Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Saturday, May 7, 2011

Ke Lolak Bolmong Pergi

KERIUHAN politik untuk sementara mereda, Kamis (5 Mei 2011), saat Gubernur Sulawesi Utara (Sulut), SH Sarundajang, melantik Gun Lapadengan sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Bolmong. Tugas Pjs Bupati ini antara lain mempersiapkan pelantikan Bupati-Wakil Bupati (Wabup) 2011-2016 terpilih, Salihi Mokodongan-Yani Tuuk.

Sejauh yang saya dengar, dalam sambutannya Gubernur Sarundajang menekankan beberapa hal penting yang harus diindahkan Pjs Bupati. Hal-hal itu antaranya tetap bekerjasama dengan seluruh perangkat pemerintahan di jajaran Pemkab Bolmong, segera mengurus perpindahan pusat pemerintahan ke Lolak, menyerahkan aset yang sudah menjadi hak Kota Kotamobagu, serta tidak melakukan rolling kecuali atas permintaan sendiri.

Isu Rolling

Pernyataan Gubernur tersebut sepintas terkesan normatif. Usai Pilkada 22 Maret 2011 yang disusul gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) oleh pasangan Didi Moha-Norma Makalalag dan Suharjo Makalalag-Hasna Mokodompit, isu politik yang naik ke permukaan memang seputar topik tersebut. Kalau pun saat ini yang paling banyak diperbincangkan adalah spekulasi rolling di jajaran birokrasi, lebih karena imbas aktifnya banyak PNS mendukung kandidat Bupati-Wabup di Pilkada lalu.

Keterlibatan PNS di Pilkada Bolmong, dibanding di event yang sama di kabupaten/kota lain di Sulut, sungguh mencolok dan bahkan menciptakan perkubuan yang dampaknya masih berlanjut hingga kini. Kubu pendukung mantan Bupati Marlina Moha-Siahaan, misalnya, terang-terangan berhadapan bukan cuma dengan pendukung Bupati-Wabup terpilih, tetapi Salihi Mokodongan dan Yani Tuuk sebagai pribadi. Serangan terhadap pribadi itu, terutama yang dilakukan dengan memanfaatkan media massa dan sosial media (facebook dan sejenisnya), dalam amatan saya bahkan sudah lebih dari pelanggaran kepatutan sosial dan budaya.

Contohnya PNS setingkat kepala dinas (Kadis) yang turut --atau malah memelopori-- diangkatnya isu  pendidikan dan ijazah yang dikantongi Salihi Mokodongan, selain melanggar etika dan profesionalisme birokrat, juga dapat dikategorikan menerabas disiplin PNS sebagaimana yang diatur Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 53/2010. Beralasan bahwa apa yang dilakukan hanya menjalankan tanggungjawab sesuai tuntutan jabatan yang diemban; atau loyalitas pada pimpinan dan karenanya patuh terhadap apa pun yang diminta, sangat tidak relevan dan menggelikan.

Yang sebenarnya adalah: PNS di Bolmong memang terbiasa berpolitik praktis demi jabatan atau kepentingan lain yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya. Indikatornya, seseorang mendapat promosi atau jabatan bukan karena kompetensi dan kapabiliti, melainkan pada kepiawaiannya men-service ego Bupati atau karena ada hubungan kekerabatan. Lucunya, aspek kedua ini langsung jadi modus sesaat setelah Salihi Mokodongan-Yani Tuuk terpilih sebagai Bupati-Wabup.

Beberapa birokrat yang jelas-jelas hingga hari H Pilkada gigih mendukung pasangan Didi Moha-Norma Makalalag (ada yang secara resmi diketahui sebagai penasehat strategi pasangan ini), segera merapat bagai lintah dengan pengakuan sebagai kerabat dekat Salihi Mokodongan atau istrinya. Lebih mencengangkan, ada di antara mereka yang tanpa tahu malu sesumbar sedang menyusun kabinet pemerintahan Bupati-Wabup 2011-2016, "katanya" atas permintaan Bupati terpilih yang adalah kerabatnya.

Saya yang sedikit mengetahui seluk-beluk di balik Bupati-Wabup Bolmong terpilih cuma bisa tersenyum (tentu saja pahit). Sudah mengaku-ngaku kerabat Bupati terpilih, berdusta, anehnya ada pula yang percaya. Kian lucu lagi karena akhir-akhir ini saya banyak bertemu PNS Bolmong yang mengaku kerabat dekat Salihi Mokodongan. Kerabat-kerabat ini entah ada di mana sebelumnya?

Mendilusi Substansi

Isu rolling mengasikkan diutak-atik sebagai bahan gosip, tetapi tingkat kepentingannya sebenarnya jauh di bawah hal-hal lain yang diingatkan Gubernur Sarundajang ke Pjs Bupati Lapadenga. Dua hal lain, penyerahan aset ke Kota Kotamobagu dan pemindahan ibukota ke Lolak, harus ditafsirkan dinaikkan status oleh Gubernur jadi prioritas karena "dianggap" sudah diabaikan cukup lama.

Penafsiran saya belum tentu tepat. Tapi sudah berapa lamakah Bolmong dimekarkan? Kalau dihitung sejak Kota Kotamobagu dari periode kepemimpinan Walikota Djelantik Mokodompit-Wawali Tatong Bara (2008), setidaknya sudah memasuki tahun ketiga. Sebelumnya, selama beberapa waktu ada Pjs Walikota. Di rentang itulah infrastruktur dan fasilitas pemerintahan mulai dibangun, namun hingga kini belum satu pun Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang berkantor di Lolak.

Tidak cukupkah tiga tahun untuk menyiapkan penyerahan aset dan memindahkan ibukota ke Lolak? Saya dapat memahami bahwa memilah-milah aset adalah pekerjaan rumit; apalagi bersamaan dengan itu harus pula membangun puluhan fasilitas pemerintahan dari nol. Situasi ini, dari informasi yang tiba di kuping saya (tapi belum diverifikasi kebenarannya), dipersulit potensi pelanggaran hukum atas penggunaan lahan tempat dibangunnya berbagai fasilitas itu, yang konon melanggar prosedur. Kalau kabar ini benar, Pjs Bupati serta Bupati-Wabup terpilih perlu men-stok obat sakit kepala dan koyo'.

Terkatung-katungnya pemindahan ibukota ke Lolak juga bisa menjadi pelajaran penting. Pertama, memekarkan sebuah wilayah tidak boleh diperlakukan seperti pasangan kekasih yang kebelet menikah. Pokoknya ijab dibaca dulu, urusan tidak ada piring, sendok, garpu, gelas hingga hunian, kan masih ada PMI (pondok mertua indah). Kultur tiba saat tiba masalah ini mestinya dipikirkan agar besok-lusa pemekaran wilayah dipersiapkan lebih baik. Ya, mirip pasangan di negara-negara maju yang berani menikah setelah siap mandiri. Kemandirian satu daerah otonomi adalah ekstrak dari pemekaran sebagai upaya mendistribuskan kesejahteraan, bukan memeratakan sakit kepala dan masalah.

Kedua, membangun sebuah wilayah baru memerlukan pemimpin yang punya goodwill dan kemampuan menggerakkan seluruh sumber daya dengan serius. Saya tidak mengatakan pimpinan di Pemkab Bolmong sebelumnya tidak sungguh-sungguh bertekad dan memenej pemindahan ibukota ke Lolak. Namun faktanya hari ini ibukota Bolmong masih berada di Kota Kotamobagu, kendati terakhir --menjelang Pilkada lalu-- ada mobilisasi rencana pindah (termasuk mengontrak sejumlah bangunan sebagai kantor sementara) yang diam-diam surut dan terlupakan.

Dan ketiga, sudah waktunya elit politik dan birokrasi di Mongondow menelaah kembali dan memisahkan dengan tegas keputusan-keputusan politik dan menejemen teknis. Pemekaran dan pemindahan ibukota adalah keputusan politik yang tindak lanjutnya menuntut penguasaan teknis terintegrasi. Peluang terlaksananya implementasi keputusan itu justru terganggu bila intervensi pendekatan politik masih ikut campur.

Tepat belaka bila Gubernur Sarundajang meng-highlight isu penyerahan aset dan pemindahan ibukota Bolmong dilakukan sesegera mungkin pada Pjs Bupati, juga Bupati-Wabup terpilih. Pindah ke Lolak secepatnya juga bagus sebagai atmosfir baru untuk Bolmong ke depan, bukan hanya lima atau sepuluh tahun mendatang ketika Bupati-nya kebetulan berasal dari Lolak.***