KEPOLISIAN Resort
Bolaang Mongondow (Polres Bolmong), Sabtu (29 Juni 2013), menetapkan tiga
tersangka kasus pembunuhan Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah. 11 hari kerja keras
polisi menjawab keingintahuan dan harapan orang banyak, sekaligus menghentakkan
kita.
Tiga tersangka yang kini menghuni tahanan, RZ, AA, dan KM,
tergolong berusia muda dengan pendidikan relatif baik (salah satunya duduk di
semester V Akademi Perawatan Totabuan). Latar belakang keluarga dan pergaulan
juga tak mengindikasikan potensi yang mendorong mereka gelap mata dan memilih
bertidak melawan hukum. Bahkan dua pelaku –yang untuk sementara ditetapkan
sebagai pelaku utama— sangat mengenal Almarhum Ayu, baik karena pergaulan
sehari-hari maupun tempat bermukim yang hanya sepelemparan batu dari Ayu Salon.
Setan jenis apa yang malam itu menghuni kepala dua tersangka
pelaku utama? Terlebih dari temuan polisi yang dipublikasi luas oleh media
(khususnya digital), aksi mereka sudah direncanakan sebelumnya. Memang masih
terlampau dini menyimpulkan apakah tragedi menewaskan Ayu sejak mula adalah
pembunuhan berencana atau kekerasan berencana yang tak terkontrol. Kita biarkan
polisi terus bekerja agar seluruh tanda tanya dan praduga terjawab tuntas.
‘’Prestasi’’ Kepala Kepolisian Resort (Kapolres Bolmong),
AKBP Hisar Siallagan, SIK, dan jajarannya tentu tak boleh diabaikan. Pertama, warga Mongondow, terutama saya
yang beberapa waktu terakhir bersikap sangat kritis terhadap Kapolres dan
jajarannya, harus memuji kesigapan dan gerak cepat polisi menjerat tersangka
pembunuh Almarhum Ayu. Ditangkap dan ditetapkannya tiga tersangka itu juga
memberikan ketenangan terhadap sejumlah teman dan kolega Almarhum, yang
ketakutan karena duga-duga kematiannya terkait dengan penganiayaan yang dialami
sebelumnya.
Pujian yang sama terhadap Kapolres dan jajarannya karena
diam- sudah melimpahkan (lagi) berkas satu tersangka penyalahgunaan dana
Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintah Desa (TPAPD) Kabupaten Bolaang
Mongondow (Bolmong). Pelimpahan yang dikonfirmasi Kepala Seksi Perdata dan Tata
Usaha Negara (Datun) Kejaksaan Negeri (Kejari) Kotamobagu sebagaimana yang
diwartakan Radar Totabuan, Kamis (27
Juni 2013), MMS Masuk Kejaksaan, benar-benar
membangkitkan optimisme dan kepercayaan terhadap polisi dan jajarannya di
Mongondow.
Kedua, menurut
keterangan polisi, motif sementara dua tersangka utama kasus pembunuhan
Almarhum Ayu adalah ekonomi. Untuk itu, siapa pun yang selama ini menggulirkan
duga-duga, prasangka, dan gosip yang mengait-ngaitkan peristiwa yang dialami
Almarhum dengan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, menurut
hemat saya berhutang maaf dari Sehan Lanjar. Kita semua belum lupa bahwa
hari-hari setelah korban ditemukan tak bernyawa di dalam salon miliknya, Sehan
Lanjar ‘’dianiaya’’ dengan aneka spekulasi dan pengerusakan nama baiknya.
Saya kira adalah sikap yang adil, bijaksana, dan terhormat
bila mereka-mereka yang mengolah dan menyebarkan prasangka itu menyampaikan
permintaan maaf. Setidaknya lewat pesan berantai atau broadcast message dan status BlackBerry
Messenger (BBM) sebagaimana ketika mereka menginsinuasi Sehan Lanjar.
Ketiga, dengan
tetap memuji kerja keras polisi, kita tak boleh mengabaikan bahwa mereka masih
berhutang kasus-kasus lain yang tidak lebih kecil dari tragedi Almarhum Ayu
Basalamah. Tewasnya bocah perempuan dari Desa Paret, Boltim, yang hilang pada
Sabtu (26 Juni 2011) dan ditemukan dalam kondisi menggenaskan (diduga
diperkosa, dibunuh, kemudian jasadnya dibakar), hingga kini tak ketahuan
juntrungannya.
Ketika itu polisi sempat menahan seseorang yang terakhir
terlihat membonceng Almarhumah Elvira. Tapi dengan alasannya tak cukup bukti, seseorang
tersebut kemudian dilepas dan setelah itu kasus ini perlahan menguap, tak
terdengar, dan mungkin sudah dilupakan.
Tak ada kandungan niat membangkit kepedihan keluarga, orang
dekat, dan mereka yang mengenal dengan mengingatkan kejahatan yang ditimpakan
pada Almarhumah Elvira Mokoginta. Tapi setelah berlalu lebih dua tahun sejak anak
kelima dari enam bersaudara keluarga Aleng Mokoginta dan Suriati Modeong itu
berpulang, akankah akhirnya kita pasrah dan mengarsipkan kasusnya di file dark number?
Saya masih mengingat peristiwa yang menimpa bocah itu dengan
hati yang patah. Dan saya yakin, Kapolres Hisar Siallahan yang belum bertugas
di Bolmong di saat Almarhumah Elvira Mokoginta dihabisi dengan darah dingin,
perlu diingatkan ada pekerjaan rumah yang menunggu diselesaikan. Kalau Kapolres
dengan tegas menyatakan pengungkapan kasus Ayu adalah harga diri buatnya (Totabuan.Co, Kamis, 20 Juni 2013, Kapolres: Soal Kasus Ayu Basalama (h), Itu
Harga Diri Saya); mengapa hal yang sama tidak pula untuk kasus-kasus yang
lain?
Tersebab begitu lamanya kasus Almarhumah Elvira Mokoginta
terkatung-katung, pengungkapannya justru lebih dari sekadar harga diri
Kapolres, melainkan jajaran kepolisian di Sulawesi Utara (Sulut). Bukankah
polisi sudah kian mumpuni didukung pengetahuan dan peralatan canggih? Apalagi dibanding
kejahatan kerah putih, terorisme, dan sejenisnya yang kompleks, menurut hemat
saya kasus pembunuhan terhadap Almarhumah Elvira Mokoginta tidak serumit itu.
Terlintas di benak saya syak buruk, bahwa kasus Almarhumah Elvira Mokoginta tak ketahuan ujung-pangkal karena keluarganya bukan
siapa-siapa. Kedua orangtuanya ‘’cuma’’ warga kecil dan papah yang berada di
pinggiran lingkaran sosial dan ekonomi masyarakat umumnya. Derita dan pedih
mereka dilupakan karena tidak ada media yang mendukung agar isunya mengundang
atensi luas. Tidak ada pula organisasi atau kelompok yang berdemonstrasi
menekan polisi agar bersegera menguak peristiwanya seterang-terangnya.
Kalau jajaran kepolisian memang memerlukan dukungan dalam
bentuk apapun, terutama menjadikan keluarga Almarhumah Elviras Mokoginta penting
di mata publik, membetot perhatian media, dan tekanan demonstrasi, mohon kami
yang belum melupakan peristiwa hitam itu diinformasikan. Kalau hanya mengundang
semua Bupati dan Walikota (terpilih di KK) menyambangi keluarga Almarhumah Elvira
Mokoginta untuk menunjukkan betapa penting keadilan bagi orang kecil dan
menggerakkan demonstrasi, mungkin saya dan beberapa orang cukup mampu
melakukan.
Perihal media yang tak peduli dan kerap amnesia, kita
serahkan pada ideologi yang diusungnya dan hati nurani para jurnalisnya.***