Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Monday, May 30, 2011

Surat untuk Katamsi dan Mereka yang Dega’ Binombulou (I)

Tulisan-tulisan yang diunggah di blog ini tampaknya cukup membuat sejumlah orang terganggu. Salah satunya adalah wartawan Harian Komentar, Uwing Mokodongan, yang kemudian mengirimkan ‘’surat’’ untuk saya dan para pembaca Kronik Mongondow ke Harian Media Sulut (sudah diterbitkan Senin, 30 Mei 2011). Atas jasa baik wartawan Harian Media Sulut, Ahmad Ishak atau Maat Jabrik, saya sudah mendapat izin mempublikasikan surat tersebut di blog ini.

Oleh Uwin Mokodongan

PALING sedikit ada dua hal yang membuat saya teringat nama Katamsi Ginano. Pertama, pada suatu waktu sekitar 2001 silam di buka puasa bersama Mahasiswa asal Mongondow di Rumah Dinas Ketua DPRD Sulut yang saat itu dijabat Syachrial Damopolii --biasa kita sapa Papa Dona. Apa yang paling berkesan hingga rekam peristiwa 10 tahun silam itu masih membekas di ingatan saya?

Jawaban sedikit panjangnya karena pada kesempatan itu ada kesan unik, sedikit nyeleneh namun kritis dan mengelitik --setidak-tidaknya menurut saya- tertangkap dari ungkapannya perihal shalat Tarawih. Ketika itu --kalau Katamsi masih ingat—waktu shalat Isa tiba dan akan dilanjutkan dengan shalat Tarawih. Dia –dan saya pun begitu-- memilih tidak ikut berjamaah. Saat Papa Dona yang juga tak ikut berjamaah menanyakan apa alasannya, Katamsi  hanya enteng menjawab bahwa sholat Tarawih itu adalah shalat yang ‘’berangin-angin’’.

Tak pelak saya yang waktu itu sedang melahap puding (Mongondow: podeng) sedikit tersedak. Singkatnya,  baik Katamsi, Papa Dona, dan satu dua orang Di rumah dinas itu sama-sama tidak ikutan sholat Tarawih (perlu juga disampaikan bahwa saya tak ikut shalat ketika itu karena memang tak ada niatan ber-tarawih, bukan karena pengaruh omongan soal shalat yang ‘’berangin-angin’’).

Saya sendiri --karena memang tidak kenal dan baru pertama kali ketemu dengan Katamsi-- tak bertanya  apa makna ‘’berangin-angin’’ yang diutarakanya, dan diam-diam memilih terbahak-bahak dalam hati sembari bergumam: “Ini tipe orang Mongondow yang unik. Siapa dia?” Belakangan saya tahu orang dengan jawaban ‘’berangin-anginnya’’ itulah Katamsi Ginano.

Dan kedua, tulisanya di Harian Posko Manado beberapa tahun lalu yang isinya adalah kritikan pedas kepada Bupati MMS karena melakukan Sholat Ied ‘’ekslusif’’, dimana MMS tampil berhiaskan ‘’singgasana’’ di jejeran shaf depan perempuan. ‘’Ow, dia ini pula rupanya, si manusia ‘berangin-angin’,’’ gumam saya ketika membaca tulisan tersebut.

Kini, setelah saya kembali --pernah di-remove-- sebagai anggota group Pinotaba  di situs jejaring sosial facebook, dimana banyak anggota yang membagikan link seiring panasnya suhu perpolitikan di Bolmong terkait hasil Pemilukada yang disidang di MK, pertemuan dengan Katamsi Ginano si manusia ‘’berangin-angin’’ kembali terjadi. Itu diawali ketika saya menekankan membuka link yang di-posting anggota Pinotaba: http://kronikmongondow.blogspot.com/.

Setelah membaca tulisan demi tulisan, ada dua judul yang membuat kedua alis saya seolah mau ketemu. Pertama, tulisan Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan, Jumat (15 April 2011). Sedang kedua, tulisan Hore…! yang di-posting bertepatan dengan hari diketuknya palu sidang MK, Kamis (28 April 2011).

Apa duduk soal yang bikin kening saya seolah mau pindah tempat? Pertama, di tulisan Sengketa Pilkada Bolmong: Media Amatir, Wartawan Asal-Asalan dicantumkan nama Harian Komentar, tempat saya bekerja, di pembukaan tulisan. Bunyinya: HARIAN  Tribun Manado, Kamis (14 April 2011) menurunkan berita Penggugat Hadirkan 8 Saksi, dengan dua anak judul, Pojokkan Salihi dan KPUD Bolmong  serta Sidang Gugatan Pemilukada di MK. Untuk isu yang sama Manado Post  menulis Saksi ADM Norma: Ijasah Salihi Asli. Sedangkan Komentar memajang tajuk ADM-NM Ajukan Bukti Ijazah Palsu: Saksi Akui Keasliannya.

Seperti biasa, dengan pisau analisisnya yang kritis dan tajam, Katamsi mulai menguliti apa yang disoalkan dan tanpa tedeng aling-aling menyerang Tribun Manado  sekaligus wartawannya hingga “berdarah-darah” dan tersungkur di sudut ring yang memalukan. Tentu tindakan tersebut menjadi hak sepenuhnya selaku pemilik blog dan semau-mau dia mengapa-ngapain siapa saja yang dianggapnya sangat sah dan layak dikuliti. Apalagi pertanggug-jawaban sepenuhnya juga ada pada dirinya sendiri.

Lantas apa hubunganya dengan Harian Komentar? Atau apa hubunganya dengan saya yang bekerja selaku kuli tinta di Harian Komentar? Toh Tribun Manado yang di-sileti? (iningkulitan in kai mongondow). Ya, sampai di sini memang tak ada soal. Penyerangan Katamsi terhadap Tribun Manado sekaligus wartawannya yang mulai pedih di sub judul: Amatir dan Asal-Asalan, bukan berarti pula serta-merta membuat saya selaku kuli tinta yang memang amatiran dan baru bekerja di Harian Komentar lantas sekalian merasa di-sileti. Sebab selain bukan saya yang menurunkan berita itu, Tribun Manado-lah yang berulang kali dijadikan obyek untuk ‘’dilukai’’.

Namun, dengan membawa-bawa Komentar, demikian pula media lain yakni Manado Post dalam tulisa di blog-nya, membuat saya pribadi --wartawan yang bekerja di Komentar-- merasa seperti ikut ‘’dikuliti’’, meski yang menulis berita yang seolah-olah disoal itu bukan saya tapi kawan se-profesi di Harian Komentar Biro Jakarta yang meliput persidangan di MK dan menurunkan fakta persidangan tersebut di edisi Kamis (14 April 2011).

Dan di sini pulalah letak keunikan dan kekuatan tulisan ala Katamsi yang tak pelak membuat saya ingat satu kalimat --entah itu pepatah atau apa di dunia pers-- dari salah seorang sahabat yang pernah berkata: ‘’Salah satu gaya penulisan yang kuat dan cerdas adalah yang tidak menyerang objek tertentu tetapi membuatnya terluka, dan itu adalah senjata rahasia paling berbahaya dan cukup mematikan.’’

Kenapa saya seperti seolah-olah sepakat dengan “teori” di atas? Karena --utamanya para awam-- yang membaca tulisan si manusia ‘’berangin-angin’’. Ya, suka memakai istilah ini—di blognya ikut-ikutan menghakimi tiga media sekaligus, yakni Tribun Manado, Manado Post, dan Komentar, sebagai media yang memusuhi Salihi-Yani. Ini terbukti dari omongan beberapa orang yang disampaikan langsung  maupun lewat SMS usai membaca blog tersebut.(Bersambung ke bagian II)***