GUGATAN sengketa
Pemilihan Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) di Mahkamah
Konstitusi (MK) berakhir tanpa kejutannya. Di sidang yang berlangsung Rabu (24
Juli 2013), Majelis Hakim yang diketuai Akil Muchtar sepakat menolak seluruh
gugatan pasangan Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS) serta tidak dapat
menerima gugatan kandidat Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (NM-SRS).
Putusan MK itu mengabsahkan penetapan Walikota-Wawali
2013-2018 terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, Jumat (28 Juni 2013).
Dengan demikian, Tatong Bara- Jainudin Damopolii (TB-JD) yang memperoleh suara
terbanyak di Pilwako, Senin (24 Juni 2012), dipastikan dilantik September
mendatang sebagai pemimpin pemerintahan dan birokrasi KK lima tahun ke depan.
Saya berharap pasangan ini tetap seiring-sejalan hingga masa
kepemimpinan mereka berakhir. Selama hampir lima tahun terakhir warga KK sudah
terlampau kenyang dan bosan menyaksikan bagaimana Walikota-Wawali saling
membalikkan badan, berseteru bagai anjing dan kucing.
Sebelum melantur kemana-mana, berkenaan dengan putusan MK,
saya mencatat dua salah-kaprah dan tingkah menggelikan. Pertama, kebanyakan pendukung dan simpatisan TB-JD (terutama ‘’tim
hore’’ dari kalangan pengawai negeri sipil –PNS—dan kontraktor yang
berbondong-bondong ke Jakarta), memaknai putusan itu sebagai kemenangan
jagoannya. Sehari kemudian orang banyak pun beramai-ramai menyambut pasangan
ini dengan hiruk-pikuk konvoi.
Ah, penyakit konvoi warisan pemerintahan Walikota DjM
rupanya perlu dilestarikan. Padahal, yang digugat adalah KPU KK. Karenanya KPU
KK-lah yang memenangkan perkara itu. Kalau pun mesti diarak dengan konvoi bagai
pahlawan, semestinya itu dilakukan terhadap Ketua KPU, Nayodo Kurniawan, dan
jajarannya yang sudah membuktikan mereka sukses menggelar Pilwako dengan cara
yang pantas serta dapat diterima aturan hukum dan demokrasi di negeri ini.
Tanpa keteguhan KPU melaksanakan tugas, Pilwako KK
sebenarnya berpotensi jadi pesta yang berakhir kacau-balau. Tak percuma KPU KK
dipimpin sarjana hukum seperti Nayodo (yang kembali mencalonkan diri dan saya
meyakini dia bakal terpilih kembali –sungguh gila standar kinerja di negeri ini
bila prestasinya mengawal Pilwako dianggap ‘’daong lemong’’ belaka) yang tak
segan menggugurkan calon yang tak memenuhi syarat; atau melingkari kantor KPU
dengan kawat berduri demi lancarnya Pilwako.
Kedua,
berbondongnya PNS (ajaibnya kebanyakan wajah-wajah yang memenuhi MK justru
berasal dari Kabupaten Bolaang Mongondow –Bolmong—Induk) dan kontraktor di hari
putusan penolakan gugatan DjM-RS dan NM-SRS dijatuhkan, adalah sirkus
menggelikan sekaligus mengundang prihatin. Apa urusannya mereka bergerombol,
berhimpun dalam ‘’tim hore’’, sekadar menciptakan kebisingan (juga
membuang-buang duit) tak perlu?
Apakah kehadiran berombongan, lengkap dengan tepuk tangan
yang membuat Ketua Majelis Hakim MK sempat menunjukkan mimik jengkel, adalah
isyarat mulai menangih komitmen-komitmen di balik meja? Atau, sebagaimana
kebiasaan klasik, setiap orang bersegera mendekat ke politikus yang memenangkan
kursi kekuasaan agar tampak berkontribusi maksimal?
Kebiasaan ‘’berebut mengambil nomor punggung’’ itu sungguh
memuakkan. Begitu terburu-burunya-kah setiap orang ingin segera menerima berkah
terpilihnya TB-JD hingga mereka mengabaikan kesabaran dan sopan santun?
Melupakan bahwa pertarungan panjang yang dilalui pemenang memerlukan jeda agar
akal sehat, kewarasan, juga tubuh yang penat dapat sejenak diistirahatkan.
Pengecualiannya, tentu saja, bila TB-JD memang secara
alamiah menyukai sanjungan, gosokan, tepuk-tangan, dan sorak-sorai, yang selalu
datang bersamaan dengan kekuasaan. Bila ini duduk soal fundamentalnya, patut
diingatkan bahwa setiap kali seseorang di puncak kekuasaan terlena, dia bakal
terjaga ketika jatuh berdebum di akhir masa jabatan dengan tanpa satu pendukung
pun yang tersisa.
Lihatlah hari-hari kini yang dijalani Djelantik Mokodompit
setelah kekalahannya di Pilwako. Sesiapakah lagi yang berbondong menyanyikan
sanjungan, gosokan, tepuk-tangan, dan sorak-sorai? Hampir tak ada, kecuali
sejumlah orang yang kian hari kian menunjukkan wajah bosan dan sebal. Yang
sekadar ada di sekitar semata-mata karena belas kasih manusiawi.
Dari selentingan yang saya dengar, di antara hirupan kopi
dan bual-bual usai berbuka puasa selama persidangan MK berlangsung, hari-hari
Djelantik Mokodompit dihabiskan bagai gembala kehilangan bebek yang sebelumnya
riuh mengiringi kemana dia pergi. Dia kerap duduk tersuruk di antara kepul asap
rokok tanpa henti dan hanya ditemani satu-dua orang yang bersuka-rela
menunjukkan loyalitas hingga detik terakhir.
Sesungguhnya, tanpa bisik-bisik dari para pengantar cerita
dan kisah, dari kejauhan saya dapat merasakan nestapa yang merudung Djelantik
Mokodompit. Dari lubuk hati terdalam, saya ingin menyambangi dia dan
mengingatkan, bahwa (mengutip Nayodo Kurniawan), ‘’Game is over.’’ Waktunya
berkontemplasi, melihat ke belakang, mengevaluasi apa yang terjadi hingga dia
terjerembab dari kursi Walikota, lalu menata apa yang dapat dilakukan di masa depan.
Djelantik adalah politikus dalam perngertian utuh. Yang semestinya tahu persis
bahwa selalu ada jalan kembali yang elegan dan bermartabat setelah kalah dalam
satu kompetisi.
Mengikuti nafsu dan ambisi yang tak berbatas hanya akan
menjadikan kejatuhannya sama tak berbatasnya. Pula, mendengarkan para
penasehat, khususnya yang sok tahu dan amatir, cuma memperdalam lobang kubur
sendiri. Menggugat KPU KK ke MK adalah contoh putusan yang didasari kekalapan
orang kalah dan bisikan mulut-mulut busuk yang gemar mengail di air keruh.
Mulut-mulut biadab inilah yang sesungguhnya paling bersuka-ria di balik
kemenangan TB-JD, karena mereka masih terus-menerus berhasil memeras sumber
daya apa saja yang masih tersisa dari Djelantik Mokodompit.
Sembari menjadikan nestapa kekalahan Djelantik yang datang
tak henti bagai ombak di Pantai Lolan, saya menunggu-nunggu langkah apa lagi
yang dia, para penasehat serta tim dibelakangnya rumuskan. Siapa tahu kebodohan
yang terus-menerus mereka lakukan justru bagian dari strategi dan taktik jenius
yang tidak mampu dibaca awam dan naif seperti saya dan kebanyakan warga
Mongondow.***