HANYA satu-dua
jam setelah hasil Pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu
(KK) mengindikasikan kandidat mana yang menjadi pemenang, pesta demokrasi ini
sudah mencapai kulminasi. Senin malam (24 Juni 2013) ini, pasangan Tatong
Bara-Jainudin Damopolii (TB-JD), tim sukses (TS), dan pendukungnya masih larut
dalam pesta kemenangan. Tapi ketika matahari merekah besok, hidup akan kembali
seperti hari-hari sebelumnya.
Tiga hari terakhir, menjelang hari H dan ketika Pilwako
digelar, saya mencatat banyak hal yang mengundang gelak dari cara warga KK
mengekpresikan pandangan dan sikap mereka terhadap hajat demokrasi ini. Tatkala
para kandidat mulai mengeluarkan amunisi, ‘’menyerang’’ para konstituen dengan
berbagai iming-iming (terutama duit) di dua hari terakhir masa tenang, komedi
politik juga mulai dipentaskan.
Para kandidat, tim sukses (TS), dan pendukungnya mungkin
mengira ‘’serangan umum 24 jam’’ itu memberi pengaruh signifikan terhadap
perpindahan pilihan pemilih dari satu kandidat ke kandidat lain. Saya
berkeyakinan sebaliknya, karena jauh-jauh hari mayoritas warga KK sesungguhnya
sudah menjatuhkan pilihan, ada atau tidak ‘’serangan umum 24 jam’’ itu.
Kepada sejumlah politikus, juga wartawan, yang bersua di
restoran ikan bakar di ujung Mogolaing pada Senin malam (10 Juni 2013), saya
meramalkan pasangan manapun yang akan terplih (dari empat pasang kandidat yang
bertarung), perolehannya ada di kisaran 42-45 persen total suara sah. Dasar
analisis saya, di tengah rivalitas TB-JD dan Djelantik Mokodompit-Rustam
Simbala (RS), Muhamad Salim Lanjar-Ishak R Sugeha (MSL-IRS) tiba-tiba menguat karena
Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, turun gunung mendukung
pasangan ini.
Bupati yang akrab disapa Eyang, yang juga adik kandung MSL
ini, berhasil menarik minat konsituen Pilwako untuk memberi perhatian pada
pasangan yang dia dukung. Eyang adalah orator dan persuator ulung. Sayangnya,
tewasnya Abdullah ‘’Ayu’’ Basalamah mengubah situasi yang mulanya telah memberi
sinyal menguntungkan MSL-IRS. Gosip dan duga-duga tak mendasar, yang
mengait-ngaitkan Eyang dengan tragedi itu, membuat ‘’krebilitasnya’’ goyah dan
berimbas langsung pada MSL-IRS.
Andai tak ada tragedi Ayu (doa saya untuk Almarhum), peta
perolehan suara para kandidat di Pilwako KK mungkin agak berbeda dengan apa
yang tersaji saat ini.
Kembali pada respons warga terhadap apa yang dilakukan para
kandidat, salah satu yang terkesan naif namun khas orang Mongondow,
diekspresikan oleh seorang kakek yang bermukim di wilayah Lolayan. Di tengah
riuhnya pembagian ‘’serangan umum’’, menukil BlackBerry Messenger (BBM) yang saya terima, dia dengan santai
berkomentar: ‘’Masa na’a, komintan calon
legislatip (kata ini sesuai aslinya) bo
kapala daerah tatap bi’ mo bogoi aka aindon momili’. Aka ko-inako’, anggap don
no bali’ kabiasaan don tua, na’ mo gutat. Aka oyu’on ta dia’ no bogoy, dega
kinoliongan-nea, nodait don in ta sinadia, atau kita ta dia’ don noko uma.’’
Menurut kakek yang patut kita acungi jempol ini, ‘’Da’ tatap bi’ mo mili’ in pilihan naton
tontani, ta korasa’an naton ta mopira, nobogoy ka dia’ in sia. Sin serangan tua
tonga’ bi’ hiburan ko’i nanton. Sin aka aindon noi-litu’, ta onda in ugat mo
bogoy, sia-sia bi’ doman in ugat mo gakut.’’
Pernyataan itu sungguh kearifan yang luar biasa. Terlebih bukan
datang dari para pemikir, teoritikus, dan praktisi politik yang bergerombol di
sekitar para kandidat, yang menganggap para pemilih mudah disilaukan
iming-iming Rp 100 ribu, Rp 300 ribu, atau bahkan Rp 500 ribu. Orang Mongondow
di KK tahu persis, ‘’ta onda in ugat mo
bogoy, sia-sia bi’ doman in ugat mo gakut’’.
Sama dengan keyakinan sebagian besar warga yang bertekad,
pasangan mana saja boleh jadi pemenang, kecuali DjM-RS. Keyakinan ini
melahirkan kelucuan lain seperti yang terjadi di salah dari bagian kota di saat
perhitungan suara masih berjalan. Ketika itu, kisah saksi mata kejadian,
seorang pendukung DjM-RS sesumbar telah menyediakan berkarung-karung tissue yang akan digunakan pendukung
kandidat lain menyeka airmata.
Begitu peta suara perolehan para kandidat menunjukkan TB-JD
dipastikan jadi pemenang, berbondong-bondong orang mendatangi kediaman
penyokong DjM-RS itu dan menghaburkan tissue
toilet di sepanjang jalan di depan rumahnya. Menurut hemat saya, yang terjadi
bukan balas dendam, tetapi cara orang Mongondow menuntaskan greget tanpa
menjadi anarki. Dengan pikiran jernih dan terbuka, menghamburan tissue toilet itu justru menjadi humor
yang bakal dibicarakan berhari-hari setelah gegar Pilwako berlalu.
Demikian pula dengan komentar-komentar yang lalu-lalang
selama proses perhitungan suara berlangsung. Misalnya, ketika saya mengirim BBM
menanyakan adakah yang tahu di mana Sehan Lanjar berada, balasan yang tiba
membuat saya terbahak-bahak: ‘’Eyang ada
samantara kompres depe kapala. Kase turung saki kapala karna lia ini Laris
(tagline yang digunakan MSL-IRS) pe perolehan suara.’’
Tentu itu karang-karangan belaka. Tidak berbeda dengan BBM
panjang yang saya terima, yang menggambarkan bahwa di kediaman DjM di Mongolaing
dipenuhi orang-orang, yang berkerumun tanpa suara. Yang lucu adalah imbuhannya,
‘’Dorang ada ba tunggu DjM ada samantara
uru. Baru abis pololok lei, gara-gara inimbalu’ in quick count.’’
Yang lebih dramatis lagi, mereka yang keluar dari kediaman
DjM dilukiskan bagai habis mengunjungi kedukaan. Wajah penuh kesedihan dengan
mata memerah seperti habis menumpahkan tangis. Tangis yang sama ternyata juga
ditumpahkan para pendukung TB-JD. Pokoknya, kata sang pemotret suasana, ‘’Orang-orang yang pake atribut Kota Untuk
Semua manangis baku polo di pinggir jalan, persis hari raya….’’
Namun, menurut saya, momen skala baterek-nya paling luar biasa adalah kretivitas sejumlah orang yang
tiba-tiba berkumpul, menghiasi bentor berwarna kuning dengan balon-balon sewarna,
menaikkan ke mobil pick-up, siap diarak diiringi barisan sepeda motor dengan
pengendara dan yang dibonceng ber-tolu
(topi caping), menenteng buah pinang dan pisang.
Sewaktu ditanyai apa yang akan mereka lakukan, jawabannya
sungguh kocak dan sekaligus memiriskan: ‘’Mo
ka Rudis. Mo kase pinang pa DjM kong abis itu mo antar dengan bentor ka
Lolan.’’
Politik memang milik para pemenang. Siapa yang peduli baru
beberapa jam lalu Djelantik Mokodompit adalah Walikota KK yang disegani,
dijunjung, dan dipatuhi? De facto dia
telah kalah dalam kompetisi sangat ketat yang dilalui dengan segala strategi
dan taktik yang mungkin dilakukan, termasuk yang kotor sekali pun. Dan kalah
berarti minggir dan dipinggirkan, tak peduli dengan cara sopan atau kurang
ajar.
Kalau pun ada yang peduli, paling-paling hanya bersimpati
dengan komentar khas Mongondow (yang juga saya terima via BBM), ‘’Pulitik memang kras, Uyo. Poko sabar don,
sin lima notaong na’a kami in no sabar doman.’’***