Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Tuesday, June 14, 2011

Sekkab Bolsel: Selamat dengan 14 Macam Kembang

SEKRETARIS Kabupaten (Sekkab) Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Gunawan Lombu, dilantik Senin (13 Juni 2011). Akhirnya definitif jua dia, setelah memangku jabatan ini sebagai Pelaksana sejak kabupaten ini berdiri sebagai daerah otonom baru, lepas dari Kabupaten Bolmong Induk.

Andai tak kunjung didefinitifkan sebagai Sekkab, Lombu bakal mengakhiri karir birokrasi cukup hingga ‘’Pelaksana Sekkab’’ dan ‘’Pelaksana Harian Bupati’’. Mulai menduduki jabatannya di bawah Penjabat Bupati Arudji M, kemudian AR Mokoginta, Pelaksana Harian Bupati, dan kembali Pelaksana Sekkab bersama Bupati-Wakil Bupati (Wabup) Herson Mayulu-Samir Badu, jabatan ‘’pelaksana’’ ini patut dicatat sebagai rekor.

Kebijaksanaan Bupati Herson Mayulu mengusulkan Lombu sebagai Sekkab definitif, menurut saya menunjukkan kualitas kematangannya sebagai politikus. Di saat bersamaan kita mesti pula mengakui Lombu adalah sosok pekerja yang ‘’tak banyak bicara’’ dan rendah hati. Sewaktu bertemu saat diundang Pemkab Bolsel bicara tentang tulis-menulis dan jurnalistik beberapa waktu lalu, saya menemukan Lombu yang tak banyak berubah, sebagaimana dia yang saya kenal dari masa remaja.

Sungguh saya ikut gembira membaca pelantikan Sekkab Bolsel itu, yang diwarnai prosesi mandi air kembang tujuh rupa, di sejumlah media terbitan Selasa, 14 Juni 2011. Harian Manado Post menulis Dari Pelantikan Sekkab Definitif: Lombu Disirami Tujuh Macam Kembang; sedang Harian Radar Totabuan selain memajang upacara itu sebagai foto utama halaman 1 terbitan, juga merilis advertorial Dikukuhkan Sebagai Sekda Bolsel: Drs Hi Gunawan Lombu Mandi Kembang.

Membaca tajuk koran-koran itu tak urung garasi rumah di Manibang, Manado, yang menjadi areal reriungan beberapa kerabat dan sahabat sesama orang Mongondow (setiap kali saya ada di Sulawesi Utara –Sulut), segera dipenuhi aneka komentar dan tawa. Bukan sinisme, apalagi ejekan, tapi karena seorang sepupu spontan menyanyikan sepotong syair lagu dangdut ‘’…. mandi kembang tengah malam….’’

Prosesi mandi kembang tujuh macam di pelantikan Sekkab Bolsel, menurut hemat saya sebenarnya bukanlah hal aneh. Praktek formal dan informal birokrasi di Mongondow mengenal aneka upacara tambahan saat seseorang dilantik menduduki jabatan tertentu. Ada yang ‘’diadatkan’’ dengan tradisi Mongondow, dilengkapi gelar berbahasa Mongondow; ada pula yang selain mengucapkan sumpah dan janji jabatan, wajib di-bai’at untuk menegaskan loyalitas pada patronnya.

Mintahang yang menjadi salah satu tradisi syukur terhadap rahmat (pun upaya memohon) pada Yang Maha Kuasa, tampaknya tidak cukup keren mewakili ekspresi para politisi dan birokrat di Mongondow. Dia tak pula bisa dikemas spektakuler agar layak ditampilkan di media massa. Tentu Bupati-Wabup, Sekkab, atau Kepala SKPD bakal dicibir ‘’so talalu’’ kalau meng-advertorial-kan mintahang pelantikannya; kecuali bila acara itu dihadiri pejabat negara sekelas Presiden, Wapres, atau Menteri.

Kontradiktif

Di konteks kekinian, terutama di kalangan Mongondow berusia muda, mandi kembang tujuh rupa yang dijalani Sekkab Bolsel memang mengandung humor faktual. Bukan semata karena syair dangdut itu, tapi tersebab tradisi ini sudah diketahui publik dilakukan terhadap aspek-aspek khusus di banyak komunitas masyarakat negeri ini.

Anak gadis yang dianggap sudah melampaui kematangan usia namun belum juga menemukan jodoh, diupacarakan dengan ‘’mandi kembang tujuh rupa’’ agar segera ditambat calon suami. Seseorang yang ‘’dianggap’’ terus-menerus terantuk sial, dilepaskan dari nasib buruk lewat ‘’air kembang tujuh macam.’’ Saktinya pengaruh kembang tujuh jenis ini konon bahkan dilakoni pula oleh para dukun dan tukang santet yang sedang menjalani ritual kedigdayaan.

Sinetron dan film-film (terutama horor) suka memasukkan adegan dukun dan pasien yang ujung-ujungnya menyinggung ritual mandi kembang (tentang berapa rupa kembang yang disyaratkan, tergantung selera dan kreativitas penulis skenario). Pokoknya, mandi kembang tujuh macam dikenal dalam berbagai tradisi di Indonesia. Hanya di pelantikan Sekkab Bolsel, yang tidak dijelaskan di media adalah: Niat atau pesan apa yang dikandung di prosesi tambahan itu?

Apakah mandi kembang itu adalah wujud syukur dan doa Bupati serta jajaran Pemkab Bolsel terhadap dilantiknya Gunawan Lombu? Tapi kalau syukur, kenapa mesti kembang tujuh rupa? Lebih baik sapi tujuh ekor yang dimasak dan dijadikan menu mintahang. Sangat tidak sopan kalau lebih jauh saya lancang menanyakan apakah mandi kembang Sekkab Bolsel untuk menolak bala, apalagi minta jodoh atau persiapan praktek perdukunan.

Agar tak memicu spekulasi dan tanda-tanya, Pemkab Bolsel perlu menjelaskan alasan dan niat yang terkandung dari mandi kembang itu. Apalagi kalau itu bagian dari upaya membumikan kembali tradisi dan adat yang dikenal oleh masyarakat setempat.

Sembari menanti pembeberan kearifan apa yang dikandung prosesi yang dijalani Gunawan Lombu, tak ada salahnya saya mengingatkan Bupati Herson Mayulu dan jajarannya terhadap salah satu visi besar pembangunan Bolsel: religiusitas. Bolsel bukanlah kabupaten yang pemerintahannya dijalankan berdasar syariat Islam, walau dengan penduduk mayoritas Islam (termasuk Bupati, Wabup dan Sekkab juga menganut Islam). Di manakan prosesi mandi kembang itu ditautkan dalam syariat Islam, yang saya yakin menjadi salah satu nadi utama visi religius itu?

Lain soal kalau religiusitas yang dimaksud memasukkan pula animisme yang dianut nenek-moyang Mongondow sebelum era agama menjamah wilayah ini. Kalau memperhitungkan animisme sebagai anutan, mandi kembang tujuh rupa jelas kurang lengkap; sebab dilakukan di bawah naungan tenda, bukan di samping batu besar, di lindungan rindang pohon raksasa, lengkap dengan kemenyan dan dukun renta berjenggot panjang dan putih.

Agar lebih afdol saya menyumbang 14 jenis kembang, termasuk kandasuli merah dan putih.***