Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, May 9, 2011

Kritik Politis dan Tebang Pilih

KIAN banyak tulisan yang diunggah di blog ini, makin banyak pula komplein dan kritik yang saya terima. Kita sisihkan dulu kritik yang gelap-gelapan. Kali ini yang dibahas adalah yang disampaikan secara terbuka –orangnya saya tahu atau memberi tahu siapa dia, kritiknya  langsung disampaikan lewat pesan pendek, email, bahkan telepon.

Demi sopan santun dan menghormati kesepakatan nama yang bersangkutan  tak akan disinggung sekata pun, dalam tulisan ini saya hanya menyampaikan substansi kritik terhadap apa yang selama ini saya tulis dan respons saya terhadap kritik itu. Saya paham orang-orang itu memiliki konsern dan niat baik turut memperbaiki Mongondow, tapi sebab pekerjaan, hubungan kekerabatan, atau persahabatan yang mesti dijaga, selama ini mereka lebih memilih diam.

Salah satu kritik yang saya terima adalah dugaan bahwa yang ditulis di blog ini (utamanya yang pedas dan bikin hati panas) hanya ditujukan pada orang-orang dan kelompok tertentu. Sedang orang-orang dan kelompok yang dekat dengan saya –difinisi dekat ini, terus-terang, membingungkan--, sekali pun melakukan kekeliruan telah dengan sengaja saya luputkan dari sasaran ‘’olok-olok’’ dan sinisme.

Artinya, kata si pengkritik itu, apa yang saya tulis lebih berat muatan politisnya ketimbang upaya konstruktif turut menyumbang-saran terhadap keinginan menjadikan Mongondow lebih baik lagi, hari ini dan di masa datang. Kritik-kritik saya, katanya, juga seperti kebijakan politis yang umum di negeri ini, yakni hanya ‘’menebang’’ pohon yang memang sudah ‘’dipilih’’.

Kalau kelakuan saya yang politis dan tebang pilih itu dilanjutkan, lama-kelamaan bukan hanya apa yang ditulis dianggap sampah; tapi saya pun bakal dicap sekadar tukang gonggong dan tukang cakar orang-orang dan kelompok tertentu. Nah, tambah orang yang mengkritik itu, supaya total mengapa tak sekalian saya memasang iklan yang isinya: ‘’Punya pesaing atau musuh politik? Kami menerima order ‘mengerjai’ pesaing dan musuh politik Anda. Hasil dan harga dijamin kompetitif.’’

Dia bahkan bergurau bisa menghitung berapa tarif yang dapat dikenakan dari layanan ‘’kritik politik’’ itu. Boleh per artikel, boleh setiap kasus. Ingin yang komplit, juga tersedia.

Isu Wawali KK dan Bupati Bolsel

Apa bukti tuduhan maha serius itu? Kawan pengkritik saya mencontohkan, ‘’Misalnya yang sekarang ini banyak diperbincangkan, lebih khusus di beberapa grup facebook, soal Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK), Tatong Bara, yang baru saja berkantor lagi pekan lalu setelah dua bulan menghilang tanpa pesan dan kesan. Bung kan diam saja, padahal pasti tahu bahwa itu bukan tindakan yang benar dari seorang pejabat publik.’’

Yang lain, ujarnya lagi, ‘’Saya memperhatikan Bupati Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), Herson Mayulu, Bung tulis hanya yang positif-positifnya saja. Padahal sama seperti Bupati di Mongondow yang lain, atau Walikota KK, dia juga bukan malaikat. Pasti ada kelirunya. Atau Anda barangkali takut bersoal dengan Herson Mayulu?’’

Pembaca, dengan senang hati saya menerima kritik itu dan meng-amin-kan. Kritik seperti itu membuat saya terus-menerus awas menjaga kewarasan dan tidak tergelincir menjadi alat kepentingan perorangan dan kelompok tertentu; sedekat apa pun hubungannya dengan saya.

Berkenaan dengan Wawali KK, saya mengetahui yang bersangkutan mangkir berkantor selama dua bulan dari beberapa teman yang bergabung di salah satu grup facebook khusus orang –atau mereka yang terkait dengan—Mongondow. Informasi ini tentu harus dicek dan ricek lagi, sebab alangkah lucu bila Wawali tak kelihatan begitu lama sementara Walikota KK sama sekali tak mempersoalkan (sejauh ini saya belum membaca di media massa atau mendengar Walikota mempermasalahkan atau mengeluhkan ketidak-hadiran wakilnya itu).

Saya mengartikan sikap Walikota KK itu setidaknya dalam tiga perspektif: Pertama, Walikota mengetahui dan mengizinkan wakilnya mengerjakan sesuatu yang membuat dia tak berkantor sebagaimana mestinya; atau bahkan Wawali tak berkantor selama dua bulan karena mengemban penugasan dari Walikota.

Kedua, Walikota tidak mengetahui ketidak-hadiran wakilnya selama dua bulan; dan tidak peduli atau malah bersyukur  bebas mengambil keputusan tanpa direcoki Wawali. Kita tahu bersama sejak beberapa bulan setelah keduanya dilantik, hubungan mereka retak dan belum terekat lagi hingga saat ini.

Ketiga, Walikota memang sengaja menciptakan kondisi kerja dan hubungan yang tak menyenangkan dengan Wawali; yang mengakibatkan wakilnya memilih lebih bergiat di luar kantor ketimbang hadir setiap hari dan cuma mengurut dada karena ‘’makang hati’’.

Di antara tiga perspektif itu, yang kedua dan ketiga memang pantas mengundang keprihatinan warga KK. Baik Walikota dan Wawali sama-sama pantas dikritik sepedas-pedasnya agar mereka menyadari bahwa keduanya dipilih sebagai satu paket utuh. Nmun, saya juga punya catatan tersendiri: Atasan yang tak mampu membina dan mengarahkan bawahannya, pantas dipertanyakan kapasitas dan kapabilitasnya. Hubungan Walikota dan Wawali selain sebagai mitra yang dipilih sebagai satu kesatuan; melekat pula struktur atasan-bawahan.

Sebagai atasan, Walikota yang tak mampu mengarahkan dan membina bawahannya, sebaiknya minggir saja.

Tentang Bupati Bolsel, saya mengakui bahwa di satu-dua tulisan yang diunggah di blog ini, memang tak ada muatan kritik, apalagi yang lebih keras dari itu yang saya tujukan pada Herson Mayulu. Tapi bukan tak ada, hanya saja isunya tak cukup kuat ditulis sebagai satu artikel utuh.

Kritik yang ingin saya sampaikan ke Bupati Bolsel, sejatinya adalah anjuran para PNS mengenakan kopiah saat bertugas sebagai implementasi visi religius yang diusung Bupati-Wakil Bupati (Wabup) saat ini. Ke teman-teman semasa SMA dan Perguruan Tinggi (PT) yang mengabdi sebagai birokrat di Bolsel, saat saya diundang ke Molibagu beberapa waktu lalu, sambil tertawa saya berbisik, ‘’Kalau kopiah jadi indikator religiusitas, kenapa tidak sekalian PNS di Bolsel menggenakan baju koko dan sarung cap gajah duduk. Pasti lebih afdol dan khusuk lagi.’’

Problemnya, PNS yang non Muslim harus mengenakan apa?***