PERTANYAAN yang
terlontar di sela-sela reriungan usai buka puasa sungguh mengejutkan saya.
‘’Abang rupanya serius mendukung Didi Moha terpilih lagi ke Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) 2014 nanti? Begitu seriusnya sampai-sampai
sekarang mulai memuji-muji Mama Didi.’’
Saya memerlukan jeda cukup panjang sebelum mentauziahkan
ihwal yang jadi sorotan ini. Memuji mantan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong)
Induk, Marlina Moha-Siahaan atau Mama Didi? ‘’Ya, di tulisan yang baru diunggah
di blog, yang judulnya ‘’Tura’!’’, kelihatan betul Abang
memuji-muji Mama Didi.’’
Oh, rupanya itu pangkal-soalnya. Padahal, seingat saya,
tidak ada kandungan pujian terhadap Mama Didi di tulisan itu. Apa yang saya
beberkan adalah fakta yang dilihat dan dialami sebagian besar warga Mongondow
yang bermukim –setidaknya—di Kota Kotamobagu (KK) atau Bolmong Induk. Setuju
atau tidak terhadap pendapat saya, adalah persoalan yang sama sekali berbeda. Fakta
adalah fakta. Sikap adil adalah sikap adil. Lepas dari apakah saya secara
pribadi dekat atau jauh, berkerabat atau tidak, dengan siapa pun.
Tapi tunggu dulu, pertanyaan cukup mengganggu itu masih
berlanjut. ‘’Abang katanya ( ‘’katanya’’ adalah kata sangat berbahaya karena
mengandung spekulasi) mendukung Didi sebab saat ini sudah berseteru dengan
Yasti Mokoagow?’’ Waduh, pertanyaan ini benar-benar harus dibereskan sesegera
mungkin sebelum menciptakan hubungan tak sedap dengan anggota DPR RI, Yasti
Mokoagow, partai asalnya, dan orang-orang yang ada di sekitar dan berdiri di
belakang dia.
Mudah-mudahan pertanyaan itu hanya mewakili pandangan
satu-dua orang. Sejauh ini saya berusaha bersikap fair dan rasional, terutama saat mengemukakan pandangan dan pendapat
lewat tulisan yang diunggah di blog
ini. Lagipula, apa manfaatnya menggunakan repetan saya sebagai referensi?
Namun, sebagai pertanyaan, keingintahuan itu harus dijawab. Pertama, adakah fakta yang keliru dari
apa yang saya tuliskan tentang Mama Didi? Sebagai politikus, dia memang
meninggalkan jabatan Bupati Bolmong setelah berkuasa selama dua periode. Sekali
pun demikian, dia tetap Ketua Dewan Pengurus Daerah (DPD) Partai Golkar (PG)
Bolmong yang menguasai DPR Bolmong. Dan selama lebih dua tahun, dia tetap
bergiat di politik sekali pun tak banyak dipublikasi media massa.
Saya memaknai aktivitas politik dan sosialnya yang tak pikuk
itu sebagai proses hibernasi. Kontemplasi seorang politikus memandang lagi
dirinya, posisinya paska berkuasa, dan mungkin mengurusi hal-hal lain di luar
sikut-sikutan dan intrik politik. Apa yang salah dari tafsir ini? Di sisi
manakah kekeliruan, misalnya, memberi kesempatan kedua pada Mama Didi kembali
ke panggung politik sebagai calon legislatif (Caleg) Bolmong di DPR Sulawesi
Utara (Sulut), sebagaimana yang sedang dia ikhtiarkan?
Kedua, apakah saya
sedang terlibat perseturuan dengan Yasti Mokoagow? Berseturu dengan politikus
sekelas Yasti tidak pernah terlintas di pikiran saya. Apa yang kurang dari dia?
Dia adalah salah satu politikus Sulut berdarah Mongondow yang tengah berkibar,
duduk di posisi elit Partai Amanat Nasional (PAN), dan menjadi sosok di depan
dan belakangan suksesnya beberapa tokoh meraih kursi Bupati dan Walikota di
Mongondow.
Lebih dari itu, saya cukup mengenal dekat Yasti Mokoagow;
baik karena ke-Mokoagow-annya, maupun dalam posisi politiknya. Tetapi tanpa
kontribusi signifikan apapun. Sebagai politikus, dia dikelilingi orang-orang
hebat yang siap memberikan saran, masukan, pertimbangan, dukungan, dan kerja
politik riil. Akan halnya saya, kontribusi terbesar yang saya berikan adalah
bertepuk tangan dan turut senang setiap kali mengetahui ada sumbangsih yang
diberikan Yasti terhadap Mongondow dan orang-orangnya.
Karena sekadar mengenal dekat, saya tegaskan: Saya bukan
siapa-siapa, apalagi dianggap penting atau berpengaruh secara politik terhadap
dipilihnya dia sebagai anggota DPR RI. Buktinya, saya tidak pernah diundang di
acara apapun di mana Yasti Mokoagow menjadi penggagas atau tokoh utamanya.
Apalagi dimintai pendapat atau saran penting yang berkaitan dengan hajat hidup
orang banyak. Tidak percaya? Coba tanyakan pada Yasti, benarkah bahwa dalam
tujuh bulan terakhir kami baru sekali berkomunikasi, itu pun per telepon pada
Rabu (24 Juli 2013), dimana kebetulan saya mendapat kehormatan dikontak oleh
Walikota KK 2013-2018 (terpilih), Tatong Bara.
Percakapan dengan Walikota KK pun bukanlah tentang urusan
gawat. Cuma sekadar silaturrahim.
Kebetulan kami kenal dekat. Kebetulan kediamannya di Mogolaing tak jauh dari
rumah Ayah-Ibu saya. Kebetulan Walikota sedang berada di Jakarta. Itu saja.
Saya tidak berani, semisal mengklaim, dari sisi Ayah ada hubungan kekeluargaan
dengan Tatong Bara. Nanti apa kata dunia?
Dan ketiga,
benarkah saya pernah melontarkan dukungan agar Didi Moha terpilih kembali di
DPR RI di pemilihan umum (Pemilu) 2014 mendatang? Benar, di banyak kesempatan
informal (saya bukan tokoh politik, tokoh masyarakat, pengamat, apalagi elit
partai politik, jadi apa yang saya katakan dapat dianggap sekadar ghirah politik orang awam yang warga
Mongondow) saya memang ‘’mengkampanyekan’’
pendapat ini.
Dasarnya? Mari kita lihat peta politik 2014 mendatang dan
peluang politikus Mongondow mewakili warganya di DPR RI. Kita mulai dengan
menghitung bahwa Sulut punya enam wakil di parlemen pusat Di Pemilu mendatang
Partai Demokrat (PD) mencalonkan tokoh-tokoh hebat, misalnya EE Mangindaan dan
Lucky Korah, ke DPR RI. Menurut hemat saya, EE Mangindaan yang kini menjabat
sebagai Menteri Perhubungan (Menhub) hampir pasti melangkah ke Senayan;
demikian pula dengan Lucky Korah yang punya rekam jejak sangat baik (mantan
Walikota Manado, Pjs Gubernur Sulut, dan Sekretaris Menteri –Sesmen—Pembangunan
Daerah Tertinggal –PDT).
Partai lain, PDI Perjuangan, juga dipenuhi nama-nama yang
mampu meraup suara. Setidaknya Bendahara PDI Perjuangan yang juga Ketua Dewan
Pimpinan Daerah (DPD) Sulut, Olly Dondokambay, dan anggota DPR RI, Vanda
Sarundajang, masih akan terpilih kembali. Dengan kata lain, PD dan PDI Perjuangan
berpeluang menduduki empat kursi (dari enam kursi) DPR RI Daerah Pemilihan
(Dapil) Sulut.
Bagaimana dengan dua kursi tersisa? Kita lihat PG sebagai
partai yang selalu berhasil mendudukkan wakil di DPR RI. Di urutan pertama
daftar calon sementara (DCS) ada Didi Moha, politikus Mongondow berusia muda,
yang dibayang-bayangi pendatang baru di urutan ketiga, Jerry Sambuaga, putra
politikus kawakan Theo Sambuaga.
Adalah kehormatan besar bagi warga Mongondow dengan
diletakkannya Didi Moha di urutan pertama. Sepengetahuan saya, Dewan Pengurus
Pusat (DPP) PG punya kebijakan: Incumbent
yang diharapkan duduk kembali, dipajang di nomor satu. Artinya, PG yang punya
kepentingan tetap bergigi di Sulut, menyakini Didi Moha akan dipilih kembali
oleh anggota dan simpatisan partai.
Kursi kedua (sebagaimana Pemilu 2009 lalu dimana PG mendapat
dua kursi di Sulut untuk DPR RI), paling mungkin diduduki Jerry Sambuaga.
Tetapi tentu saja kita tidak boleh mengabaikan pesaing kuat, misalnya seperti
Lucky Korah; mantan Sekretaris Umum (Sekum) Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Nico Gara,
yang mencalonkan diri dari Partai Nasional Demokrat (Nasdem); Mayor Jenderal
(Pur) Glenny Kairupan, yang diusung Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra); serta
Yasti Mokoagow, petahana dari PAN.
Yasti Mokoagow dengan kinerja politik dan dukungan dari
tokoh-tokoh, pemikir, dan pekerja politik yang ada di sekitarnya saat ini,
semestinya tak menemui kesulitan mempertahankan kursinya di DPR RI. Dia
berpotensi gagal kecuali bila PAN tidak dapat memenuhi parliamentary threshold (ambang batas parlemen) Pemilu 2014 sebesar
3,5 persen suara total partai di seluruh Indonesia.
Dengan memahami lanskap politik seperti itu, tidakkah sangat
rasional orang Mongondow berlega hati memberikan dukungan pada Didi Moha;
sembari tidak mengabaikan Yasti Mokoagow? Politik adalah urusan yang sangat
rasional; dan bila saya berpendapat Didi Moha perlu dukungan ekstra, alasannya
adalah demi kepentingan Mongondow dan seluruh warganya.
Pendapat itu sama sekali tidak berlawanan dengan perlunya
dukungan terhadap Yasti Mokoagow, yang sudah dilakukan oleh banyak pihak dan
orang.
Maka mari kita abaikan hal-hal sepele dan intrik-intrik tak
perlu. Kalau Didi Moha dulu politikus ingusan yang duduk di DPR RI karena
pengaruh Ibunya yang Bupati Bolmong, kita beri dia kesempatan membuktikan ingusnya
sudah diseka sebersih-bersihnya. Bila dia belum matang dan pintar, semoga
dengan berjalannya waktu kematangan dan kepintaran kini sudah menjadi bagian
integral batok kepalanya.***