama adalah menyampaikan gagasan, pikiran, dan gambaran yang ada di kepalanya, agar terkomunikasi dengan publik.

Di pemilihan kepala daerah (Pilkada) atau Pemilihan Presiden-Wakil Presiden (Pilpres), rakyat tidak sedang menonton kompetisi nyanyi atau pidato. Mereka semestinya melakukan seleksi terhadap seseorang yang menjadi tokoh di depan, mengajak orang banyak meletakkan ide-ide besar kemudian mewujudkan sebagai sesuatu yang hidup dan dinikmati bersama.

Kesadaran bahwa ketika seseorang diamanati orang banyak sebagai pemimpin –karenanya dia harus pula bersikap dan laku sebagai pemimpin—di Mongondow, tampaknya mesti selalu diingat-ingatkan. Menjijikkan betul melihat seorang Bupati atau Walikota yang diberi kesempatan bicara di depan masyarakatnya justru tidak berlaku sebagai pemimpin, melainkan sekadar remaja puber yang curhat kesana-kemari, menyindir ini-itu, atau justru bergaya bak penyanyi populer menghibur penggemar dan penggilanya.

Kemana pikiran, ide-ide, dan arahan yang menunjukkan bahwa secara kualitatif orang banyak tidak salah memilih? Curhat, sindir-sindiran atau menyanyi boleh saja, tapi ditakar secukupnya dan seperlunya. Di luar itu, lebih baik tak usah jadi Bupati atau Walikota. Beralih sajalah mengelolah bisnis salon atau karaoke. Pasti tak ada seorang pun (terutama saya yang gemar mengejek dan mencaci ketololan) yang berkeberatan.

Kalau kebisaan Bupati atau Walikota hanya menyanyi, tak bedanya dengan kita semua merelakan uang negara digunakan menggaji artis amatir.

Lagipula orang di Mongondow pasti muak bila Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu; Bupati Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Hamdan Datunsolang; atau Bupati Bolmong Induk, Salihi Mokodongan, juga ikut-ikutan jadi biduan paksa. Bisa-bisa Provinsi Bolaang Mongondow Raya yang dicita-citakan, justru terwujud dalam bentuk ‘’Provinsi Biduan Mongondow’’.

Mengapa saya tak menyinggung Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar? Aha, kalau urusan menyanyi dan Eyang (sapaan akrabnya), saya mesti mengakui: suara dan oleh vokalnya lebih dari lumayan. Lagipula untuk pidato (walau pun isinya mungkin kerap berbeda dengan apa yang dilakukan), Eyang  juga tergolong ‘’oke banget’’.***