DUA hari berturut saya membaca ada perlakuan buruk terhadap jurnalis di
BMR. Peristiwa ini tampaknya dianggap hal biasa oleh kalangan pewarta di daerah
ini. Penjelajahan sekilas saya, dari hampir 40 situs berita yang menjamur di
wilayah Mongondow, hanya dua yang menyiarkan isunya.
Padahal, kejadian itu bisa jadi indikator
penting perilaku dan profesionalisme media dan pewartanya. Persepsi dan respos
sumber berita. Dan, yang tak kurang penting, dampak masifnya kerja sama sumber
berita-media-wartawan yang belakangan dibudayakan di BMR.
Menukil totabuanews.com,
Kamis, 24 November 2016 (https://totabuanews.com/2016/11/oknum-pimpinan-bess-finance-kotamobagu-hambat-tugas-wartawan),
kejadiannya melibatkan wartawan (cetak) Media
Totabuan, Albar Manoppo, dan
pimpinan Bess Finance Kotamobagu, Herman Dwi Sriyono. Akarnya, urusan
konfirmasi dugaan dipersulitnya konsumen oleh Bess Finance yang rencananya
bakal diberitakan Media Totabuan.
Perlakuan buruk pimpinan Bess Finance
terhadap wartawan, tulis totabuanews.com,
adalah mengusir paksa dan bahkan membanting telepon genggam Albar Manoppo.
Namun, alih-alih menulis lebih jauh upaya Media
Totabuan dan wartawan yang jadi korban dalam menjalankan kewajiban dan hak
jurnalistiknya, situs berita ini justru ''jalan-jalan ngawur'' dengan mengutip
komentar Ketua PN Kotamobagu, Romel Fransiskus Tampubolon. Apa urusannya Ketua
PN dengan isu yang masih di tingkat awal ini?
Sengketa yang melibatkan jurnalis dan
sumber berita, terlebih dalam isu Albar Manoppo-Herman Dwi Sriyono,
pertama-tama harus dibawa ke internal yang menugaskan Albar. Medianyalah yang
memutuskan akan lanjutkan ke tingkat apa tindakan yang dianggap menghalangi
kerja pewarta itu. Apakah cukup dengan tetap memberitakan isu dipersulitnya
konsumen Bess Finance dan ganti rugi ponsel (itupun kalau ada kerusakan);
advokasi melalui organisasi profesi (PWI, AJI, dan lain-lain) dan Dewan Pers;
atau tindakan hukum melalui kepolisian.
Sebab saya tak mengikuti pemberitaan Media Totabuan dan totabuanews.com juga hanya berhenti pada pemberitaan peristiwanya
saja, tidak tertutup kemungkinan dua pihak yang terlibat sama-sama keliru.
Albar Manoppo bisa jadi memang petantang-petenteng saat menjalankan profesinya
(dan ini juga hal biasa yang gampang ditemui dari para wartawan di BMR);
sebaliknya Herman Dwi Sriyono bersikap keterlaluan semata-mata karena
terprovokasi.
Wartawan pintar, berpengetahuan, terlatih,
dan terampil justru amat bahagia jika diperlakukan tak senonoh oleh sumber
berita. Apalagi jika isunya tergolong ''syur''. Sumber berita tak ingin
berkomentar, berlaku kasar, adalah obyek berita yang berwarna dan gurih.
Isu yang sama, perlakuan tak pada tempatnya
terhadap jurnalis, saya baca lagi di bolmora.com,
Jumat, 25 November 2016 (http://www.bolmora.com/2016/11/25/oknum-pejabat-pemkot-bersikap-arogan-kepada-wartawan-harry-dia-memaki-saya-sebanyak-empat-kali/),
yang melibatkan Kabag Ekonomi Pemkot KK, Ham Rumoroi, dan wartawan Radar Bolmong, Harry Tri Atmojo. Muasalnya
berakar dari berita Raskin Dibisniskan
yang ditulis Harry dan dipublikasi Radar
Bolmong pada Kamis, 24 November 2016. Salah satu sumber yang dirujuk dalam
berita ini (di antara beberapa sumber) adalah Kabag Ekonomi.
Jika ditelisik dengan kacamata netral, dari
seluruh aspek jurnalistik, berita Raskin
Dibisniskan baik-baik saja. Rekam jejak Harry Tri Atmojo sebagai wartawan,
sekalipun saya banyak menyimpan kritik terhadap Radar Bolmong, juga tergolong bagus. Dia, sepengetahuan saya,
adalah satu dari sangat sedikit jurnalis di BMR yang telaten dan cukup cermat
dalam meliput dan menulis berita.
Maka, apa yang dilakukan Kabag Ekonomi, di
tengah orang banyak, di Kantor DPRD KK sesaat sebelum pelaksanaan rapat
paripurna pada Jumat, 25 November 2016, adalah tindakan yang 100% hina. Kabag
jenis seperti ini memang harus segera ditindak atasan langsungnya, ada atau
tidak keberatan dari Harry Tri Atmojo, Radar
Bolmong, komunitas pewarta di BMR, atau bahkan organisasi profesi
kewartawanannya. Apalagi, ternyata Kabag Ekonomi ini tergolong doyan nantang
adu otot. Selain Harry, dia tercatat pernah berselisih dengan seorang Kadis di
lingkungan Pemkot KK.
Saya jadi bertanya-tanya, benarkah proses
penunjukkan pejabat di posisi strategis di KK dilakukan sebagaimana tata
laksananya, termasuk fit and proper test?
Kok bisa ada ASN dengan perilaku
tidak terkontrol, jauh dari matang, menduduki jabatan setingkat Kabag di
jajaran Pemkot, yang mensyaratkan kemampuan memenej diri dan perilaku dengan
ketat?
Andai saya berada di posisi Sekkot KK
sebagai atasan langsung Kabag Ekonomi, yang saya lakukan terlebih dahulu adalah
mencopot ASN sialan itu, bahkan sebelum ada pemeriksaan resmi. Bukti apa lagi
yang diperlukan jika perbuatan tercelanya dilakukan terbuka di ruang publik
seperti Gedung DPRD? Bila seorang Kabag dengan congkak dan seenaknya
memperlakukan profesional yang tidak berada di bawah wewenangnya seperti itu;
maka yang menjadi tanggung jawab dan kewajiban langsungnya pasti ditangani
dengan cara lebih buruk lagi.
Tapi memang, kerja sama Pemda-media
(pemberitaan, iklan, dan lain-lain) di BMR berdampak buruk dua arah. Pemda dan
jajarannya, terutama para elit ASN, mempersepsikan media dan wartawan harus menulis
yang baik-baik saja; sebaliknya wartawan dipaksa dan terpaksa mesti menjaga
kepentingan kerja sama medianya. Keluar terlampau jauh dari persepsi ''kerja
sama'', media yang bersangkutan akan kehilangan sumber dana; atau--yang sangat
buruk--wartawannya dianggap pihak yang bersalah karena melanggar kesepakatan
aliansi.
Para Bupati/Walikota dan jajarannya di BMR
(terutama para elit ASN) barangkali lupa, berita yang memerahkan kuping seperti
Raskin Dibisniskan justru patut
disyukuri sebagai bukti para jurnalis peduli terhadap profesionalisme ASN dan
ketatalaksanaan pemerintahan. Seorang Kabag Ekonomi yang diberitakan terkait
''permainan kotor'' di bidang kerja di bawah wewenang, tanggung jawab, dan
kewajibannya, semestinya memberikan pujian dan respek setinggi-tinggi pada sang
jurnalis. Mohon maaf, tapi berita seperti itulah yang menyelamatkan pantatnya
dari kudis penyalahgunaan dan kursinya dari kebakaran inkompetensi.
Bila faktanya Kabag Ekonomi Pemkot KK
ternyata mencak-mencak, mencaci dan (bahkan) menantang wartawan adu jotos,
Sekkot patut mengusut dan menyelesaikan bukan hanya peristiwa di Gedung DPRD KK
itu. Harus pula dikuak hingga ke akar perkaranya, yakni kinerja Kabag Ekonomi
dalam mengurusi raskin yang diduga dibisniskan. Sebab pasti bukan tanpa alasan
hingga dia kebakaran jenggot dan mencak-mencak mirip kerbau gila.***
Singkatan
dan Istilah yang Digunakan:
AJI: Aliansi Jurnalis Independen; ASN:
Aparatur Sipil Negara; BMR: Bolaang
Mongondow Raya; DPRD: Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah; Kabag:
Kepala Bagian; Kadis: Kepala Dinas; KK: Kota Kotamobagu; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkot: Pemerintah Kota; PN: Pengadilan Negeri; Ponsel: Telepon Selular; PWI: Persatuan Wartawan Indonesia; Raskin: Beras (untuk orang) Miskin; dan
Sekkot: Sekretaris Kota.