Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 25, 2011

Banjir dan Nostalgi Ritual Pembersihan

HINGGA 25-30 tahun lalu menonton air berwarna coklat, meluap, menerjang membawa segala macam yang terlewati, dianggap sebagai hiburan buat bocah-bocah di Jalan Amal. Sembari mandi hujan (telanjang dada, hanya bercelana pendek), kami berbaris di pagar salah satu dari tiga jembatan (Amal 1 hingga 3) yang berada di ruas jalan ini hingga ke perbatasan Mogolaing-Motoboi Kecil.

Naiknya volume air sungat di bawah jembatan Amal 1 adalah yang paling seru. Dibanding dua sungai lain, yang pertama ini alirannya memang lebih besar dan di beberapa bagian cukup dalam –seingat saya, di usia 12 tahun kaki saya belum menyentuh dasarnya--, hingga saat banjir suaranya cukup menggemuruh. Merindingkan kuduk.

Dua-tiga hari setelah banjir berlalu, tiga sungai yang melintasi Jalan Amal itu kembali jernih. Sepanjang alirannya juga bersih bagai habis dipoles. Tiba saat bagi saya dan adik-adik menenteng jorang dan cacing, memancing mujair yang biasanya mudah di temukan di tempat-tempat yang berair dalam dipenuhi bebatuan. Kalau sedang mujur, bukan hanya mujair yang tersangkut di ujung kail, tapi belut (bulog) yang nikmat benar disantan pedas oleh almarhumah Nenek.

Kadang-kadang saking asiknya memancing (biasanya dimulai sekitar pukul 13.30 Wita seusai makan siang) waktu terlupa hingga magrib turun. Kalau sudah begitu, siap-siap disambut cubitan Ibu yang perihnya masih membekas hingga hari berikut. Toh namanya anak-anak, tetap tak ada kapoknya. Apalagi kalau sudah menghadapi dan mengganyang mujair goreng saat makan malam.

Ketika duduk di bangku SMA, banjir memberi pengalaman baru: meraup udang dari tomoing. Susah menggambarkan seperti apa bentuk tomoing yang berbahan utama bambu. Kira-kira tak berbeda dengan rakit dilengkapi bentuk kerucut di ujung. Saat banjir, air yang melupa menyeret udang, ikan, dan mahluk-makluk air lain (kerap pula ular yang kesasar), mendamparkan di atas tomoing, siap dipungut siapa saja yang sedang bertugas menjaga.

Salah satu tomoing milik Kakek yang dibangun di ruas Sungai Ongkag, setiap kali banjir menghasilkan berkarung-karung udang dan ikan. Serta, luka dan bengkak-bengkak di tangan karena capit udang sungai di Mongondow tampaknya ditakdirkan dua-tiga kali lebih besar dari tubuhnya. Sama seperti cubitan Ibu yang terlupa oleh mujair goreng; udang dicampur kelapa, cabe, dan beberapa bumbu lain lalu dikukus, jadi obat mujarab perih luka di tangan dan capeknya begadang mengawasi tomoing.

Di luar musim penghujan dan banjir yang menyertainya, sungai-sungai besar di Mongondow jadi arena mandi-mandi dan bermain air. Saking dalam dan derasnya aliran air di sungai-sungai itu, saya pernah hampir tewas tenggelam di Sungai Mopait saat duduk di bangku kelas 1 SMP. Ketika itu ada perkemahan Pramuka di areal Lapangan Terbang Mopait dan –galibnya remaja tanggung—kami sukar dilarang agar tak menyelinap dan berenang sepuasnya.

Saking asiknya main air, saya tak sadar kelelahan. Kaki yang kram membuat saya tak berdaya diseret arus menuju dasar sungai. Untung selembar nyawa di badan ini selamat setelah saya dicengkeram dan diseret ke tepian.

Ritual Pembersihan

Keindahan Mongondow itu kini tinggal kenangan. Air yang mengalir di tiga sungai yang melintasi Jalan Amal tinggal semata kaki. Di musim penghujan volumenya memang bertambah, tapi tak ada lagi gemuruh yang terdengar. Yang tampak justru susah-payahnya air menyeret timbunan sampah, yang meluber ke mana-mana, bila berhenti di ruas-ruas yang menyempit akibat desakan pemukinan yang di bangun bahkan dengan menanggul tepi sungai.

Mujair? Lebih baik menenteng dompet ke pasar. Selain debit air yang kecil, aneka polusi buangan rumah tangga yang digelontorkan langsung ke sungai, ikan-ikan di hampir semua aliran sungai di kawasanpemukiman di Mongondow habis ditangkap dengan arus listrik. ‘’Ikang so abis karna dorang jaga strom.’’

Sungai-sungai yang lebih besar seperti Ongkag tak lebih baik. Debit airnya turun dratis dan ‘’menggila’’ ketika musim penghujan tiba. Tak ada lagi tomoing yang pernah saya dengar sekitar 10 tahun terakhir, sebab yang diseret air bah lebih banyak sampah rumah tangga hingga tanggul kayu dan bebatuan dari hulu. Hutan yang diubah menjadi perkebunan atau digunduli begitu saja, membuat air leluasa menyeret apa pun yang terlewati.

Mandi-mandi di sungai seperti dulu? Hati-hati, bisa disergap kudis dan gatal-gatal.  Pun gemuruh air yang jadi tontonan di masa kecil, kini adalah petanda menakutkan, terutama bagi mereka yang bermukim di sepanjang aliran sungai-sungai besar. Ketakutan itu bisa saya rasakan bahkan ketika berada jauh dari Mongondow, Ahad dan Senin (22 dan 23 Mei 2011), saat sebagian wilayah Mongondow direndam banjir dan didera tanah longsor.

Tahun-tahun belakangan setiap kali musim hujan tiba Mongondow tak luput dari bencana banjir. Air sungai yang dulu banjir dengan tertib (rutinitas banjir malah dianggap sebagai pembersihan alamiah dari hulu hingga hilir), kini tak terkendali dan menjadi ancaman terjadwal. Yang menyedihkan, kawasan-kawasan yang paling parah tergenang adalah lumbung pangan Mongondow seperti Dumoga Barat dan Dumoga Timur.  Ironisnya, di musim kemarau kawasan ini juga yang paling rentang, termasuk dua bendungan (Kosingolan dan Toraut) yang mendangkal dan megap-megap memasok kebutuhan air ribuan lahan sawah di seantero Dumoga.

Kita bukan tak tahu apa penyebab banjir kian tak terkendali itu. Apalagi kalau bukan pembabatan hutan, alih fungsi lahan, dan sejenisnya, yang berujung pada terganggunya keseimbangan lingkungan. Siapa yang menjadi pelaku, kita tahu bersama. Siapa yang semestinya mengawasi dan menegakkan hukum agar tak terjadi kesemena-menaan terhadap lingkungan, kita juga tahu. Termasuk kita pun tahu bahwa bertahun-tahun pengelolaan alam di Mongondow (dan sesungguhnya di Indonesia) dibiarkan menuju ketidak-seimbangan kronis. Sembari, di saat yang sama masif dikampanyekan bahaya bencana, penanggulangan bencana sejak dini, atau tindakan-tindakan lain yang di atas kertas amat luar biasa tetapi miskin dan tak konsisten dalam penerapannya.

Pemerintah di seantero Mongondow (lebih khusus Bolmong Induk) telah gagal menjadi pemimpin bagi masyarakat agar peduli dan menegakkan upaya menyeimbangan lingkungan dan alamnya. Sebaliknya, masyarakat yang apatis dan pragmatis juga secara terstruktur dan konsisten sengaja melupakan kearifan-kearifan tua yang berurat-berakar di Mongondow, yang dulu membuat banjir dianggap membawa berkah; bukan bencana seperti yang sejak awal pekan ini melanda sebagian wilayahMongondow.***