Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Friday, June 17, 2011

Solulokui Banjir Bolsel, Satu Pagi di Schiphol

HUJAN deras mengguyur Bandara Internasional Schiphol, Amsterdam, Kamis subuh (16 Juni 2011) ketika KLM yang saya tumpangi dari Jakarta mendekati landasan pacu. Bulan bulat di langit yang terang (pukul 05.00 pagi di langit Eropa sudah seperti pukul 08.00 pagi di Kotamobagu) tampak pucat.

Amsterdam –terutama di sekitar Schiphol-- selalu indah dipandang dari udara. Sungai, kanal, dan kolam-kolam berpadu lanskap hijau diselingi kumpulan pemukiman. Sejak isu pemanasan global menjadi salah satu topik hangat, setiap kali ke Eropa dan landing di Schiphol, saya tak bisa menyembunyikan pikiran kagum terhadap kedisiplinan dan perencanaan Kota Amsterdam.

Dibangun di bawah permukaan air laut, kota ini mampu menata aliran air dengan kanal dan dam yang juga difungsikan untuk berbagai kepentingan, termasuk pra sarana transportasi. Bisa dibayangkan bila kota ini lengah mengelola air yang datang dari mana-mana. Pasti hanya butuh waktu sekejap membuat Amsterdan dilahap gulungan banjir.

Di 2010 lalu, pada satu kesempatan akhir pekan usai konferensi selama lima hari yang melelahkan, saya menelusuri Kota Amsterdam dengan perahu, pindah dari satu kanal ke kanal yang lain. Mengunjungi satu meseum ke meseum lain yang lucunya hampir seluruhnya terletak di tepi kanal. Di akhir pengelanahan saya menyimpulkan: Belanda memang terbaik dan mumpuni sebagai rujukan bagaimana manusia di sebuah wilayah hidup akrab dengan air.

Sesungguhnya bukan hanya Amsterdam (atau Belanda) yang penataan saluran airnya mengundang kagum. Beberapa kota lain di Eropa Barat, katakanlah di Belgia, Perancis, atau Denmark, juga membangun kanal dan dam sebagai pengendali aliran air. Hasilnya adalah keindahan multi fungsi.

Begitu piawainya Eropa (lebih khusus Belanda) mengelola air hingga di masa kuliah di Fakultas Teknik Universitas Sam Ratulangi (FT Unsrat), saya ingat setiap kali membicarakan aspek-aspek yang berkaitan dengan ‘’sipil basah’’, yang dirujuk adalah Belanda. Belakangan saya (yang alhamdulillah) berkesempatan mengunjungi banyak negara di Asia, menemukan pendekatan sama juga dilakukan di negara semisal Taiwan atau Korea Selatan (Korsel).

Di Taiwan, di tengah Kota Kaohsiung (kota kedua terbesar setelah Taipei) melintas The Love River yang kiri-kanannya ditembok mirip kanal di Belanda. Selama berada di kota ini, setiap petang saya menelusuri tepian sungai, menonton orang-orang yang berbondong memancing. Pemandangan yang kurang-lebih sama saya temui di Seoul, Korsel. Kota Seoul yang dibelah Sungai Han (yang mengalir dari Cina), selain gigih mengurusi hutan, juga menata sepanjang sungai ini mirip yang dilakukan di Kaohsiung.

Berbeda dengan Sungai Ciliwung di Jakarta (serta beberapa sungai di kota-kota besar Indonesia, termasuk Kuala Jengki yang membela Kota Manado dan bermuara di Teluk Manado) yang jangankan jadi tempat memancing, warnanya yang coklat kotor dan penuh sampah, seketika mengindikasikan cara kita mengelola air dan sumber dayanya di Indonesia.

Saya bukanlah sejenis orang yang snob dan mengagun-agungkan ‘’luar negeri’’. Sebagai ‘’anak orang susah’’ yang lahir dan dibesarkan di Mongondow, hingga saat ini mimpi-mimpi saya tak jauh dari urusan kebun dan sawah. Melalang buana ke seantero belahan dunia hanyalah kesempatan yang datang karena tuntutan profesional. Selebihnya, orang kampung tetaplah orang kampung.

Banjir Lagi, Banjir Lagi

Hujan masih terus menderas saat saya menelusuri koridor Schiphol, jalan kaki dari kedatangan internasional ke keberangkatan domestik, mengejar KLM 1791 yang akan membawa saya ke Munich. Di ruang tunggu, sembari menunggu boarding, saya berselancar, membuka situs-situs berita terutama yang mewartakan perkembangan Mongondow terkini.

Berita yang dilansir Harian Manado Post, Kamis (16 Juni 2011), Puluhan Rumah Hanyut: Bolsel Diterjang Banjir dan Longsor, sungguh menghenyakkan. Saya membaca dengan keprihatinan membayangkan derita saudara-saudara kita di Bolsel yang beberapa waktu terakhir ini (sejak musim penghujan tiba) tak putus dirudung banjir dan longsor.

Akibat hujan deras wilayah Pinolosian direndam banjir setinggi lutut orang dewasa. Walau warga yang bermukim di pesisir pantai dan tepi sungai sudah mengungsi, tak urung luapan air menghanyutkan 21 rumah serta jembatan di Desa Milagodaa dan Desa Sogitia.

Tak adanya korban jiwa patut disyukuri (di masa datang bencana apa pun semoga tak merengut korban jiwa di Mongondow). Namun kerugian yang mesti ditanggung saya yakin tidaklah kecil. Bagi warga dengan kondisi ekonomi pas-pasan, kehilangan tempat tinggal bukan beban ringan. Demikian pula dengan rusaknya sarana dan pra sarana umum, pasti sangat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan warga di Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel).

Pasti ada yang salah dari cara kita mengelola keseimbangan alam di Mongondow. Banjir dan longsor yang terus-menerus mendera bukanlah kejadian yang umum, setidaknya 10 tahun lampau. Kalau pun dulu ada banjir atau longsor yang terjadi, biasanya tidak terjadi kawasan-kawasan dengan populasi penduduk cukup padat. Kini banjir dan longsor tak lagi ketahuan waktu dan tempatnya. Sudah pula sangat berdampak terhadap kepentingan warga Mongondow umumnya. Putusanya jembatan penghubung dengan wilayah Gorontalo atau tak bisa dilewatinya jalur Kotamobagu-Inobonto, misalnya, jelas adalah perkara serius.

Sembari berjalan menuju pesawat yang membawa ke Munich, saya mengingat-ingat kembali beberapa tulisan tentang banjir dan longsor yang sudah diunggah di blog ini. Rasanya saya belum pernah menyarankan Bupati atau Walikota dan jajarannya di Mongondow untuk studi banding (sejujurnya saya tergolong anti studi banding yang dilakukan DPR atau birokrat karena sebenarnya cuma wisata yang dikemas seolah-olah untuk kepentingan memerik pelajaran dan kearifan), belajar mengelola lingkungan di tempat-tempat yang terbukti berhasil melakukan dengan baik. Kali ini saya menyarankan, khususnya Bupati Bolsel, Herson Mayulu, dan jajarannya minimal bermuhibah ke Korsel.

Di Korsel jajaran Pemerintah Kabupaten paling tidak bisa belajar mengelola hutan yang kini di Bolsel terancam berbagai aksi ilegal. Harapannya, setelah itu dari tempat lain (mungkin Taiwan atau bahkan Belanda) dapat pula dipelajari bagaimana mengurus pesisir pantai dan sungai, hingga di masa mendatang banjir dan longsor mampu diminimalisir.

Saya berharap Bupati Bolsel mempertimbangkan saran itu. Studi banding tak perlu diharamkan sepanjang manfaatnya ditetapkan sebagai niat dan obyektif utama.***