PLENO Komisi
Pemilihan Umum Kota Kotamobagu (KU KK menetapkan pasangan Tatong Bara-Jainudin
Damopolii (TB-JD) sebagai kandidat terpilih Walikota-Wakil Walikota (Wawali)
2013-2018. Melihat proses dan perolehan suara kemenangan pasangan ini, saya
kira tak ada lagi yang perlu diperdebatkan dan permasalahkan.
Konklusi pemilihan Wawalikota-Wawali (Pilwako) KK mestinya
tidak mengejutkan. 37.677
suara atau 52,81 persen dari total 71.350 suara yang diraih TB-JD hanya
menegaskan penilaian warga terhadap buruknya kinerja dan kepemimpinan Walikota
2008-2013, Djelantik Mokodompit (DjM), yang berpasangan dengan Rustam Simbala (RS)
dan hanya meraih 27.768 suara (38,92) persen.
Dua pasang kandidat lain, Muhammad Salim Landjar-Ishak Sugeha (MSL-IRS) dan
Nurdin Makalalag-Sahat Robert Siagian (SRS) masing-masing 5.055 suara (7,08
persen) dan 850 suara (1,19).
Dengan segala kelemahannya, pemilihan Walikota-Wawali
(Pilwako) KK berjalan sebagaimana perhelatan politik yang kita kenal di
Indonesia. Termasuk cukup tingginya jumlah warga yang tidak menggunakan hak
pilih. Anggota KPU KK, Amir Halatan, sebagaimana dikutip Beritamanado.com (http://beritamanado.com/berita-utama/golput-pilwako-kotamobagu-capai-15-ribuan/190744/),
Rabu (26 Juni 2013), memperkirakan angka ‘’golongan putih’’ (Golut) itu
mencapai kisaran 15 ribu pemilih.
Masyarakat KK yang dari berbagai aspek relatif ‘’lebih’’
dibanding seluruh wilayah Mongondow lainnya, membuat kalangan menengahnya (dari
aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan) cukup independen. Mereka inilah, dengan
berbagai alasan, yang paling potensial menjadi Golput, termasuk karena meyakini
tidak ada satu pun dari empat pasang kandidat peserta yang memenuhi kriteria
minimal.
Di luar minoritas warga yang tidak memilih (sekali pun
demikian angkanya cukup signifikan karena mengalahkan perolehan suara dua
pasang kandidat dengan perolehan suara terbawah), mayoritas pendudukan KK sudah
menetapkan siapa yang mereka dukung memimpin kota ini lima tahun ke depan. Kita
lihat nanti apakah TB-JD mampu memenuhi harapan yang dilimpahkan di pundak
mereka; atau keduanya pada akhirnya tak bisa mengelak dari business as usual sebagaimana yang dipraktekkan pendahulunya.
Sedini mungkin TB-JD harus diingatkan agar tak mengulang laku
busuk yang dibenci orang banyak. Peringatan dini ini tak mengada-ada. Dalam
sepekan terakhir saya melihat dengan cepat bibit-bibit lupa diri disemai
utamanya oleh para pendukung dan penyokong mereka, setidaknya yang terlihat
dari gelaran pesta dan suka ria yang tak jua berkesudahan.
Menang Pilwako baru langkah awal. Yang lebih berat adalah
menunjukkan mereka pantas dipilih bukan karena masyarakat capek dan muak
terhadap pemimpin terdahulu, patahana yang telah ditolak meneruskan jabatannya.
Jangan sampai lima tahun mendatang TB-JD hanya mampu terhenyak (seperti yang
dialami DjM) mendengar The Carnival is
Over dari The Seeker (1968) dilantunkan mayoritas warga yang kini memilih
mendukung mereka.
TB-JD boleh berkaca dari pahit dan dinginnya selamat jalan terhadap
pemimpin yang dianggap gagal. Di hari KPU KK menetapkan hasil Pilwako, Jumat
(28 Juni 2013), dengan daya yang dihimpun susah payah, segelintir pendukung DjM
berupaya menunjukkan masih ada warga yang mencintai dia. Orang-orang yang
dihimpun itu sedianya digerakkan menggelar unjuk rasa bersamaan dengan
dilaksanakannya pleno KPU.
Melihat modusnya, mudah diduga siapa-siapa yang menjadi
inisiator dan penggerak rencana unjuk rasa yang hanya bisa mengumpulkan puluhan
mama’-mama’ itu. Memprihatinkan
betul. Sebagai aktivis, juga politikus, yang selama hampir lima tahun mendapat
berkah dan privilege dari DjM, mereka
cuma punya kekuatan yang dengan mudah disaingi penghuni seperempat ruas Jalan
Amal? Itu pun barisan mama’-mama’? Yang benar saja?
Harusnya
Ketua KPU, Nayodo Kurniawan, tak perlu berbudi baik (atau justru kegenitan)
menyelamatkan muka segelintir oknum tukang jilat yang jadi penggerak dengan
menemui perkumpulan pompulong itu di
kediaman pribadi DjM. Biarkan saja mereka simimpatoi
sesukanya, toh ada aparat keamanan
yang menindak setiap gangguan terhadap seluruh rangkaian Pilwako.
Menyaksikan
unjuk rasa yang maksud dan tujuannya tak jelas, sekadar upaya ‘’biar nafas
kurang satu-satu torang masih eksis’’, pasti cukup menghibur. Mungkin pula
menambah pengetahuan dan pembelajaran terhadap orang banyak agar besok-besok
waspada tidak mempermalukan diri sendiri.
Saya
tak habis pikir, alih-alih bersama menjaga harkat dan martabat, para pendukung
DjM (dan mungkin DjM sendiri), tak henti menciptakan kerusakan baru. Dengan
masih bersiasat kiri-kanan, mencari-cari celah menganggu seluruh rangkaian
Pilwako, mereka tak beda dengan terus menguras tabungan sosial dan politik yang
mestinya disimpan demi kepentingan lain di masa mendatang. Mereka malah menempatkan
posisi di sorotan seluruh warga Mongondow untuk dengan serius mempertimbangkan
dukungan terhadap orang-orang di sekitar DjM di pemilihan umum (Pemilu) 2014
nanti.
Mengakui
kekalahan memang menyakitkan, terlebih bagi yang mengidap delusi superior. Tapi perolehan TB-JD yang
mencapai 52,81 persen suara pemilih sah Pilwako KK, dibanding 38,92 persen yang
diraih DjM-Rs, terlalu absah untuk dikutak-katik lagi. Sekali pun saksi-saksi
DjM-RS, MSL-IRS, dan NM-SRS tidak bersedia membubuhkan tanda-tangan di dokumen
hasil pleno KPU. Ini sama artinya dengan mengingkari kesaksian dari
pendukung-pendukung mereka yang menjadi saksi di tingkat tempat pemungutan
suara (TSP) dan Panitia Pemilihan Kecematan (PPK).
Beralasan
bahwa banyak kejanggalan yang terjadi selama Pilwako berlangsung, utamanya dari
pasangan DjM-RS, tidak menggelikan lagi. Kilahan ini lama-lama memicu jengkel. Bukan
karena itu alasan bodoh, tetapi tersebab yang beralasan sungguh tak tahu diri.
Tepatlah
bila mereka yang keberatan dengan hasil Pilwako secepat-cepatnya melayangkan
gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana yang berulang kali dianjurkan
oleh Ketua KPU KK. Dengan begitu warga kota juga tak perlu bertanya-tanya dan
berspekulasi siapa saja pompulong
yang simimpatoi karena ambisinya
gagal diwujud.***