Pengantar:
Tulisan tamu kali ini, dari Shandry Anugerah,
diunggah setelah perenungan dan konsultasi dengan beberapa orang. Bukan sebab
idenya buruk atau bahasanya jelek, melainkan karena kandungannya yang beririsan
dekat dengan ego saya sebagai pemilik Kronik Mongondow. Sungguh kikuk membaca pujian, sekalipun implisit. Narsisme bukan
tabiat yang saya sukai, apalagi lakukan. Namun, saya sajikan juga dan Anda,
para pembaca, sila menikmati dan menakar sendiri.
Oleh Shandry Anugerah
Pendiri Rumah Belajar Saung Layung Arus Balik
DUA pekan belakangan, di tengah kekhusyukan menanam bibit
pohon cokelat sembari
menikmati mistisitas musim penghujan, BBM saya berkali-kali menerima pesan berantai
yang berisi sebuah link blogspot. Padahal
biasanya pesan berantai yang
sering saya terima, hanya berisi promosi untuk mengundang
pertemanan ABG krisis
eksistensi yang gemar mengoleksi teman di kontak BBM. Yang bahkan setelah kita berteman kemudian kita menyapa
mereka, maka jangan berharap chat
kita akan dibalas. Mungkin ia hanya akan membacanya, kemudian membuat status “sorry ee, ndak balas chat orang tak
dikenal. Sedang Nabi cuma dapa suru bacalah, bukan balaslah.”
Namun pesan kali ini
berbeda. Sebuah link lengkap dengan
sepenggal epigram satire, serta judul tulisan yang sarkastik dan provokatif. Nama blog itu adalah Kronik Mongondow
(selanjutnya ditulis KM). Dan seperti yang
tercantum di biodata admin, blog
tersebut dikelola oleh Katamsi Ginano, diperjelas dengan foto sang empu blog tengah berpose di salah satu jembatan di
kota Amsterdam, Belanda.
Pesan-pesan berantai itu disiarkan oleh beberapa teman yang
berprofesi sebagai wartawan di Bolmong. Semua terlibat dan melibatkan diri dalam
karnaval tulis-lapor yang gegap gempita itu. Sehingga menjadi daya tarik tersendiri
untuk segera menyingkap gerangan apa yang sebenarnya diributkan di blog Kronik Mongondow? Yang mencuri perhatian rekan-rekan di dunia jurnalistik.
Apakah itu kabar tentang
kiamat yang semakin dekat ? Saya membuka link
blog tadi dengan tergesa-gesa dan membaca dengan tergesa-gesa pula.
Mencari-cari substansi dari tulisan yang ada di layar Android. Sejenak dua jenak ternyata kiamat memang sudah
dekat. Tapi bukan untuk saya, pun bagi beberapa kawan yang menyiarkan pesan tersebut.
Sembari bersyukur, saya
putuskan untuk melanjutkan membaca di rumah saja. Karena banyak pekerjaan yang kadung dimulai
dan harus diselesaikan sore ini. Terlebih ayah terus memanggil dengan bibit pohon cokelat berayun di
kedua tangan, “Mari jo somo ba tanam, sadiki le somo ada bulan!’’ Saya khawatir bibit-bibit tadi akan
berganti sandal atau batu kerikil, jika saya tak acuh dan terus melanjutkan bacaan. Rapuh jemari mengusap layar Android berganti lengan kokoh menghujamkan
linggis. Kabut-kabut penasaran berganti bulir-bulir harapan.
Di rumah, saya
kembali membuka link blog KM dan mulai
membaca dengan saksama. Saya hendak melacak benang merah konflik yang terjadi, baik
melalui media sosial, portal berita online
hingga “bergosip” dengan beberapa teman yang ada di kontak
BBM.
Sampai akhirnya
saya mulai paham persoalan yang sedang hangat itu. Tentu berdasarkan dengan
perspektif dan preferensi saya sebagai subjek. Namun setelah membaca beberapa
seri tulisan yang diunggah di KM, saya mulai melirik hal lain dari tulisan Katamsi
Ginano. Saya tidak lagi tertarik dengan ending
dari konflik yang melibatkan dia dan Audy Kerap, Ketua PWI Kota Kotamobagu, setidak-tertariknya saya pada
kedondong yang disodorkan tetangga saat saya tengah melahap durian montong. Mau berakhir ironi
atau bahagia, itu urusan personal mereka. Dan menurut saya, kita harus berdiri di garis
terluar.
Mengapa kita
harus berada di garis terluar ? Tentu agar kita bisa merefleksi tulisan Katamsi
tentang anomali-anomali yang terjadi di Bumi Totabuan secara objektif dan proporsional.
Menguliti bentuk-bentuk ketidak-adilan dan kesemena-menaan yang terjadi, hampir di setiap lapisan
sosial kemasyarakatan. Bukan sekadar ikut berkoar demi memuaskan hasrat
superior kita: bahwa kita ada di pihak yang benar dan yang berseberangan sudah pasti
keliru.
Ketika Katamsi mengkritik seseorang, kita serta merta membenci orang tersebut.
Padahal, berkali-kali Katamsi menjelaskan bahwa dia bukan mengkritik
personal, namun karena jabatan publik yang tersemat pada orang tersebut.
Seperti pengidap neurossis obsesional,
kita tertawa bahagia melihat nasib Audy Kerap, yang diserang habis-habisan dan mulai
berandai seperti apa dia terpuruk nantinya.
Semakin dia di-bully, semakin puaslah kita ketagihan dengan penderitaan orang lain. Tanpa
disadari kita terjebak dalam kebanggaan absurd: puas hanya dengan menikmati bagian paling aksidentil dari sebuah tulisan.
Semoga si Bapak Psikoanalisis, Sigmund Freud, mau memaklumi. Maklum semaklum-maklumnya.
Padahal, jika
jeli, kita bisa belajar banyak hal dari tulisan-tulisan Katamsi; belajar
bersikap kritis, membedah masalah, menganalisa, menulis hingga belajar merdeka
sejak dalam pikiran. Peradaban semakin cepat menggelindingkan kita. Maka sudah
sewajarnya, kita butuh orang waras di tengah kegilaan kehidupan urban yang kian
hari kian pelik. Apalagi jika eksistensi mahasiswa tidak lagi sanggup mengemban
tugas sebagai agent
of change dan social of control. Dan kritik Katamsi bukan sekadar doktrin
terima jadi. Karena ia selalu menyertakan solusi yang berbeda-beda di setiap persoalan
yang ia angkat.
Saya tertarik
dengan konstruksi berpikir dan kemampuan agitasi dari pemilik blog KM. Logikanya yang sistematis, argumentasi yang kuat
dan ditopang oleh wawasan yang luas. Seperti yang selalu didengungkan Subcomandante Marcos dari pedalaman hutan Chiapas, Meksiko: kata adalah
senjata. Maka blog KM sebenarnya adalah sebuah
wadah kognisi bagi kita yang gelisah dengan fenomena penindasan atas nama perubahan. Mari melawan dengan
kata-kata.
Jika kita
menyimak dengan mengajak serta nalar kritis kita untuk mendedah, maka dalam tulisan Berita ''Picek'', Ditulis Si Tuli, Mengutip Sumber
Bisu dan Linglung,
bermaksud menjelaskan bahwa analisa tajam dan komprehensif diperlukan dalam
menerjemahkan sebuah peristiwa. Sehingga konklusi tidak bias dari inti persoalan
sebenarnya.
Tulisan Daganglah Kacang, Jangan Menulis, Apalagi
Bikin Situs Berita dan Kursus
Singkat Pencemaran Nama Baik untuk Ketua PWI KK, mengajarkan kita tentang bagaimana
melakukan counter isu, menghegemoni
pembaca dengan pesan-pesan konstruktif dan yang paling penting, ia melakukannya
dengan gaya. Pun dengan tulisan-tulisan lainnya yang jelas mencerminkan bahwa ia
memiliki perspektif berbeda dengan kebanyakan orang. Ia menggunakan gaya berfikir Janusian disertai logika-logika terbalik.
Kemampuan itu, yang pasti
membuat kita memeras otak hingga tetes terakhir jika berada di sisi yang
berseberangan dengan dia (Katamsi). Apalagi jika ia menjadi lawan tarung dalam
berdebat. Saya sempat membayangkan jika kita berada dalam satu ruangan dengan
Katamsi, kemudian seseorang mengajukan pertanyaan: “Kawan-kawan, 2 itu hasil dari mana?” Maka kita akan
kompak dan gampangnya menjawab, “Dari hasil 1 + 1.” Sedangkan Katamsi, dengan santainya berseloroh: “100 - 98, 4 :
2, atau 2 x 1.”
Kita tentu
bersepakat bahwa setiap tempat adalah sekolah dan setiap orang adalah guru.
Maka blog KM dan Katamsi adalah bagian yang tak lepas
dari peribahasa di atas. Banyak pengetahuan baru yang bisa diserap dari kritikan serta opini yang ia
tuliskan. Dan sudah barang tentu, pencapaian tertinggi dari ilmu pengetahuan
adalah ketika memberi nilai manfaat bagi orang lain.
Maka mari terus membaca sembari mendengarkan lagu Hey Jude dari The Beatles!***
Maka mari terus membaca sembari mendengarkan lagu Hey Jude dari The Beatles!***