APA pentingnya
gelar akademik? Salah seorang mentor saya, penyandang dua gelar pretisius dari
Harvard University, beberapa tahun lampau memberi penghiburan, ‘’Gelar akademik
adalah salah satu alat untuk ‘mengetuk
pintu’ di dunia kerja. Begitu Anda di dalam, siapa yang peduli berapa
deret huruf tambahan di depan atau di belakang nama? Bila Anda tak kompeten,
gelar hanyalah gelar.’’
Pernyataan itu sungguh melegakan. Saya, yang ketika itu
secara sadar memutuskan ‘’patah pensil’’ dari Perguruan Tinggi (PT), kalah
pamor bila hanya ditilik dari pendidikan formal. Di sekitar saya bertebaran
bukan hanya penyandang S1 dari PT terkemuka negeri ini, tetapi juga master dan
doktor dari universitas papan atas manca negara.
Kalimat-kalimat itu hingga kini terus mengiang di kepala dan
menegaskan kepercayaan betapa pentingnya pendidikan (formal). Sayangnya, saya
menyakini itu dengan susah payah, setelah mengabaikan pendidikan tinggi dan
berdarah-darah mengais kesempatan eksis di dunia kerja, juga di tengah pergaulan
sosial.
Pendidikan formal yang ditandai gelar akademik kian penting
karena ke-Mongondow-an saya. Di Mongondow penyandang dr, Ir, Drs, SH, apalagi
MS, MSi atau Dr, dianggap ‘’kelompok manusia dengan kelas tertentu’’.
Positifnya, orang Mongondow lalu berlomba-lomba masuk PT agar punya tambahan
gelar di depan atau belakang nama. Negatifnya, sebagaimana yang makin umum kita
sua, sejumlah orang bahkan menghalalkan segala cara demi diakui berpendidikan
tinggi, termasuk membeli atau memalsukan gelar akademik.
Mengingat bagi kebanyakan orang (di Mongondow) gelar
akademik biasanya diperlakukan setara harga diri, lebih dari bukti pencapaian
pendidikan formal, saya sungguh berhati-hati menyentuh isu ini. Dalam
persamuan-persamuan sosial sedapat mungkin saya menjauhi basa-basi di PT mana,
jurusan apa, dan kapan seseorang berhasil meraih gelarnya. Terutama untuk
gelar-gelar akademik yang diperoleh sebelum 1993.
Bila bersua dengan ‘’Ir’’, saya mesti menyimak percakapan
dengan saksama sebelum menyimpulkan gelar itu menunjukkan dia adalah sarjana
teknik, pertanian, peternakan, atau perikanan. Sebaliknya, dengan ‘’Drs’’ pun
tak serta-merta disimpulkan berasal dari latar ilmu sosial dan politik. Boleh
jadi yang bersangkutan adalah alumni ekonomi, sastra, atau kependidikan.
Teka-teki dan tebak-tebakan itu berakhir dengan keluarnya
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kepmendikbud) Nomor 036/U/1993,
tertanggal 9 Februari 1993, Tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi.
Sejak adanya Kepmendikbud ini sarjana teknik pasti berbeda dengan sarjana
pertanian, karena yang satu bergelar ST dan lainnya SP. Sama halnya dengan
sarjana ilmu sosial pasti berbeda dengan sarjana ilmu politik. Walau sama-sama
rumpun ilmu sosial dan politik, yang satu berhak atas gelar S.Sos, yang lain S.IP.
Kepmendikbud Nomor 036/U/1993 ternyata dianggap belum cukup,
karena kemudian disusul Kepmendibud Nomor 178/U/2001, tertanggal 21 November
2001, Tentang Gelar dan Lulusan Perguruan Tinggi. Salah satu tambahan di
Kepmendikbud ini, yang belum ada di keputusan sebelumnya, terdapat di Pasal 20
yang berbunyi: ‘’Penggunaan
gelar akademik dan/atau sebutan profesional yang tidak sesuai dengan Keputusan
ini dikenakan ancaman dipidana seperti dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional.’’
Tidak ada perdebatan bahwa sejak 1993, yang ditegaskan lagi
pada 2001, penggunaan gelar akademik di luar ketentuan adalah perbuatan pidana.
Sebagai perbuatan pidana, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2012,
tertanggal 10 Agustus 2012, Tentang Pendidikan Tinggi, ancaman hukumannya pun
tak main-main: penjara paling lama 10 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1
miliar. Dengan kata lain, mengingat ancaman hukuman yang mencapai 10 tahun
penjara, pengguna gelar yang tidak sesuai dengan UU dan turunannya, semestinya
langsung dijebloskan di balik jeruji besi.
Lebih lengkap, ancaman pidana tersebut tercantum di Pasal
93, yang menyatakan: ‘’Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan
Tinggi yang melanggar Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal
43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).’’
Adapun rujukan yang berkaitan dengan penggunaan gelar,
secara khusus terdapat di Pasal 28 ayat 6 dan ayat 7. Ayat 6 menyatakan: ‘’Perseorangan,
organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak dilarang
memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.’’ Sedang ayat 7
berbunyi: ’’Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik,
gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.’’
Lalu apa relevansi penjelasan musabab gelar akademik, UU
yang memayungi, dan peraturan turunannya dengan Pemilihan Walikota-Wakil
Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK)? Jawabannya adalah, perbuatan pidana oleh
(patut diduga) satu atau dua kandidat yang secara sadar menggunakan gelar
akademik yang ternyata tidak menjadi haknya. Tanpa menunjuk siapa kandidat yang
dimaksud, saya yakin masyarakat KK tahu persis oknum tak punya malu itu.
Yang celaka, di luar kerepotan perbuatan pidana itu, selain
tidak absahnya banyak dokumen (termasuk dokumen publik) yang ditanda-tangani pengguna
gelar ‘’maunya sendiri’’, isu ini secara nyata sebenarnya mengancam sah atau
tidaknya Pilwako. Selain soal kredibilitas dan status hukum kandidat, juga
karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) KK, yang melakukan verifikasi dan menemukan
ada dugaan tindak pidana yang dilakukan kandidat, tidak melanjutkan dengan
melaporkan ke pihak kepolisian.
KPU patut diduga berkonspirasi, sekongkol menutup-nutupi,
bahkan mungkin menganjurkan kompromi dengan mengubah (katakanlah) ‘’Drs’’
menjadi ‘’S.Sos’’.
Di sisi lain, amanat UU No 12/2012 bukanlah delik aduan.
Artinya, polisi yang terus memantau Pilwako KK tahu persis adanya perubahan
gelar yang mendadak dilakukan oleh satu-dua kandidat. Dengan tidak bertindaknya
polisi, pada akhirnya kita boleh berspekulasi: Mereka tidak tahu, pura-pura
tidak tahu, atau mendiamkan karena lebih asyik menerima suap ketimbang
mengurusi hal-ihwal penting yang terluput dari perhatian orang banyak.
Fakta-fakta itu tegas menunjukkan, bahkan sebelum hari ‘’H’’
Pilwako KK, kita tahu legalitas hajatan demokrasi ini tidak lagi kredibel.
Polisi mestinya bersigegas menangkap kandidat yang patut diduga melakukan
tindak pidana kelas berat (karena ancaman hukumnya hingga 10 tahun penjara),
juga KPU yang berkonspirasi menutup-nutupi dugaan kejahatan itu.
Sedihnya, saya pesimis polisi bakal melakukan tugasnya.
Setahu saya, cuma polisi tidurlah satu-satunya jenis polisi yang terbukti
berperan besar di Mongondow, siang dan malam tanpa henti.***