PERISTIWA yang saya tuliskan ini baru diketahui di lingkungan terbatas.
Melibatkan pejabat publik, juga seorang tokoh (tepatnya ketua) organisasi
pemuda di KK, yang karena kebodohan dan ketakmampuan menahan diri, terpeleset
mengaborsi karir birokrasi, sosial, dan politik-kemasyarakatannya yang tengah
moncer.
Kisah yang saya yakin sebentar lagi bakal
jadi gegar di BMR ini bermula pada Selasa, 29 November 2016. Pejabat publik,
ASN yang menduduki kursi kabid di salah satu dinas teknis di KK, ini mengajak
seorang siswi PSG meninjau sebuah proyek di Moyag. Semestinya ini urusan biasa.
Kabid membimbing siswi yang praktek kerja, menunjukkan proyek terkait dengan
bidang ilmu yang dipelajari anak perempuan usia 16 tahun yang ''dititip'' di
dinasnya, adalah keniscayaan umum. Sekalipun dalam mobil yang digunakan hanya
ada Kabid dan siswi PSG itu.
Tapi, ceritanya mendadak menikung. Di
jalan, diiringi hujan yang mengguyur KK dan wilayah sekitar, Kabid melancar
aksi kreatif ala om-om senang. Entah dengan alasan apa, dia terus-menerus
menggengam tangan siswi PSG ini. Padahal mereka berdua ada di dalam mobil dan
siswi PSG itu sudah akil baliq untuk mampu mengurusi tangannya sendiri.
Bukan hanya itu, usai menengok proyek yang
ditinjau, Kabid meniupkan tawaran maut: mampir mengudap jagung dulu, kemudian
jalan-jalan berdua. Dengan tangan yang tetap menggenggam lengan, dia
menunjukkan gelagat dan manuver yang kian membuat ngeri anak perempuan ini.
Takut, panik, dan gemetar, siswi PSG itu
mati-matian menolak iming-iming dan tawaran Kabid gabet ini dan menuntut segera pulang. Lewat ponsel, dia mengirim
pula pesan ke teman lelaki dan ibunya. Apa boleh buat, pelajar yang ternyata
seusia--bahkan pernah bersekolah bersama-- salah satu putri Kabid, sekitar
pukul 14.00 Wita akhirnya diturunkan di salah satu ruas jalan di Kelurahan
Gogagoman.
Akan halnya Kabid, mungkin karena panik,
menambah daftar kesalahan dengan menjejalkan uang ke tas siswi PSG itu.
Nilainya pun bukan sekadar ''pengganti ongkos bentor'' atau traktiran makan
siang atasan yang peduli pada pelajar magang, sebab mencapai lebih Rp 700 ribu
(termasuk selembar Rp 2 ribu).
Begitu terbebas, siswi yang ketakutan ini
menghambur menemui ibunya, yang bersegera mengontak salah seorang tantenya.
Mereka lalu menemui ayahnya, yang kebetulan sedang bekerja, lengkap dengan
seragam instansi yang membawahi dia. Mendengar cerita dan melihat lengan
putrinya yang memar membiru akibat digenggam sepenuh nafsu, ayah yang
terguncang dan murka ini bersigegas menuju kantor dinas tempat Kabid berkantor.
Tak menemukan yang diburu, ayah-ibu-anak
dan keluarga yang menyertai langsung menemui Kadis. Di depan Kadis, siswi PSG
yang bahkan sudah berniat tak lagi meneruskan magangnya ini mengisahkan hingga
detil bagaimana Kabid melancarkan jurus (yang eksplisit-impisit) mesumnya.
Tunggu dulu! Sebelum kita terpeleset
menghakimi, mari diuji apakah yang terjadi antara Kabid dan siswi PSG itu adalah
niatan; bukan sekadar insiden karena khilaf. Pertama, Kabid hanya mengajak terduga korban seorang untuk meninjau
proyek. Artinya, jika bukan hanya siswi PSG itu yang ada di tempat dan tidak
sedang disibukkan pekerjaan yang dilatihkan; maka memang sejak mula ada niat
tertentu yang dikandung dalam otak Kabid.
Kedua, biru memar di tangan siswi terduga korban akibat genggaman Kabid.
Ada beberapa kemungkinan: kulitnya memang sensitif; Kabid menggenggam terlampau
kuat dan lama; atau akibat upaya melepaskan diri dari genggaman Kabid.
Pertanyaannya: dengan alasan apa tangannya mesti digenggam? Di dalam kendaraan
pula. Mereka berdua kan tidak sedang menyeberang jalan, meniti jembatan bambu,
atau berdiri melongok ke dasar jurang di salah satu ruas jalan di Moyag.
Dan ketiga,
apa maksud pemberian uang senilai lebih Rp 700 ribu yang dipaksa dimasukkan ke
dalam tas siswi PSG itu? Kabid yang barangkali tengah terujung itu lambat
menyadari, uang itu menjadi bukti ada perbuatan tertentu yang ingin ditutup-tutupi.
Memangnya ke putri sendiri, yang setahu saya salah satunya sepantaran dengan
terduga korban, sekali memberi uang jajan Kabid mengangsurkan jumlah
sedemikian, sekalipun dia punya duit melimpah?
Karenanya, pantas jika malam harinya
keluarga siswi PSG itu kemudian melaporkan dugaan pencabulan dengan kekerasan oleh Kabid yang juga tokoh organisasi pemuda di KK ini ke Polres Bolmong. LP
yang terkonfirmasi bernomor STTLP/981.a/XI/2016/Sulut/Res BM, langsung
ditindaklanjuti dengan visum et repertum
terhadap terduga korban. Maka resmilah Kabid yang semestinya membawa-bawa sisir
buat menggaruk bagian yang gabet dari
tubuhnya jadi terduga tindak pidana. Terhadap
anak perempuan di bawah umur mengingat usianya yang masih di kisaran 16 tahun.
Cilaka 13. Ancaman hukuman terhadap dugaan pencabulan terhadap anak-anak,
apalagi dengan kekerasan, tergolong berat. Di lain pihak, Kabid yang tak kuat
menahan nafsu terujungnya itu juga harus menghadapi MKE. Melihat keseriusan
Pemkot KK menegakkan etika, disiplin, dan profesionalisme ASN, hampir pasti
sidang MKE mendahului selesainya penyidikan di Polres Bolmong. Bahkan jikapun
ada upaya sungguh-sungguh agar masalah ini diselesaikan di luar jalur hukum,
Kabid sial ini tetap harus berhadapan dengan MKE.
Penegakan etika memang belum tentu sejalan
dengan penegakan hukum. Setiap pelanggaran hukum sudah pasti melanggar etika.
Namun, tidak semua pengingkaran etika adalah perbuatan melawan hukum. Sebagai sebuah
aib, peristiwa itu adalah arang yang mencoreng kening Pemkot KK dan seluruh
jajarannya. Menggerus kepercayaan bahwa lingkungan dinas, instansi, dan lembaga
pemerintah di kota ini adalah tempat yang aman dari perudung seksual.
Dalam soal etik, disiplin, dan
profesionalisme ASN, dugaan kasus yang melibatkan Kabid itu mirip dengan
perkara yang kini merudung Kabag Ekonomi Pemkot KK, Ham Rumoroi. Menurut
pendapat saya, kendati mungkin ada maaf-maafan dan penyelesaian kekeluargaan di
antara para pihak yang terlibat, MKE tetap harus menyindangkan kasusnya hingga
selesai dan menyampaikan rekomendasinya. Tentu bukan sekadar teguran lisan,
seolah-olah masalah seperti dua jenis kasus ini setara dengan seorang ASN
kedapatan buang air kecil di balik rimbunan semak di tanah kosong sekitar pusat
kota KK.
Yang pasti, dua kasus yang berturutan
melibatkan elite di Pemkot KK itu cukup membuat kepala Walikota dan Sekkot
berdenyut lebih cepat. Khusus Kabid yang kini dijerat ulahnya sendiri, saya
prihatin dan menyesalkan. Dia telah membunuh karir birokrasi, sosial, juga
politik-kemasyarakatannya. Siapa lagi yang mau diasosiasikan dengan terduga
pencabul, dengan kekerasan pula? Apalagi jika dalam proses hukum dugaan ini
terbukti kebenarannya.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
ASN: Aparatur Sipil Negara; BMR:
Bolaang Mongondow Raya; Bolmong:
Bolaang Mongondow; Gabet: Gatal Bete;
Kabag: Kepala Bagian; Kabid: Kepala Bidang; Kadis: Kepala Dinas; KK: Kota Kotamobagu; MKE: Majelis Kode Etik; Pemkot: Pemerintah Kota; Polres: Kepolisian Resor; PSG: Praktik Sistem Ganda; Sekkot: Sekretaris Kota; dan SMK: Sekolah Menengah Kejuruan.