Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, May 5, 2011

So Long Marlina Moha-Siahaan

HARUS seperti apa semestinya seorang pemimpin saat menanggalkan jabatannya? Pertanyaan ini berkesiuran di kepala saya bersamaan dengan berakhirnya periode kepemimpinan Bupati Marlina Moha-Siahaan, Kamis (5 Mei 2011). 10 tahun memimpin Bolmong bukanlah waktu yang pendek.

Saya terkejut sendiri ketika tersadar bahwa negeri ini telah berulang kali menjadi contoh tragisnya senjakala seorang pemimpin. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, diasingkan hingga wafat dalam kesepian. Penggantinya, Soeharto, tidak lebih baik. Setelah melepaskan jabatan karena tekanan massa pada 1998, Soeharto berulangkali dihadapkan ke meja hijau. Kasus-kasus yang dituduhkan itu tak pernah diselesaikan hingga Soeharto berpulang ke hadirat-Nya.

Praktis di antara enam Presiden Indonesia sejak era Soekarno, hanya BJ Habibie dan Megawati Soekarnoputri yang relatif melepaskan jabatan lewat proses yang dikategorikan normal –Presiden keenam, Soesilo Bambang Yudhoyono saat ini berada di periode kedua masa jabatannya. Abdurrahman Wahid –lebih populer sebagai Gus Dur—dengan cara yang berbeda berakhir mirip Soekarno dan Soeharto: dipaksa melepaskan jabatannya sebagai Presiden. Perbedaan mendasar di antara tiga mantan Presiden Indonesia itu, adalah Gus Dur berhasil terbebas dari sandera isu-isu yang menyebabkan –langsung atau tidak—menyeret dia turun dari jabatan.

Kekuasaan sebagai ironi kita pelajari dari riwayat Soekarno dan Soeharto. Di eranya masing-masing mereka berdua adalah pemimpin yang dipatuhi tanpa syarat. Tapi sejarah juga mencatat bahwa kepatuhan itu dapat berubah hanya dalam satu malam. Dalam sekejap kekuasaan yang tampak kokoh berguguran, menyisahkan seorang mantan yang menua dan merapuh dengan cepat. Semua yang pergi meninggalkan mantan yang kesepian dan cuma bisa menghibur diri dengan pikiran dan kenangan-kenangan tentang ‘’dulu’’.

Cukup banyak di antara para mantan pemimpin itu yang bahkan melalui masa kesepiannya di dalam kerangkeng bui, jauh dari kecukupan dan pelayanan yang dia nikmati di masa jaya. Lelucon bahwa penjara nyaris lebih banyak dihuni mantan anggota DPR, Bupati, Walikota, Gubernur, dan pejabat tinggi sudah jadi hal biasa di Indonesia mutakhir kita.

Kekuasaan Sebagai Kutukan

Menjelang magrib, sembari menerobos kemacetan jalanan Jakarta, Rabu (4 Mei 2011), saya menyimak cerita Bupati yang kurang dari 24 jam akan jadi ‘’mantan’’ ini diantar dengan adat Mongondow dari kediaman resmi pemerintahan di Bukit Ilongkow ke rumah pribadinya di Kotabagon. Di saat yang sama hujan deras mengguyur Kotamobagu. Kota yang kuyup menandai berakhirnya satu rezim politik dan pemerintahan di Bolmong, yang harus diakui hampir mustahil digoyahkan.

Kembali ke Kotabagon Mama Didi –demikian dia akrab disapa—tidak serta-merta powerless. Dia masih Ketua Dewan Pengurusan Daerah (DPD) Partai Golkar (PG) Bolmong dan putranya, Didi Moha, masih Sekretaris DPD PG Sulut.  Setidaknya dia masih memiliki kontrol signifikan terhadap dinamika politik lokal mengingat PG adalah fraksi terbesar di DPR Bolmong.

Seberapa efektifkah kekuatan politik yang masih dikuasai Mama Didi (juga putranya), tetap menempatkan dia sebagai salah satu tokoh berpengaruh di Bolmong? Saya kira ada tradisi (yang bagi sebagian orang sudah terbentuk jadi budaya) politik yang dilembagakan selama 10 tahun terakhir: setiap mereka yang berada di puncak piramida politik adalah mercu suar yang tak boleh disaingi. Sedihnya, Mama Didi-lah yang merintis persepsi ini atas sokongan penguasaannya terhadap institusi politik, birokrasi, dan kontrol terhadap lembaga-lembaga sosial dan budaya.

Mengendalikan kekuasaan yang berdiri di atas begitu banyak lembaga, orang, dan kepentingan memerlukan biaya tak sedikit. Apakah tanpa mesin yang menjadi sumber pembiayaan, Mama Didi masih mampu meneruskan eksistensi politik dan pengaruh besarnya?

Kekuasaan pada akhirnya memang bisa didekati dari dua aspek: sebagai pencapaian pribadi (dan kolektif) terhadap cita-cita bersama atau sebagai kutuk terhadap pribadi-pribadi yang abai terhadap cita-cita orang banyak. Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya selama 10 tahun memimpin Bolmong, saya masih terus berharap kita semua, jutaan orang Mongondow di mana pun berada, tetap menempatkan Mama Didi di posisi terhormat.

Bukan Akhir Dunia

Dari 10 tahun Mama Didi menjabat Bupati Bolmong, seingat saya hanya kurang dari dua tahun pertama saya tidak mengkritik dia dengan keras –bahkan mungkin brutal. Secara pribadi apa yang saya lakukan tidak menguntungkan sama sekali (bukankah lebih mudah bersahabat dengan penguasa?). Karena kritik itu tidak didasarkan pada ketidak-sukaan pribadi, melainkan kontrol terhadap kekuasaan, di saat dia melepaskan jabatan saya lebih bebas memberikan apresiasi; bahkan mungkin melakukan pembelaan terhadap aneka cemooh yang biasanya terjadi terhadap seseorang yang melepas jabatan.

Saya tidak perlu mengingatkan bahwa Mama Didi hanya mengakhiri jabatannya sebagai Bupati; bukan meninggalkan gelanggang politik sepenuhnya. Bukan karena itu, tetapi sebagaimana yang berulang kali saya tulis: menjaga kehormatan setiap orang yang pernah memberikan sumbangsih terhadap Mongondow adalah kehormatan bagi setiap orang Mongondow. Kalau pun ada satu dan lain hal yang menjadi tanggungjawabnya selama menduduki jabatan Bupati, yang akhirnya berkonsekwensi hukum misalnya, tidak boleh menjadikan dia mantan pemimpin yang berakhir sendiri dan kesepian.

Mama Didi, tanpa niat gagah-gagahan, sok berempati dan simpati, saya menawarkan persahabatan sebagaimana dahulu kala. Mohon pintu rumah Anda dibuka bila satu saat saya mampir untuk segelas kopi dan percakapan-percakapan yang lepas dari pikuk dan ‘’silat’’ politik. Sebagai pribadi Anda orang yang menyenangkan, terutama ketika dengan bebas bisa berbahasa Mongondow.

Lagipula saya tidak memaknai berakhirnya periode jabatan Bupati itu sebagai akhir ‘’dunia politik’’ Anda yang merentang jauh hingga 20 tahun ke belakang. Di usia yang kian matang, saya yakin di masa datang Mama Didi masih berpeluang mengejutkan kita di jagad politik Mongondow.

Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip salah seorang penulis dan penyanyi balada  Amerika, Woodrow Wilson ‘’Woody’’ Guthrie (1912-1967). Di album Hard Travelin': The Asch Recordings, Volume 3 (1998) yang kini jadi salah satu koleksi Library of Congress, pemusik yang lebih dikenal dengan nama Woody Guthrie ini melantunkan So Long It's Been Good to Know You.

Ya, so long Mama Didi. It’s been god to know you so far.***