PERTAMA, untuk memahami posisi Walikota dan Ketua DPR KK, kita
mesti mengacu pada UU No 32 Tahun 2004, tertanggal 15 Oktober 2004, Tentang
Pemerintahan Daerah, UU
No 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, dan yang terakhir UU No 8
Tahun 2008, tertanggal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4548); dan
UU No 12 Tahun 2008, tertanggal 28 April 2008, Tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dari serentengan UU tersebut tak terbantahkan bahwa
Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan DPR. Tegas pula ada hak dan
kewajiban kedua pihak, khususnya DPR yang dapat mengusulkan pemberhentian
Kepala Daerah. Dengan kata lain, DPR berhak mengusulkan seorang Kepala daerah
diberhentikan; tetapi sesuai dengan UU pula, keputusan akhir tidak di tangan
DPR. ‘’Memutuskan untuk mengusulkan’’ dan ‘’memutuskan keputusan terhadap
putusan yang diusulkan’’ adalah dua pengertian yang sama sekali berbeda.
Bahkan, UU dengan tegas menyatakan, usulan pemberhentian Kepala
Daerah oleh DPR karena pelanggaran hukum atau karena Kepala Daerah tidak lagi
mampu menjalankan tugasnya, harus disetujui oleh Mahkamah Agung (MA). Tanpa
persetujuan MA, pemberhentian itu tidak sah.
Kedua, dalam
konteks Surat Keterangan dari Ketua DPR KK yang dikantongi DjM sebagai syarat
pencalonan legislatif di Pemilu 2014, apakah sejalan dengan UU yang menyatakan
bahwa DPR terdiri dari ‘’Pimpinan” dan seterusnya. Benar Ketua DPR adalah
representasi DPR itu sendiri, tetapi karena kepemimpinan DPR kolektif, absahkah
bila tanda-tangannya tunggal? Bagaimana kalau dua Wakil Ketua DPR KK berpendapat
lain? Bukankah sesuai UU, sebagai bagian dari ‘’unsur pimpinan DPR’’ mereka
semestinya berhak pula mengeluarkan surat yang berbeda.
Ketiga, dengan
mengesampingkan UU dan turunannya yang memusingkan dan dapat diperdebatkan
tanpa henti itu, praktek umum ketata-negaraannya yang diketahui, dipahami, dan
dimahfumi orang banyak yang awam, contohnya adalah: Bila seorang Walikota,
Wawali, Bupati, atau Wakil Bupati (Wabup) terlibat dalam kampanye politik
(lebih sederhana lagi keluar daerah), maka harus seizin Gubernur atau pejabat
yang ditunjuk. Demikian pula, Gubernur harus atas izin Presiden atau pejabat
yang ditunjuk (lazimnya Mendagri).
Di mana posisi Ketua DPR (dan DPR Provinsi dan
Kabupaten/Kota) dalam konteks tersebut? Apakah dia berwenang memberikan izin
bila Gubernur atau Mendagri tidak mengeluarkan izin keterlibatan seorang Kepala
Daerah dalam kampanye politik? Kalau UU dan turunannya ditafsir semena-mena,
parsial, dan dicocok-cocokkan dengan kompromi politik, serta dipraktekkan
bertolak belakang satu dengan yang lain (padahal dia berada dalam satu kesatuan
UU yang sama), negara macam apa sesungguhnya yang sedang kita mukimi ini?
Keempat, dari
sejumlah informasi yang saya dapatkan, keputusan KPU mengabsahkan tercatatnya
DjM di DCT Pemilu 2014, karena menghormati hak konstitusional warga negara
untuk mencalonkan dan dicalonkan, sesuai UUD 1945. Kalau semata hak ini yang
dikedepankan, dengan mengesampingkan turunan UUD, mulai dari UU Pemerintah
Daerah, UU Pemilu, dan seterusnya, jelas ini tafsir hantu atas kedudukan tuyul.
Tafsir KPU itu dapat kita perluas dengan menyakini, karena
UUD 1945 menjamin hak semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan, maka
siapa pun boleh datang ke Universitas Sam Rutulangi dan berkuliah di salah satu
fakultas yang dia sukai, sepanjang punya ijazah SMA dan mendapat surat
keterangan dari Ketua DPR.
Bagian manakah yang tidak jelas dari Pasal 9, Ayat (1) dan
(2) PKPU No 7/2013? Ayat (1) menyatakan:
‘’Pemenuhan syarat
sebagaimana dimaksud Pasal 4 huruf k dibuktikan dengan surat keputusan
pemberhentian yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atas permohonan
pengunduran diri kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha
milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain.’’
Sedang
Ayat (2) menyebutkan, ‘’Dalam hal surat keputusan pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) belum diterbitkan, pengunduran diri bakal calon yang
bersangkutan dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh atasan
langsung bakal calon yang menerangkan telah memberikan persetujuan pengunduran
diri bakal calon yang bersangkutan dan menyatakan akan memproses lebih lanjut
sampai diterbitkannya keputusan pemberhentian oleh pejabat yang berwenang.’’
Pejabat berwenang yang dimaksud di Ayat (1) jelas bukanlah
DPR KK. Sejak kapan Ketua DPR berhak mensahkan pemberhentian seorang Kepala
Daerah? Di UU dan turunannya yang manakah? Pun, Ayat (2) yang eksplisit
menyebutkan atasan langsung yang menerangkan telah memberikan persetujuan
pengunduran diri bakal calon (Kepala Daerah yang mencalonkan diri sebagai
anggota DPR), sudah pasti yang dimaksud bukanlah Ketua DPR. Terhitung kapan dan
di UU mana serta turunannya disebutkan bahwa atasan Kepala Daerah adalah Ketua
DPR?
Benar bahwa PKPU No 7/2013 telah diubah dengan PKPU No
13/ 2013, di mana Pasal 19 menyatakan: ‘’Surat pencalonan (Model B) dan daftar bakal calon (Model
BA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3), disertai dengan
dokumen persyaratan masing- masing bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota, yang dibuktikan dengan:’’, lebih khusus butir i yang
menyebutkan: Surat
pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali bagi: 1. kepala
daerah, wakil kepala daerah, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, direksi,
komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN dan/atau BUMD serta pengurus
pada badan lainnya yang anggarannya bersumber dari keuangan negara (Model
BB-4); dan seterusnya.
Harap
dicatat, PKPU No 13/2013 ini tidak mengubah atau meniadakan Pasal 9 PKPU No
7/2013 yang secara tegas mengatur bahwa pengunduran diri Kepala Daerah harus
seizin atasan langsung. Lebih penting lagi, derajat PKPU lebih rendah
dari PP dan UU, termasuk UU Pemerintahan Daerah. Meloloskan DjM dengan hanya
berpegang pada Surat Keterangan Ketua DPR KK serta (patut diduga) butir i,
Pasal 19 PKPU No 13/2013, sudah menunjukkan ada yang keliru dan bau tak sedap
dari putusan ini.
Dilontarkan ke tong sampah mana klausal verifikasi
yang harus dilakukan KPU, terutama KPU KK, berkaitan dengan keabsahan DjM
sebagai bakal calon legislatif Pemilu 2014? Benar dia memasukkan surat
pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, tak diperdebatkan ada Surat
Keterangan dari Ketua DPR KK. Yang jadi pertanyaan: Apakah surat-surat itu sah
berdasarkan hukum? Pembaca, dengan membaca UU dan turunannya serta praktek umum
pemerintahan dan ketata-negaraan, Anda boleh menilai sendiri sah-tidaknya
dokumen tersebut.
Maka, menurut saya, dalam kasus DjM, KPU memang sedang
menguji kredibilitasnya sendiri. Sebab itu, siapa pun yang keberatan (dirugikan
langsung atau tidak), termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) KK yang sudah
terbuka bereaksi, demi kepastian hukum di negeri ini, patut menggugat keputusan
tersebut. Dari melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu); PTUN; MK; hingga
memperkarakan Ketua DPR KK karena mengeluarkan dokumen yang di luar kewenangannya,
yang selain melanggara etika DPR, juga
masuk dalam ranah tindak pidana.***