Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, August 25, 2013

DCT Pemilu 2014 KK: Tafsir Hantu untuk Tuyul? (2)


PERTAMA, untuk memahami posisi Walikota dan Ketua DPR KK, kita mesti mengacu pada UU No 32 Tahun 2004, tertanggal 15 Oktober 2004, Tentang Pemerintahan Daerah, UU No 8 Tahun 2005 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, dan yang terakhir UU No 8 Tahun 2008, tertanggal  (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548); dan UU No 12 Tahun 2008, tertanggal 28 April 2008, Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Dari serentengan UU tersebut tak terbantahkan bahwa Pemerintahan Daerah terdiri atas Kepala Daerah dan DPR. Tegas pula ada hak dan kewajiban kedua pihak, khususnya DPR yang dapat mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah. Dengan kata lain, DPR berhak mengusulkan seorang Kepala daerah diberhentikan; tetapi sesuai dengan UU pula, keputusan akhir tidak di tangan DPR. ‘’Memutuskan untuk mengusulkan’’ dan ‘’memutuskan keputusan terhadap putusan yang diusulkan’’ adalah dua pengertian yang sama sekali berbeda.

Bahkan, UU dengan tegas menyatakan, usulan pemberhentian Kepala Daerah oleh DPR karena pelanggaran hukum atau karena Kepala Daerah tidak lagi mampu menjalankan tugasnya, harus disetujui oleh Mahkamah Agung (MA). Tanpa persetujuan MA, pemberhentian itu tidak sah.

Kedua, dalam konteks Surat Keterangan dari Ketua DPR KK yang dikantongi DjM sebagai syarat pencalonan legislatif di Pemilu 2014, apakah sejalan dengan UU yang menyatakan bahwa DPR terdiri dari ‘’Pimpinan” dan seterusnya. Benar Ketua DPR adalah representasi DPR itu sendiri, tetapi karena kepemimpinan DPR kolektif, absahkah bila tanda-tangannya tunggal? Bagaimana kalau dua Wakil Ketua DPR KK berpendapat lain? Bukankah sesuai UU, sebagai bagian dari ‘’unsur pimpinan DPR’’ mereka semestinya berhak pula mengeluarkan surat yang berbeda.

Ketiga, dengan mengesampingkan UU dan turunannya yang memusingkan dan dapat diperdebatkan tanpa henti itu, praktek umum ketata-negaraannya yang diketahui, dipahami, dan dimahfumi orang banyak yang awam, contohnya adalah: Bila seorang Walikota, Wawali, Bupati, atau Wakil Bupati (Wabup) terlibat dalam kampanye politik (lebih sederhana lagi keluar daerah), maka harus seizin Gubernur atau pejabat yang ditunjuk. Demikian pula, Gubernur harus atas izin Presiden atau pejabat yang ditunjuk (lazimnya Mendagri).

Di mana posisi Ketua DPR (dan DPR Provinsi dan Kabupaten/Kota) dalam konteks tersebut? Apakah dia berwenang memberikan izin bila Gubernur atau Mendagri tidak mengeluarkan izin keterlibatan seorang Kepala Daerah dalam kampanye politik? Kalau UU dan turunannya ditafsir semena-mena, parsial, dan dicocok-cocokkan dengan kompromi politik, serta dipraktekkan bertolak belakang satu dengan yang lain (padahal dia berada dalam satu kesatuan UU yang sama), negara macam apa sesungguhnya yang sedang kita mukimi ini?

Keempat, dari sejumlah informasi yang saya dapatkan, keputusan KPU mengabsahkan tercatatnya DjM di DCT Pemilu 2014, karena menghormati hak konstitusional warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan, sesuai UUD 1945. Kalau semata hak ini yang dikedepankan, dengan mengesampingkan turunan UUD, mulai dari UU Pemerintah Daerah, UU Pemilu, dan seterusnya, jelas ini tafsir hantu atas kedudukan tuyul.

Tafsir KPU itu dapat kita perluas dengan menyakini, karena UUD 1945 menjamin hak semua warga negara untuk mendapatkan pendidikan, maka siapa pun boleh datang ke Universitas Sam Rutulangi dan berkuliah di salah satu fakultas yang dia sukai, sepanjang punya ijazah SMA dan mendapat surat keterangan dari Ketua DPR.

Bagian manakah yang tidak jelas dari Pasal 9, Ayat (1) dan (2) PKPU No 7/2013? Ayat  (1) menyatakan: ‘’Pemenuhan syarat sebagaimana dimaksud Pasal 4 huruf k dibuktikan dengan surat keputusan pemberhentian yang disahkan oleh pejabat yang berwenang atas permohonan pengunduran diri kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas, dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, serta badan lain.’’

Sedang Ayat (2) menyebutkan, ‘’Dalam hal surat keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum diterbitkan, pengunduran diri bakal calon yang bersangkutan dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh atasan langsung bakal calon yang menerangkan telah memberikan persetujuan pengunduran diri bakal calon yang bersangkutan dan menyatakan akan memproses lebih lanjut sampai diterbitkannya keputusan pemberhentian oleh pejabat yang berwenang.’’

Pejabat berwenang yang dimaksud di Ayat (1) jelas bukanlah DPR KK. Sejak kapan Ketua DPR berhak mensahkan pemberhentian seorang Kepala Daerah? Di UU dan turunannya yang manakah? Pun, Ayat (2) yang eksplisit menyebutkan atasan langsung yang menerangkan telah memberikan persetujuan pengunduran diri bakal calon (Kepala Daerah yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR), sudah pasti yang dimaksud bukanlah Ketua DPR. Terhitung kapan dan di UU mana serta turunannya disebutkan bahwa atasan Kepala Daerah adalah Ketua DPR?

Benar bahwa PKPU No 7/2013 telah diubah dengan PKPU No 13/ 2013, di mana Pasal 19 menyatakan: ‘’Surat pencalonan (Model B) dan daftar bakal calon (Model BA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan ayat (3), disertai dengan dokumen persyaratan masing- masing bakal calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, yang dibuktikan dengan:’’, lebih khusus butir i yang menyebutkan: Surat pernyataan pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali bagi: 1. kepala daerah, wakil kepala daerah, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada BUMN dan/atau BUMD serta pengurus pada badan lainnya yang anggarannya bersumber dari keuangan negara (Model BB-4); dan seterusnya.
Harap dicatat, PKPU No 13/2013 ini tidak mengubah atau meniadakan Pasal 9 PKPU No 7/2013 yang secara tegas mengatur bahwa pengunduran diri Kepala Daerah harus seizin atasan langsung. Lebih penting lagi, derajat PKPU lebih rendah dari PP dan UU, termasuk UU Pemerintahan Daerah. Meloloskan DjM dengan hanya berpegang pada Surat Keterangan Ketua DPR KK serta (patut diduga) butir i, Pasal 19 PKPU No 13/2013, sudah menunjukkan ada yang keliru dan bau tak sedap dari putusan ini.
Dilontarkan ke tong sampah mana klausal verifikasi yang harus dilakukan KPU, terutama KPU KK, berkaitan dengan keabsahan DjM sebagai bakal calon legislatif Pemilu 2014? Benar dia memasukkan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali, tak diperdebatkan ada Surat Keterangan dari Ketua DPR KK. Yang jadi pertanyaan: Apakah surat-surat itu sah berdasarkan hukum? Pembaca, dengan membaca UU dan turunannya serta praktek umum pemerintahan dan ketata-negaraan, Anda boleh menilai sendiri sah-tidaknya dokumen tersebut.
Maka, menurut saya, dalam kasus DjM, KPU memang sedang menguji kredibilitasnya sendiri. Sebab itu, siapa pun yang keberatan (dirugikan langsung atau tidak), termasuk Partai Amanat Nasional (PAN) KK yang sudah terbuka bereaksi, demi kepastian hukum di negeri ini, patut menggugat keputusan tersebut. Dari melaporkan ke Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu); PTUN; MK; hingga memperkarakan Ketua DPR KK karena mengeluarkan dokumen yang di luar kewenangannya, yang  selain melanggara etika DPR, juga masuk dalam ranah tindak pidana.***