JANGANKAN
melawan, memikirkan berurusan dengan polisi saja saya jerih. Bukan semata disebabkan
alam bawah sadar kebanyakan orang Indonesia di generasi saya, terutama di masa
kecil, kerap dicecoki ancaman ‘’awas polisi!’’ atau ‘’polisi mo datang tangka’’; melainkan karena telah terlampau banyak
pengetahuan dan pengalaman tak mengenakkan dengan institusi ini dan oknum-oknumnya.
Bahkan yang sekadar punya ‘’cap’’ polisi saja sudah bikin
pening. Polisi tidur, misalnya (saya tak paham mengapa gundukan yang melintang
di tengah jalan mesti disebut demikian di negeri ini), selain menjamin kita
menjaga kecepatan dan hati-hati berkendara, juga jadi ancaman tersendiri.
Memang belum ada statistik resmi jumlah pengendara sepeda motor yang
terjerembab akibat polisi tidur; namun faktanya kejadian seperti itu sudah
menjadi pemahaman dan pemahfuman umum.
Berurusan dengan polisi di jalan raya, maaf
sebesar-besarnya. Cerita ‘’prit jigo’’, ‘’pasal 25, pasal 50, atau pasal 100’’
(yang berarti Rp 25, 50, dan 100 ribu) bukanlah karang-karangan para pengemudi
yang tertangkap atau dianggap melanggar aturan lalu lintas. Itu di tempat
terbuka. Bagaimana dengan yang hanya melibatkan orang per orang dan oknum?
Bikin jengkel dan frustrasi, yang digambarkan dengan kalimat sinis, ‘’Berurusan
dengan polisi perkara hilang ayam, malah jadi ikut hilang kambing dan sapi.’’
Kasus-kasus yang melilit dan menjerat aparat kepolisian
terkini, yang bersiliweran di ruang publik, membuktikan pengetahuan umum itu bukanlah
duga-duga. Tengok saja bagaimana pengungkapan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) berkaitan dengan harta mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas),
Inspektur Jenderal (Irjen) Djoko Susilo, yang luar biasa fantastisnya. Padahal
dia bukan pengusaha atau ahli waris milyuner; dan diperkirakan pendapatan
wajarnya sebagai pejabat tinggi kepolisian per tahun total hanya sekitar Rp 200
juta.
Begitu buruknyakah wajah polisi di Indonesia? Tidak juga. Pengalaman
pribadi saya (baik sebagai menantu seorang perwira polisi, suami dokter yang
menjadi bagian dari Korps Kepolisian, kawan dan kenalan dari para polisi), tak
terhitung hal baik yang membuat saya memberikan apresiasi tinggi terhadap
Kepolisian RI. Di antara yang buruk-buruk, masih banyak polisi baik yang
bekerja profesional, dedikatif, dan tanpa pamrih. Yang benar-benar mengamalkan
Tri Brata dan Catur Prasetya dengan takzim dan konsisten.
Sungguh luhur kandungan Tri Brata, yang menyatakan: Polisi
Indonesia, (1) Berbakti kepada nusa dan bangsa, dengan penuh ketakwaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa; (2) Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan
dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan (3) Senantiasa melindungi,
mengayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan
dan ketertiban.
Tri Brata masih dipertegas lagi dengan Catur Prasetya, bahwa,
Sebagai insan Bhayangkara, kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat,
bangsa dan negara, untuk: (1) Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan; (2)
Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda dan hak asasi manusia; (3) Menjamin
kepastian berdasarkan hukum; dan (4) Memelihara perasaan tentram dan damai.
Pendek kata, dengan memahami beratnya komitmen, tugas, dan
tanggungjawab polisi, saya menaruh hormat tinggi terhadap institusi ini dan
oang-orangnya. Sembari, sedapat mungkin menghindari kemungkinan berurusan
dengan polisi dalam pengertian sebagai pelanggar hukum.
Namun, tak urung saya terbahak-bahan membaca Tribun Manado (Rabu, 19 Juni 2013), Polisi Kawal DPRD Studi Banding dan Kontraonline di hari yang sama, Status Tahanan Kota, Sofian dan Jems Malah Pelisir
Keluar Kota. Aduh, apa lagi ulah badut Polres Bolaang Mongondow (Bolmong)
ini? Terlebih isunya dipertegas Kapolres AKBP Hisar Siallagan SIK dengan pernyataan, ‘’Mereka diijinkan
atas dasar permintaan pimpinan dewan, dan pihak kepolisian telah memberikan
pengawalan. Perjalanan itu bisa diijinkan, seperti contoh tersangka siswa yang
mau ikut ujian di luar kota atau ada tersangka yang mau nikah di luar kota itu
diijinkan tapi dengan pengawalan pihak kepolisian.’’
Kapolres
sedang mengigau rupanya. Tersangka jenis apa yang harus dikawal pihak
kepolisian dengan urgensi keperluan seperti apa? Siswa peserta ujian yang jadi
tersangka tindak pidana pembunuhan dengan ancaman hukumannya di atas lima tahun
(karenanya wajib ditahan), tentu mesti dikawal aparat kepolisian. Demikian pula
dengan tersangka kriminal berat (dalam tahanan sel polisi) yang kebelet nikah.
Tapi untuk
anggota DPR yang jadi tersangka (untuk kasus anggota DPR Boltim, berapa ancaman
hukumannya?), berstatus tahanan kota, melakukan perjalanan dinas atas
permintaan dan jaminan Ketua DPR, lalu
mesti dikawal, ini logika yang dipetik dari kitab hukum mana? Tahanan kota
artinya tidak boleh keluar kota. Demikian standar hukum yang berlaku sama untuk
seluruh warga negeri ini.
Perlakuan
khusus Polres Bolmong terhadap anggota DPR Boltim, yang kepentingan
perjalanannya juga tak akan cacat kalau dua di antara seluruh anggota rombongan
tidak ikut serta, benar-benar menghina akal sehat dan kewarasan orang banyak.
Apalagi Polresta Bolmong punya setumpuk pekerjaan rumah lebih mendesak diurusi namun
tak kunjung jelas pangkal-ujungnya.
Memangnya
Polres Bolmong sudah berhasil mengungkap kematian Elvira Mokoginta, bocah asal
Desa Paret yang ditemukan tewas dalam kondisi menggenaskan di Sayowan,
Ratatotok (Minahasa Tenggara)? Bagaimana pula kabarnya kasus CPNS 1999 di Kota
Kotamobagu (KK) yang tampaknya telah masuk arsip pihak berwenang? Pun
pembakaran camp perusahaan pasir besi yang beroperasi di
pesisir Desa Paret, yang sudah dua kali terjadi (apa kerja polisi hinga
peristiwa tindak pidana yang sama, di tempat yang sama, melibatkan subyek dan
obyek yang sama, dengan mudah berulang?). Dan yang terbaru, penganiayaan
terhadap Almarhum Ayu Basalamah, yang tersangkanya dipublikasi di media-media
sebagai ‘’menyerahkan diri’’ dan bukan ditangkap oleh aparat Polres Bolmong.
Saya
bisa memperpanjang daftar kasus-kasus yang setengah ‘’dark number’’ atau yang
sengaja terlupakan di tangan Polres Bolmong. Bisa pula menambah-nambahi dengan komentar,
semisal, ‘’Benarkah bahwa layanan kepolisian pada masyarakat yang membutuhkan sudah
seperti warung kelontong. Ada harga, ada barang?’’ Atau, ‘’Betulkah polisi suka
memanfaatkan ‘kasus basah’ bak celengan babi. Diwaktu-waktu tertentu digoyang
untuk mengeluarkan isinya?’’ Sebagai pertanyaan, saya kira tak ada pelanggaran
hukum yang saya lakukan.
Kendati
demikian, saya juga tahu diri. Saya harus berhenti cerewet sebelum digugat
karena dugaan pencemaran nama baik, penghinaan, atau justru jadi ‘’TO’’ akibat
menyakiti perasan Polres Bolmong dan aparatnya.
Yang
jelas, pada Kapolres, ada pertanyaan yang mengganjal: ‘’Apakah Tri Brata dan
Catur Prasetya masih menjadi anutan dan panduan di Polres Bolmong?’’ Kalau ya, kok saya tidak melihat komitmen dan
tindakan semestinya, baik dalam soal mengawal anggota DPR Boltim studi banding
maupun di empat kasus yang jadi contoh itu?***