Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Sunday, August 25, 2013

DCT Pemilu 2014 KK: Tafsir Hantu untuk Tuyul? (1)



WALIKOTA Kota Kotamobagu (KK), Djelantik Mokodompit (DjM), akhirnya tercantum di Daftar Calon Tetap Pemilihan Umum (DCT Pemilu) 2004, untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) KK. Keputusan pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, Kamis (22 Agustus 2013) ini segera mengundang pro dan kontra. Gegar politik ‘’babak kesekian’’ sekali lagi menguncang Kotamobagu.

Sebetulnya saya malas membahas lagi ihwal-soal DjM. Bukan karena dia berbeda dengan umumnya politikus, lebih khusus orang Mongondow, yang paham etika dan tahu diri. Bagi saya, abnormalitas DjM sudah melampaui akal sehat yang paling liar, terlebih dengan motif yang sama tidak masuk akalnya. Difinisi gila dalam pengertahuan umum (khususnya gila jabatan), yang dia idap, tampaknya mesti dipertimbangkan kembali dengan saksama dalam memahami, menakar, dan mengkonklusi sepak-terjangnya politiknya.

Di sisi lain, dengan memahami tafsir hukum di Indonesia yang mudah dibengkok-bengkok dan dipatah-patahkan, sekali pun kaget dengan keputusan KPU KK (tentu sebagai institusi yang telah melakukan konsultasi dan telaah berjenjang hingga KPU Pusat), saya tidak terlampau heran. Menurut hemat saya, KPU –terutama KPU Pusat sebagai penentu paling akhir— kali ini melakukan kekeliruan. Mereka menafsir undang-undanga (UU) dan turunannya (yang memang dapat diperdebatkan panjang-pendek dan akhirnya menciptakan lingkaran setan) secara parsial; di saat bersamaan melupakan praktek umum dan subtansi ketata-negaraan.

Pendapat saya ini tentu akan membuat para cerdik-cendekia dan pakar hukum mengerutkan jidat. Memangnya saya punya kompetensi apa dalam urusan tafsir-menafsir hukum?

Begini, pembaca, untuk memudahkan saya akan mengurutkan argumen mengapa DjM seharusnya tidak memenuhi syarat lolos dalam DCT Pemilu 2014.

Pertama, jenjang hukum di Indonesia mendudukkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai panutan hukum tertinggi, menyusul UU, Peratutan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah (PP), dan seterusnya. UUD 1945 menyatakan bahwa hak warga negara untuk memilih dan dipilih. Ini hak konsitusional yang hakiki dan melekat pada warga negara, siapa pun dia, termasuk DjM.

Berkenaan dengan Pemilu, UU terakhir yang mengatur adalah UU No 8 Tahun 2012, tertanggal 12 Mei 2012, tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam konteks pencalonan DPR, pasal yang pertama harus dirujuk adalah Pasal 12, huruf k, bahwa calon anggota DPR, DPR Daerah, dan DPD: ‘’mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat ditarik kembali.’’
Berdasar UU No 8/2012, dikeluarkanlah PP No 18 Tahun 2013, tertanggal 1 Maret 2013, Tentang Tata Cara Pengunduran Diri Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah, dan Pegawai Negeri yang Akan Menjadi Bakal Calon Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, Serta Pejabat Negara Dalam Kampanye Pemilu. Pasal-pasal yang membahasa tata cara Walikota dan pengunduran dirinya bila mencalonkan sebagai anggota DPR atau DPD ada di Pasal 2 (ayat 1 dan 2) dan Pasal 3 (ayat 1 dan 2). Ringkasnya, Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mengajukan diri sebagai calon anggota DPR/DPD harus mengundurkan diri. Langkah ini harus dilakukan satu (1) bulan sebelum batas akhir pengajuan bakal calon dan ditujukan kepada pejabat berwenang.
Di lain pihak, KPU sebagai penyelenggara Pemilu juga menerbitkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 7 Tahun 2013, tertanggal 9 Maret 2013, Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota. PKPU ini disempurnakan lagi dengan PKPU No 13 Tahun 2013, tertanggal 3 April 2013, Tentang Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum No 07 Tahun 2013 Tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
Pasal 4 PKPU No 7/2013 tak berbeda dengan Pasal 12, huruf k, UU No 8/2012. Namun di PKPU No 7/2013 dipertegas lagi dengan Pasal 9, ayat (1) hingga (4). Secara eksplisit pasal ini menyatakan: Kepala daerah yang mengajukan pengunduran diri harus dibuktikan dengan surat keputusan pemberhentian yang disahkan oleh pejabat berwenang. Apabila surat tersebut belum diterbitkan, maka pengunduran dari bakal calon dibuktikan dengan surat keterangan yang ditandatangani oleh atasan langsung.
Kutipan UU, PP, dan PKPU itu mulai memusingkan kepala? Benar belaka, apalagi kalau kemudian kita masukkan pula turunan-turunan lanjutannya, termasuk (bila ada) Surat Edaran KPU berkaitan dengan isu ini.

Kedua, namun di mana sebenarnya titik silang-selisih absah-tidaknya DjM lolos DCT Pemilu 2014? Saya tetap berkeyakinan, dari seluruh dokumen yang mensyaratkan pencalonan seorang bakal calon peserta Pemilu sudah dia penuhi, kecuali satu: Dokumen yang terkait dengan pengunduran dirinya sebagai Walikota KK, baik surat keputusan pemberhentian maupun surat keterangan yang ditanda-tangani atasan langsung. Lebih khusus lagi, siapa yang dimaksud dengan atasan langsung ini?

Ketiga, sudah menjadi fakta dan pengetahuan umum bahwa dokumen pengunduran diri DjM sebagai Walikota KK ke KPU hanya dengan Surat Keterangan dari Ketua DPR KK. Surat ini, kurang lebih, menerangkan bahwa yang bersangkutan sudah mengajukan pengunduran diri. Dan bahwa pengunduran diri itu sudah diterima oleh DPR KK dan selanjutnya akan diproses sesuai dengan ketentuan dan mekanismenya.

Sesuaikah dokumen itu sebagaimana yang disyaratkan oleh UU dan turunannya? Apakah Ketua DPR KK adalah pejabat yang berwenang, yang keterangannya sah sesusai UU Pemilu, PP dan PKPU terkait? Serta, yang tak boleh dilupakan UU dan turunannya yang lain yang berkaitan dengan Pejabat Negara.

Pembaca, di titik ini kita memasuki area tafsir hukum, yang –sebagaimana saya diungkapkan di atas--, menjadi wewenang para cerdik-cendekia, pakar, dan penegak hukum. Dalam soal pemerintahan dan ketata-negaraan, arena yang tepat adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah Konsitusi (MK). Tetapi sebelum upaya formal itu dilakukan, sama sekali tak terlarang atau dilarang bila kita mempertanyakan tafsir yang terkait dengan lolosnya DjM di DCT Pemilu 2014, dengan menggunakan dasar yang sama, UU Pemilu dan turunannya serta UU lain dan turunannya.***