DI ZAMAN kasur
umumnya masih terbuat dari kapas dan dihampar di ranjang kayu, kutu busuk (sering
pula disebut ‘’bangsat’’) menjadi teror menyiksa. Jangan berharap ada nyenyak
bagi yang tidur di atas kasur dan ranjang yang dibiaki hewan sialan ini.
Berbeda dengan nyamuk yang setidaknya bisa ditanggulangi
dengan menyelimuti tubuh rapat-rapat; hanya ada satu cara memenangkan perang melawan
kutu busuk. Beber kasur yang digunakan di bawah panggangan terik matahari,
semprot seluruh ranjang dengan racun serangga, cuci, dan jemur. Agar gangguan
tak berulang, jemur-menjemur kasur minimal dilakukan sekali sebulan dan ritual
‘’meruwat ranjang’’ paling tidak setiap enam bulan sekali.
Selain kutu busuk, tikus adalah momok lain yang bikin
jengkel. Di masa ketika wilayah Jalan Amal umumnya masih persawahan, di saat-saat
tertentu ada saja tikus yang kesasar menjarah rumah orangtua kami. Kalau cuma
lemari makan yang dibobol atau karung beras yang dikerat, paling-paling kami
sekeluarga harus sabar menikmati omelan Ibu. Celakalah bila sepatu atau buku
dan tas sekolah yang dianiaya.
Di luar itu, sesekali ada kaki seribu yang iseng jalan-jalan
masuk rumah (biasanya di musim penghujan), menyelinap di ranjang, dan tengah
malam salah satu dari kami bersaudara melolong dihajar sengatannya. Akan halnya
ular yang biasanya banyak di area persawahan yang dikelilingi kebun dan semak,
justru sangat jarang disua. Kalau pun ada ular yang ditemui, jenisnya lebih
sekadar menggelikan dibanding membahayakan. Biasanya piton yang konsumsi
utamanya adalah tikus.
Tak mengherankan di masa kecil kami terbiasa menangkap ular
dan menjadikan teman. Asal jangan sampai ketahuan Ibu atau Almarhumah Nenek,
yang pasti bersegera mengangkat apapun yang ada di tangan untuk memusnahkan
mainan eksotik itu. Jangankan ular, cacing saja bisa membuat mereka
berteriak-teriak seolah langit akan runtuh di kepala.
Bagi Ibu dan Almarhumah Nenek, semua yang lidahnya
bercabang, terlebih bersuara mendesis, pasti adalah kabar buruk. Bahaya besar!
Kalau pun dia tidak beracun, belitannya tetap bisa merengut nyawa. Maka yang
lidahnya bercabang dan mendesis harus disingkirkan dengan hantaman dodutu di kepala.
Untunglah kebanyakan bangsa ular yang ditemui di Bolaang
Mongondow (Bolmong) bukan dari jenis langka dan terancam kelestariannya.
Membunuh satu-dua piton atawa patola belum membuat lembaga swadaya masyarakat
(LSM) lingkungan blingsatan dan meneriakkan kecaman.
Lama setelah meninggalkan Jalan Amal dan sesekali pulang
menengok orangtua, juga menyambangi kebun –yang tersebar di Kopandakan hingga
Pusian--, saya perhatikan momok-momok masa kecil itu nyaris telah menghilang.
Kutu busuk tak punya tempat lagi karena kasur sudah terbuat dari busa berteman
ranjang besi atau kayu artificial;
tikus habis dihalau kucing peliharaan adik bungsu; kaki seribu entah bertransmigrasi
ke mana; dan ular kehilangan tempat berbiak.
Namun saya justru melihat (dan mengalami) hewan-hewan itu
bermetamorfosis dalam perilaku segelintir orang Mongondow. Paling umum adalah perilaku
ular yang pertama kali saya cermati
dengan serius menjelang, selama, dan sesudah pemilihan kepala daerah (Pilkada)
Bolmong Induk berlangsung 2011 lampau.
Ketika itu dengan telanjang dan terang-terangan sejumlah
pegawai negeri sipil (PNS) dan aktivis mencaci dan mengolok-olok kandidat
Bupati Salihi Mokodongan --yang berpasangan dengan calon Wakil Bupati (Wabup)
Yani Tuuk. Tak akan pupus dari ingatan saya, misalnya, bagaimana salah seorang
PNS bersafari kemana-mana meneriakkan hinaan dengan memplesetkan inisial Salihi
Mokodongan, SBM, menjadi ‘’Salihi Belajar Membaca’’.
Begitu Salihi Mokodongan-Yani Tuuk memenangkan Pilkada,
Selasa (22 Maret 2011), keajaiban terjadi. Hanya dalam tempo singkat PNS-PNS
yang mencaci, mengejek, merendahkan, dan menista berbondong menghaturkan
takzim, seolah mereka adalah pendukung dan penyokong utama yang telah
berdarah-darah mengantar dia ke kursi Bupati.
Hebatnya, bukan hanya dengan seketika menjadi orang dekat
Bupati Bolmong dan istri, mereka juga sukses mendepak orang-orang yang dengan
setia dan tanpa pamrih mengantar Salihi Mokodongan-Yani Tuuk ke kursi
kekuasaan. Hingga hari ini ular-ular itu masih berkeliaran, melata, membelit,
dan mendesis di sekitar Bupati Bolmong, istri, dan keluarga dekatnya.
Persulihan mirip ular berganti kulit itu pula yang terjadi
hari ini tatkala rombongan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kota Kotamobagu
(KK) menyambangi Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018 terpilih, Tatong
Bara (TB) dan Jainudin Damopolii (JD). Tidak perlu ditutup-tutupi, sebagian
Kepala SKPD dan PNS bawahannya yang mengunjungi TB dan JD umum diketahui sejak
lama terang-terangan memusuhi dan menghinakan mereka.
Mengingat aneka hujatan yang telah diruahkan ular-ular itu,
terutama ke TB pribadi, saya hanya mengurut dada. Betapa tebalnya kulit muka
mereka hingga tahan terhadap rasa malu yang mestinya ditanggung karena omongan
yang ludahnya belum kering dan perbuatan
yang bekasnya masih berdarah. Tapi selalu ada kabar baik, paling tidak selain
melestarikan ular, KK juga punya spesies hewan hibrida baru: badak.
Betapa cepat mereka berganti ‘’kulit’’? Bahkan ketika
Djelantik Mokodompit masih sah sebagai Walikota KK, setidaknya hingga September
2013 mendatang. Betapa pula tidak profesional dan tahu dirinya mereka,
beramai-ramai melakukan kunjungan yang dibalut alasan silahturrahim, di saat semestinya aparat birokrasi tengah
memberikan pelayanan pada masyarakat.
Silahturrahim? Empat
tahun baru, empat Idul Fitri, dan empat Idul Adha berlalu tanpa silahturrahim berombongan dan terbuka ke
TB (sebagai Wawali KK 2008-2013) dari jajaran SKPD KK, lalu tiba-tiba praktek
luhur agama dan hubungan sosial ini teringat? Alasan seperti ini jelas omongan
orang dengan mulut bau got.
Tatong Bara boleh memberikan penghiburan dengan pernyataan, “Tidak usah terbawa suasana politik.
Bekerjalah dengan profesional,” sebagaimana yang dipublikasi situs Totabuan.Co (PNS Kotamobagu Mulai ‘’PeDeKaTe’’ ke TB-JaDi, http://totabuan.co/2013/07/01/pns-kotamobagu-mulai-pedekate-ke-tb-jadi/),
Senin, 1 Juli 2013. Walikota terpilih ini boleh pula menenangkan PNS yang
selama ini bersikap dan bertindak tak profesional. Yang jadi konsern saya
adalah: Apakah TB akhirnya bakal tergelincir seperti Salihi Mokodongan dengan
membiarkan dirinya, sebagai Walikota terpilih, dibelit dan dibuai desis para
ular?
Sayangnya kecambah
keterlenaan itu sudah menunjukkan petanda. Dengan bersikap akomodatif, TB
memberikan sinyal bahwa dia suka pula ‘’dijilat-jilat’’ dan ‘’di-goso-goso’’ oleh bawahan. Lagipula
hanya pemimpin yang benar-benar berdaya tahan spartan yang kuat menahan godaan.
Untuk soal ini, sejujurnya, saya tidak yakin dengan Walikota terpilih ini.
Jadi kita, warga
KK, bersiap-siap saja mengikhlaskan bila pada akhirnya para ular yang
sebelumnya oposan kelas wahid ternyata sukses berganti kulit menjadi lingkaran
dekat Walikota TB-Wawali JD. Tuhan menciptakan dada manusia dengan skala lebih
luas dari bagian tubuh lain agar kita tak kesulitan mengusap-ngusap setiap kali
melihat dan menyua hal-ihwal yang mematah hati.
Sementara itu, pada
mereka yang terbukti pakar bersulih rupa dan ganti kulit, goso jo sampe mangkilap! Hanya berhati-hatilah, kami yang tumbuh di masa sebagian wilayah KK masih belukar, persawahan, dan kebun, terbiasa
menjadikan ular sekadar mainan dan kesenangan.***