DUGA-DUGA itu
menjelar bagai api membakar ilalang. Galibnya gosip, makin panjang rantai mulut
yang membicarakan, tambahan bumbu, interpretasi, dan dramatisasi kian
berlimpah.
Tewasnya Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah dengan kondisi
menggenaskan, Senin (17 Juni 2013) lalu, tak terlelakkan telah menjadi topik
paling hangat tak hanya di Bolaang Mongondow (Bolmong) atau Sulawesi Utara
(Sulut). Dipublikasinya peristiwa ini oleh media, lebih khusus digital
(termasuk situs berita terkemuka Detik.Com),
membuat kisahnya dikonsumsi –juga dibicarakan—di skala yang sangat luas.
Ada fakta, juga dugaan dan interpretasi yang menyertai
peristiwa ini. Pertama, Ayu Basalamah ditemukan tewas di dalam salon
miliknya. Kondisi jenazahnya tak perlu lagi diulas. Media telah mendiskripsikan
hingga detil yang mengundang pilu. Ditambah foto-foto jasadnya yang
terdistribusi dengan cepat lewat BlackBerry
Massenger (BBM) --dan media sosial semacam facebook--, lengkaplah gambaran
publik terhadap nahas yang menimpanya.
Kedua, sebelum
ditemukan dalam kondisi tak bernyawa, Almarhum Ayu Basalamah tengah jadi
perhatian orang banyak. Percakapan BBM-nya dengan seseorang, yang dianggap
mencaci, menghina, dan mencemarkan nama baik Bupati Bolaang Mongondow Timur
(Boltim), Sehan Lanjar, mengakibatkan dia dianiaya sejumlah oknum. Peristiwa
penganiayaan ini sudah pula terbeber di hadapan publik, lengkap dengan para
tersangka yang telah ditetapkan pihak kepolisian.
Kalau pun masih ada ketidak-puasan, sebab tak dapat dibantah
polisi (bukan hanya terkesan) sangat lambat menindak-lanjuti kasusnya.
Kemudian, benarkah hanya ada empat tersangka yang patut dijerat? Pula, setelah
hampir dua bulan bekerja, adakah polisi turut menyelidiki, mendalami, dan
menyidik penyebar BBM yang berujung penganiayaan itu? Apa motif dan perannya
dalam peristiwa dianiayanya Almarhum?
Bagaimana pun Ayu hanya berkomunikasi dengan satu orang.
Kalau sampai isi pembicaraan BBM dua orang itu diteruskan ke pihak lain,
bukankah sang pelaku dapat pula dijerat ancaman pidana? Dari menyebarkan
kebencian, provokasi, bahkan boleh jadi dalang dari satu peristiwa kriminal.
Ketiga,
dikait-kaitnya Bupati Boltim dalam peristiwa tewasnya Ayu. Terus-terang saya
merinding mendengar dan membaca pengait-ngaitan itu, yang semata berdasar spekulasi
karena di peristiwa pertama oknum-oknum yang diduga terlibat tak lain
orang-orang yang di keseharian di kenal dekat dengan Sehan Lanjar.
Namun, dengan memahami karakter Bupati yang akrab disapa
Eyang ini, saya berpendapat dia sama sekali tidak memerintahkan tindakan
kriminal apapun terhadap Ayu. Sebagai manusia biasa, dicaci dan dihina memang
menyakitkan hati dan menggoyak harga diri. Tapi Eyang bukan sekadar warga
masyarakat biasa. Dia politikus yang sudah kenyang asam-garam, yang bahkan
bukan sekadar cacian atau hinaan dalam bentuk serapah ‘’buah yaki’’. Disebut
‘’buah yaki’’ tentu cemen belaka buat
Eyang.
Dengan penuh hormat, takzim, dan doa untuk Almarhum Ayu
Basalamah (semoga dia beristirahat dengan tenang), sikap saya tak surut:
Oknum-oknum yang terlibat dalam penganiyaan terhadap dia harus diungkap
seterang-terangnya, diproses sejelas-jelasnya, dan dihukum setegas-tegasnya.
Demikian pula dengan bangsat-bangsat yang tega menghilangkan nyawanya.
Di lain pihak, dengan
menghormati proses penyelidikan dan penyidikan yang sedang dilakukan, saya juga
berharap orang banyak berhenti menjadikan isu Ayu Basalamah sebagai obyek
spekulasi. Lebih khusus duga-duga yang mengait-ngaitkan Eyang dengan
kematiannya. Eyang, terutama sebagai pribadi yang juga wajib dihargai hak
hukumnya, tak boleh dihadapkan pada ‘’pengadilan persepsi publik’’ dan dianggap
punya peran semata karena imajinasi yang dipertukarkan lewat gosip.
Sebagai pribadi, saya tak surut bersimpati dan berempati
terhadap Almarhum Ayu. Walau demikian, saya tak ingin terjerumus pada sikap
membabi-buta mencari kambing hitam. Sebab siapakah sesungguhnya yang paling
dirugikan dari tewasnya Ayu, disaat dia tengah mati-matian menuntut keadilan sebagai
korban penganiayaan?
Kepala dingin kita pasti bersepakat, bahwa yang paling
dirugikan adalah oknum-oknum yang kini dijadikan tersangka atau patut diduga
bakal jadi tersangka. Karenanya, bukankah sungguh kebodohan tak terampunkan
bila dalam posisi tersangka atau patut diduga bakal ditersangkakan, lalu mereka
mengambil (atau menyuruh, menganjurkan, dan sejenisnya) tindakan menghabisi
nyawa Ayu?
Saya berkeyakinan oknum-oknum penganiaya Ayu Basalamah sadar
dan tahu persis, tindakan mereka sudah berdampak sangat merusak, termasuk pada
nama baik Bupati Boltim, hanya karena mereka dikenal dekat dengan Eyang. Mereka
tahu bahwa setelah peristiwa penganiayaan itu menjadi pengetahuan publik, yang
didukung untuk diselesaikan, sekadar peristiwa kecil pasti berpotensi
dikait-kaitkan dan kian memperparah masalah.
Maka yang paling berkepentingan agar Ayu Basalamah tidak
diganggu adalah oknum-oknum yang kini dijadikan tersangka atau patut diduga
bakal jadi tersangka penganiaya; juga Eyang yang namanya dikait-kaitkan dalam
peristiwa penganiayaan itu. Sebaliknya, saya tidak ingin terjebak spekulasi
menduga-duga siapa atau kelompok apa yang paling diuntungkan bila terjadi
sesuatu dengan Ayu.
Yang jelas, dalam konteks yang lebih kompleks, termasuk yang
bersifat sosial dan politis, pasti ada pihak yang mengail keuntungan dari
rusaknya nama baik Sehan Lanjar. Terlebih dari sisi yang sangat politik
praktis, di saat Ayu Basalamah ditemukan tak bernyawa, Eyang sedang aktif
mendukung kakak kandungnya, Muhamad Salim Lanjar, sebagai calon Walikota Kota
Kotamobagu (KK) 2013-2018.
Itu sebabnya, sembari berharap polisi bersegegas menjawab
semua teka-teki dan keingintahuan publik terhadap tragedi yang menimpa Ayu;
selayaknya kita juga tak menimpakan musibah pada Bupati Boltim dengan
memelihara duga-duga dan spekulasi yang mengait-ngaitkan namanya. Biarkan fakta
(yang akan terungkap) membuktikan apa, bagaimana, dan siapa-siapa yang terlibat
peristiwa tewasnya Ayu.
Dan saya menutup tulisan ini dengan doa untuk Almarhum. Istirahatlah
dengan tenang.***