BERHENTI cerewet
menyoal dugaan tindak pidana dan cara kerja aparat berwenang di Mongondow,
khususnya polisi, ternyata bukan perkara mudah. Surat elektronik dari salah
seorang pembaca blog ini, yang saya
terima Jumat sore (21 Juni 2013), memprovokasi saya lebih serius lagi
mempertanyakan kinerja Polres Bolaang Mongondow (Bolmong).
Sejatinya surat elektronik itu hanya berisi tautan ke berita
Kontraonline, Rabu (12 Juni 2013), yang
memajang tajuk Meski Dilepas, SOP dan JT Tidak
Bisa Nikmati SPPD. Di tubuh berita yang mengangkat isu ditetapkannya dua
anggota DPR Bolaang Mongondow Timur (Boltim) sebagai tersangka pengedar materai
palsu ini ada kutipan pernyataan dan penjelasan Kapolres Bolmong, AKBP Hisar
Siallagan, SIK.
Kapolres antaranya menyatakan, ‘’Dua tersangka itu sebelumnya ditahan di Polres Bolmong, namun
karena beberapa alasan dan atas permohonan yang disampaikan Bupati Boltim
langsung beserta keluarga dari ke dua tersangka, maka status tahanan kami
alihkan menjadi tahanan kota.’’ Ditegaskan pula, ‘’Jika mereka melanggar
kesepakatan itu, maka yang bersangkutan terancam akan dimasukan lagi ke dalam
jerujui besi.’’
Eh,
ternyata kedua tersangka itu boleh turut dalam studi banding DPR Boltim keluar
daerah, atas pengawalan polisi pula. Namun bukan soal keikutsertaan mereka yang
lebih jauh dicermati dari ditersangkakannya dua anggota DPR itu, melainkan
bagaimana Polres Bolmong dan jajaran memperlakukan kasus-kasus tertentu di
wilayah juridiksi hukumnya.
Sepengetahuan
saya, sebelum sangkaan tindak pidana mengedarkan materai palsu oleh dua anggota
DPR itu diproses, ada kasus lain yang meriah di media massa: Dugaan
penyalahgunaan dana makan minum (MaMi) di DPR Boltim, dimana polisi sudah
memeriksa sejumlah saksi dan menetapkan satu tersangka. Bagaimana kabar kasus
ini? Akhirnya benar-benar hanya ada satu tersangka atau masih akan dikembangkan
entah sampai kapan?
Saya
cukup paham hukum dan seluk-beluknya untuk menanyakan lebih lanjut: Mungkinkah
seseorang di posisi struktural menengah melakukan tindak pidana penyalahgunaan
anggaran tanpa sama sekali diketahui atasan langsung dan mereka yang berada di struktur
lebih tinggi? Bagaimana mungkin seorang, katakanlah Bendahara Sekretariat DPR
Boltim, leluasa mengeluarkan dana tanpa persetujuan dari Sekretaris dan jajaran
Ketua DPR?
Bukankah
praktek umum tata laksana keuangan di institusi manapun sudah jelas, bahwa
seorang pemegang dana harus mendapat instruksi dan persetujuan sebelum
mengeluarkan dan memanfaatkan dana yang ada di tangannya. Proses pencairan dana
pun tidak hanya ditandatangani satu orang. Serta, yang maha penting:
Pengunaannya harus taat sesuai penganggaran.
Bila
kita, masyarakat biasa ini, boleh menggunakan ‘’terduga’’ terhadap pelaku
tindak pidana yang tengah diproses aparat berwenang, maka absah pula polisi ‘’diduga
melakukan tebang pilih’’ dalam menangani sejumlah kasus di wilayah Mongondow. Modus
tebang pilih kian kuat sebagai dugaan kalau kita menelisik lebih jauh cara
aparat di Polres Bolmong mengusut kasus lain yang melibatkan penguasa dan
kekuasaan.
Kasus
penyalahgunaan Tunjangan Penghasilan Aparat Aparat Pemerintah Desa (TPAPD)
Kabupaten Bolmong adalah salah satu contoh bagaimana polisi memanipulasi
‘’ingatan pendek publik’’. Kebanyakan warga Mogondow barangkali mulai samar
mengingat bahwa penyalahgunaan TPAPD sudah menjebloskan beberapa birokrat teras
Bolmong ke balik terali bui. Mungkin pula perlahan mengabaikan bahwa polisi
pernah menyatakan ada tiga mantan pejabat dan pejabat teras politik dan
birokrat yang patut diduga terlibat.
Bagaimana
kabar proses hukum terhadap tiga tersangka itu? Apakah akhirnya mereka dapat
dibuktikan ikut serta menjarah TPAPD atau tidak? Dugaan tindak pidana memang
punya masa kedaluarsa panjang, tetapi menggantung status hukum seseorang tanpa kejelasan tak dapat
dielakkan menimbulkan tanda-tanya. Betapa ceroboh dan semena-menanya kerja
polisi yang tanpa bukti kokoh menjadikan seseorang tersangka.
Dugaan
tebang pilih itu juga sangat mencolok dalam kasus tindak pidana penerimaan Calon
pegawai negeri Sipil (CPNS) Kota Kotamobagu (KK) 2009, yang menjerat beberapa
birokrat teras (dan sudah pula menerima vonis pengadilan tingkat pertama).
Dalam proses persidangan yang dicermati dan dipublikasi sejumlah media, terungkap
peran penting elit KK yang anehnya hingga kini tidak ditindak-lanjuti oleh
polisi dan jaksa.
Sekali
lagi ingatan orang banyak terhadap kasus CPNS KK 2009 dibiarkan perlahan-lahan
mengendap dan akhirnya melupakan karena ada keriuhan lain yang lebih atraktif.
Apakah di kasus TPAPD dan CPNS KK 2009 mereka yang terlanjur
ditetapkan sebagai tersangka dan yang patut diduga terlibat (karena disebutkan
dalam proses persidangan) punya kuasa dan uang hingga masih tetap bebas
berkeliaran? Atau semata karena memang orang-orang itu sekadar ‘’patut diduga’’
tanpa didukung bukti kuat keterlibatannya? Kalau jawabannya adalah sebab kedua,
polisi dan institusi hukum berwenang lainnya wajib memberikan klarifikasi dan
membebaskan para terduga itu dari segala syak-wasangka hukum, demi keadilan
yang mestinya ditegakkan walau langit sebentar lagi jatuh menimpa kepala kita.
Bila tidak, polisi –juga aparat penegak hukum lain di
Mongondow—memang brengsek-se-brengsek-brenseknya.
Nah, kembali ke dua anggota DPR Boltim yang kini menyandang
‘’tersangka pengedar materai palsu’’, agar Polres Bolmong dan jajarannya tak
dicaci orang-orang yang sadar hukum, sebaiknya sesegera mungkin dijelaskan (juga
dijerat) siapa tersangka pembuat yang jadi asal benda haram jadah itu. Sungguh
lucu ada pengedar yang menanggung hukuman sementara pembuat materai yang
disangkakan palsu justru tak ketahuan juntrungannya. Terlebih, sepengetahuan
saya, salah seorang anggota DPR Boltim yang menjadi tersangka telah melapor ke
Polda Metro Jaya sebagai korban karena tertipu membeli materai palsu.
Mengedarkan materai yang diduga palsu tidak serta-merta mendudukkan
seseorang sebagai kriminal bila dia tak tahu menahu keaslian dan kepalsuan
benda yang ada di tangannya. Posisinya sama dengan seseorang yang membelanjakan
uang yang ternyata palsu, yang mampir di tangan tersebab dia awam dalam soal
uang asli dan palsu.
Berbeda dengan mengedarkan narkotika dan obat terlarang
(Narkoba) yang otomatis menjerat pelakunya sebagai tersangka kriminal, dalam
soal materai –juga uang palsu-- polisi profesional harusnya terlebih dahulu
menelisik apakah yang akan dijadikan tersangka adalah bagian dari rantai pelaku
tindak pidana atau malah korban yang hak hukumnya mesti dilindungi.
Tanpa bermaksud mencampuri cara kerja Polres Bolmong, dengan
hanya menjerat pengedar tanpa memperdulikan apakah yang didudukkan sebagai
tersangka itu boleh jadi adalah korban yang terjerumus karena
ketidak-tahuannya, polisi telah dengan sengaja mengabaikan keluhuran Tri Brata
dan Catur Prasetya. Jangan salahkan kalau kemudian ada simpulan, patut diduga
Polres Bolmong sedang mempraktekkan modus klasik tebang pilih dan –lebih buruk
lagi—mengalihkan perhatian publik dari kasus lain, misalnya penyalahgunaan dana
MaMi di DPR Boltim.***