Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, May 11, 2011

Belajar Berharap dari Bolmong

Artikel ini ditulis oleh Endi Biaro, alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado yang berasal dari Tanggerang, Banten. Selama masa kuliahnya dia banyak bersosialisasi dengan para mahasiswa yang berasal dari Mongondow. Kini Endi bekerja sabagai salah seorang staf ahli di DPR RI.

Oleh Endi Biaro

DARI jauh –yang sebenarnya dekat sebab kedigdayaan gadget dan multimedia abad 21— pemilihan kepada daerah (Pilkada) Bolmong saya amati tidak semata karena beberapa kawan ikut terlibat di sana. Orang-orang yang saya kenal itu bukan sekadar penggembira. Ada yang kelas king maker, periset di lembaga survei, pekerja media, dan bahkan  yang tergolong ‘’bandar’’.

Ya, bandar yang saya maksud tak jauh dari pengandaian di arena pertarungan apa pun (meja kasino hingga meja hijau) selalu ada pihak yang berperan sebagai pemasok (sekaligus pengatur) aliran dana. Di politik Indonesia kini, kehadiran orang-orang seperti itu kian penting, meski hanya segelintir yang benar-benar mampu dan mau.

Saya mengamati Pilkada Bolmong sembari menunggu bagaimana akhir tradisi politik yang tiba-tiba membiak paska orde baru (Orba), yaitu menguatnya  kecederungan dinasti politik di daerah. Hasilnya, kemenangan pasangan Salihi Mokodongan-Yani Tuuk, yang mengalahkan kandidat unggulan (yang calon Bupatinya adalah putra Bupati incumbent) Didi Moha-Norma Makalalag, bukan hanya mengejutkan, tapi membawa harapan baru, termasuk di Provinsi Banten.

Politisi dan warga Banten bisa menjadikan Pilkada Bolmong 2011 dan hasil akhirnya sebagai referensi bagaimana dinasti politik, sekuat apa pun itu, satu saat pasti terantuk sadungan yang tak dapat dielakkan.

Politik di Banten

Jarak Jakarta dan Banten hanya sepelemparan tombak. Teramat dekat, apalagi bila ditempuh di pagi buta. Di luar itu, ritme normalnya betul-betul menguji kesabaran pengguna kendaraan. Tak heran para pebisnis suka mencibir: ‘’Mending terbang dari Soekarno Hatta ke Changi, paling-paling cuma 60 menitan.’’

Kedekatan wilayah itu tak serta-merta membuat dua daerah ini memiliki kesamaan, daya tarik dan pertautan kuat. Jakarta dan Banten senyatanya seperti dua kutub dengan perbedaan mencolok. Tak ada bahasa generik untuk merangkum nuansa perbedaan karakter dua wilayah yang bertetangga ini, kecuali sinisme politik yang kerap disuarakan, bahwa: ‘’ Tak boleh ada kerajaan di depan halaman Istana Negara.’’

Pernyataan itu konon bersumber dari elit puncak negeri ini, yang gerah terhadap fenomena quasi monarki (setengah kerajaan) di Provinsi Banten yang beranak pinak bak unggas dan menancapkan kuku kekuasaannya di tiap pilar politik di seluruh kabupaten/kota se-Banten.

Tak penting benar keabsahan kritik itu. Yang jelas dia adalah sinyal kejenuhan orang banyak terhadap politik yang dipraktekkan di Banten. Bisa jadi, ungkapan “tak boleh ada kerajaan” itu menuding langsung dinasti politik Banten yang kini berkuasa dan tumbuh gigantis, menggurita tak kira-kira (sehingga seperti tak ada kekuatan lain di sana).

Namun, belum tentu pula pernyataan sinis itu faktual dari aspek nara sumber dan pelontar isu, karena siapa saja bisa mengatakan hal itu. Yang jauh lebih subtil adalah melacak: ‘’Mengapa begitu banyak orang saat ini melihat Banten seperti tak ada baiknya sama sekali? Yang tampak melulu keburukan dan kehancuran, yang mewakili keterbelakangan dalam pelbagai aspek?

Sekali lagi, Jakarta dan Banten memang dekat, namun berjarak dari kultur, dinamika, apalagi kecerdasan. Inilah akar persoalan yang harus diurai, yang carut-marutnya serumit  kemacetan di ruas Tol Kebon Jeruk-Tomang.

Apalagi merumitan itu tak cuma di urusan politik. Praktek ekonomi ‘’potongan komisi 20 persen bayar dimuka” untuk segala jenis proyek —dari skala teri hingga kakap— sudah sampai ke taraf memuakkan. Lihat pula aspek pendidikan, di mana sebuah kampus utama di jantung Ibukota Provinsi sekali pun pernah roboh, apalagi dengan bangunan sekolah dasar di pelosok Saketi atau Bayah di wilayah terpencil Ujun Kulon.

Kerusakan dan miskinnya infrastruktur umum juga amat mencolok. Orang luar selalu tercengang, bahwa di sebuah provinsi yang berbatasan langsung dengan Jakarta, masih ada jalan provinsi yang mirip kubangan kerbau. Lokasinya pun  persis di bibir perbatasan dengan Ibukota, seperti  di Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, yang hanya beberapa ratus meter Bandara Soekarno Hatta.

Di sektor budaya, idem ditto. Apalagi yang bisa dibanggakan dari jazirah yang pernah menjadi pusat dan jalur perdagangan berabad-abad lalu itu?

Dengan sudut pandang lebih ekstrim, makin “berdarah-darah” lagi prestasi memalukan ala Banten. Premanisme seperti memperoleh gua perlindungan aman di Provinsi ini.  Elit-elit politik bertangan kotor tahu persis berapa harga mendatangkan bertruk-truk orang ‘’ mengacaukan’’ Jakarta. Tidak percaya? Baca sejarah sajalah. Mulai dari Dokumen Ramadi di peristiwa Malari, kerusuhan Mei 1998, atau ketika Jakarta meledak oleh preman berjubah putih,yang menyebut diri “Laskar” dalam Peristiwa Semanggi.

Itu pun kita belum menghitung sumbangsih daerah Banten dalam menyuburkan aksi-aksi terorisme berjubah agama. Sejumlah pentolan dan kasus besar terorisme berasal dari daerah ini. Bila Anda berkata, ‘’Ah, daerah lain juga begitu’’; komentar saya, hanya Banten-lah yang pernah ditulis dalam sebuah buku ilmiah lewat studi panjang dan serius atas biaya Jerman. Julukannya: A Shadow State dan kuatnya Informal Economy? Yang kurang lebih bermakna sebuah wilayah yang dikuasai bayang-bayang kekuatan besar di belakang penguasa formal.

Tanggeran yang ‘’Tenggelam’’

Episentrum politik memang berpusat di Ibukota Provinsi, Serang, akar tunjang perekonomian justru berada di Kota dan Kabupaten Tangerang di mana berdiri ribuan industri besar, puluhan ribu industri menengah (dan entah berapa banyak industri kecil). PAD (Pendapatan Asli Daerah) Banten mayoritas bersumber dari dua daerah ini. Sekadar contoh, menurut Majalah Warta Ekonomi (2009), Kabupaten Tangerang mencatat PAD terbesar ke-8 dari seluruh kabupaten/kota se-Indonesia.

Bukan hanya menjadi locus activiti perekonomian, dalam berbagai aspek Tanggeran juga memiliki karakter demografis yang paling mendekati Jakarta. Di wilayah inilah kelas menengah, kalangan terdidik, kelompok kritis, dan kekuatan masyarakat madani umumnya bermukim; serta buruh, tani, nelayan, hingga kaum profesional dan mahasiswa,beraktivitas. Anehnya, selama ini pula Tangerang seperti tak kelihatan. Kekuatan daya kebangkitan yang terkumpul seperti tersaput oleh Banten.

Bagi Tanggerang, kelahiran Provinsi Banten seolah tak ada faedahnya. Lalu apa yang dapat dilakukan? Menjelang Pilkada di Tanggeran nanti, rumusan agendanya sederhana saja: singkirkan tradisi monarki dan dinasti (kita tahu persis di sejumlah tempat cukup banyak yang mencapai karena diatur kerajaan, atau setidaknya mengakomodasi kerajaan). Bukan karena hal itu buruk, tapi karena struktur politik dan konstitusi tak memberi tempat untuk itu. Lagi pula, apa hasil dinasti politik di Banten selama ini?

Tanggeran, bagaimana pun adalah wilayah edar kelas menengah, kaum terdidik, dan manusia-manusia tercerahkan. Titik sandar terakhir praktek politik yang lebih masuk akal, lepas dari kooptasi ala monarki dan jawara, ada di sini. Belajar dari Pilkada Bolmong, mengalahkan praktek politik yang tak sehat tidaklah sulit.***