WALIKOTA Kota
Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), akhirnya tercantum di Daftar Calon
Tetap Pemilihan Umum (DCT Pemilu) 2004, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK.
Keputusan pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, Kamis (22 Agustus 2013) ini
segera mengundang pro dan kontra. Gegar politik ‘’babak kesekian’’ sekali lagi
menguncang Kotamobagu.
Sebetulnya saya malas membahas lagi ihwal-soal DjM. Bukan
karena dia berbeda dengan umumnya politikus, lebih khusus orang Mongondow, yang
paham etika dan tahu diri. Bagi saya, abnormalitas DjM sudah melampaui akal
sehat yang paling liar, terlebih dengan motif yang sama tidak masuk akalnya.
Difinisi gila dalam pengertahuan umum (khususnya gila jabatan), yang dia idap,
tampaknya mesti dipertimbangkan kembali dengan saksama dalam memahami, menakar,
dan mengkonklusi sepak-terjangnya politiknya.
Di sisi lain, dengan memahami tafsir hukum di Indonesia yang
mudah dibengkok-bengkok dan dipatah-patahkan, sekali pun kaget dengan keputusan
KPU KK (tentu sebagai institusi yang telah melakukan konsultasi dan telaah
berjenjang hingga KPU Pusat), saya tidak terlampau heran. Menurut hemat saya,
KPU –terutama KPU Pusat sebagai penentu paling akhir— kali ini melakukan kekeliruan.
Mereka menafsir undang-undanga (UU) dan turunannya (yang memang dapat
diperdebatkan panjang-pendek dan akhirnya menciptakan lingkaran setan) secara
parsial; di saat bersamaan melupakan praktek umum dan subtansi ketata-negaraan.
Pendapat saya ini tentu akan membuat para cerdik-cendekia
dan pakar hukum mengerutkan jidat. Memangnya saya punya kompetensi apa dalam
urusan tafsir-menafsir hukum?
Begini, pembaca, untuk memudahkan saya akan mengurutkan argumen
mengapa DjM seharusnya tidak memenuhi syarat lolos dalam DCT Pemilu 2014.
Pertama, jenjang
hukum di Indonesia mendudukkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai panutan
hukum tertinggi, menyusul UU, Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), dan seterusnya. UUD 1945 menyatakan bahwa
hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Ini hak konsitusional yang hakiki
dan melekat pada warga negara, siapa pun dia, termasuk DjM.
Berkenaan dengan
Pemilu, UU terakhir yang mengatur adalah UU No 8 Tahun 2012, tertanggal 12 Mei
2012, tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam konteks pencalonan DPR, pasal
yang pertama harus dirujuk adalah Pasal 12, huruf k, bahwa calon anggota DPR,
DPR Daerah, dan DPD: ‘’mengundurkan
diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota
Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara
dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber
dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak
dapat ditarik kembali.’’
Berdasar UU No 8/2012, dikeluarkanlah PP No 18 Tahun
2013, tertanggal 1 Maret 2013, Tentang Tata Cara Pengunduran Diri Kepala
Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri yang Akan Menjadi Bakal Calon
Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Serta Pejabat Negara
Dalam Kampanye Pemilu. Pasal-pasal yang membahasa tata cara Walikota dan
pengunduran dirinya bila mencalonkan sebagai anggota DPR atau DPD ada di Pasal
2 (ayat 1 dan 2) dan Pasal 3 (ayat 1 dan 2). Ringkasnya, Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah yang mengajukan diri sebagai calon anggota DPR/DPD harus
mengundurkan diri. Langkah ini harus dilakukan satu (1) bulan sebelum batas
akhir pengajuan bakal calon dan ditujukan kepada pejabat berwenang.
Di lain pihak, KPU sebagai penyelenggara Pemilu juga
menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 7 Tahun 2013, tertanggal
9 Maret 2013, Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota.
PKPU ini disempurnakan lagi dengan PKPU No 13 Tahun 2013, tertanggal 3 April
2013, Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 07 Tahun 2013
Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah
Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 4 PKPU No 7/2013 tak berbeda dengan Pasal 12,
huruf k, UU No 8/2012. Namun di PKPU No 7/2013 dipertegas lagi dengan Pasal 9,
ayat (1) hingga (4). Secara eksplisit pasal ini menyatakan: Kepala daerah yang
mengajukan pengunduran diri harus dibuktikan dengan surat keputusan
pemberhentian yang disahkan oleh pejabat berwenang. Apabila surat tersebut
belum diterbitkan, maka pengunduran dari bakal calon dibuktikan dengan surat
keterangan yang ditandatangani
oleh atasan langsung.
Kutipan UU, PP, dan PKPU itu mulai memusingkan kepala? Benar
belaka, apalagi kalau kemudian kita masukkan pula turunan-turunan lanjutannya,
termasuk (bila ada) Surat Edaran KPU berkaitan dengan isu ini.
Kedua, namun di
mana sebenarnya titik silang-selisih absah-tidaknya DjM lolos DCT Pemilu 2014?
Saya tetap berkeyakinan, dari seluruh dokumen yang mensyaratkan pencalonan
seorang bakal calon peserta Pemilu sudah dia penuhi, kecuali satu: Dokumen yang
terkait dengan pengunduran dirinya sebagai Walikota KK, baik surat keputusan
pemberhentian maupun surat keterangan yang ditanda-tangani atasan langsung.
Lebih khusus lagi, siapa yang dimaksud dengan atasan langsung ini?
Ketiga, sudah
menjadi fakta dan pengetahuan umum bahwa dokumen pengunduran diri DjM sebagai
Walikota KK ke KPU hanya dengan Surat Keterangan dari Ketua DPR KK. Surat ini,
kurang lebih, menerangkan bahwa yang bersangkutan sudah mengajukan pengunduran
diri. Dan bahwa pengunduran diri itu sudah diterima oleh DPR KK dan selanjutnya
akan diproses sesuai dengan ketentuan dan mekanismenya.
Sesuaikah dokumen itu sebagaimana yang disyaratkan oleh UU
dan turunannya? Apakah Ketua DPR KK adalah pejabat yang berwenang, yang
keterangannya sah sesusai UU Pemilu, PP dan PKPU terkait? Serta, yang tak boleh
dilupakan UU dan turunannya yang lain yang berkaitan dengan Pejabat Negara.
Pembaca, di titik ini kita memasuki area tafsir hukum, yang
–sebagaimana saya diungkapkan di atas--, menjadi wewenang para cerdik-cendekia,
pakar, dan penegak hukum. Dalam soal pemerintahan dan ketata-negaraan, arena
yang tepat adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah Konsitusi
(MK). Tetapi sebelum upaya formal itu dilakukan, sama sekali tak terlarang atau
dilarang bila kita mempertanyakan tafsir yang terkait dengan lolosnya DjM di
DCT Pemilu 2014, dengan menggunakan dasar yang sama, UU Pemilu dan turunannya
serta UU lain dan turunannya.***