SIKLUS keseharian
warga Kotamobagu tampaknya tak lagi beda dengan penduduk metropolis yang nyaris
berlangsung 24 jam tanpa henti. Sudah lama saya membiasakan tak heran bila
tiba-tiba menerima telepon, pesan pendek (SMS), atau BlackBerry Messenger (BBM) dari kawan atau kerabat yang bermukim di
Kotamobagu, ketika waktu menunjukkan separuh malam telah berlalu.
Itulah yang terjadi tatkala Rabu (26 Juni 2013) baru saja
ditapak. Dari pesan-pesan yang berdatangan bersama menyurutnya lalu-lintas di
jalan depan kediaman saya, salah satunya diawali dengan pertanyaan santun,
‘’Bolehkah saya menyarankan sesuatu pada Abang?’’
Wow, jangankan saran, pendapat, nasihat, atau tauziah,
caci-maki sekali pun kalau itu koreksi yang meluruskan pikir dan laku saya,
pasti diterima penuh ikhlas. Prinsipnya: hanya mereka yang benar-benar
menyayangi, peduli, dan tulus yang bersedia mencapek-capekkan diri, menahan
kantuk menjelang subuh, demi menyampaikan satu atau lebih patah kata.
Tapi apa yang disampaikan itu? Kurang lebihnya adalah,
‘’Jangan pedulikan pendapat miring satu-dua orang berkaitan dengan kritik untuk
Mongondow yang selama ini dituliskan. Orang Mongondow sudah pintar untuk tahu
mana yang benar dan yang tidak. Mana yang lurus dan yang bengkok. Yang tulus
dan yang bermotif udang di balik batu. Yang independen dan yang sarat pesan
sponsor serta kepentingan subyektif.’’
Apapun musabab dilayangkannya saran itu, saya terima dengan
berlipat terima kasih. Itu tanda awas yang mengingatkan agar saya lebih
berhati-hati. Supaya menjaga mulut, tangan, dan kaki. Agar saya nyanda ta epret (entah penggunaan kata
ini tepat atau tidak) tersebab salah ucap, teledor menggenggam, dan abai
menjaga langkah.
Di sisa malam yang merangkak, saya dan sang pemberi saran
bertukar aneka cerita terkini dari Mongondow, terutama gegar pemilihan
Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) yang masih hangat jadi
pembicaraan. Untuk isu ini, saya secara khusus menekankan sudah saatnya semua
pihak cooling down. Rakyat telah
menjatuhkan pilihan dan bukan untuk patahana. Jadi mari dengan hormat kita
antar Djelantik Mokodompit mengakhiri jabatannya.
Selebihnya, percakapan kami mengalir memprihatini yang jadi
konsern, menertawai kebodohan bersama. Dan saya beristirah dalam tidur tanpa
mimpi. Satu hari lagi terlewati dengan kebanggaan sebagai orang Mongondow,
sebagaimana dan seperti apapun perilaku, atraksi, dan sirkus masyarakatnya.
Namun, membaca situs Tribun
Manado (http://manado.tribunnews.com),
tekad berhenti mengomentari Pilwako KK saya urungkan. Adalah berita Pemilukada Kotamobagu: Panwas Kotamobagu
Belum Terima Laporan yang diunggah Rabu petang (26 Juni 2013), yang
mengusik saya. Bukan kutipan pernyataan salah satu pimpinan Panitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu), Shakespeare Makalunsenge, yang mengakui ada politik uang tetapi
tak bisa ditindak karena tidak tertangkap tangan. Atau penegasan Sekretaris
Panwaslu, Hendra Manggopa, pihaknya tak menemukan pelanggaran yang berbau
pidana.
Pernyataan dua petinggi Panwaslu itu menggelikan. Kecuali
anggota Panwaslu, seluruh KK tahu, melihat, atau bahkan terlibat lalu-lalang
rupa-rupa ‘’serangan’’, dari duit hingga bahan pokok. Yang menjadi operator
dari tim sukses, pendukung, hingga aparat birokrasi. Jadi bukan tidak ada
pelanggaran atau sulit menangkap tangan pelanggaran, tetapi Panwaslu memang
cuma manuk to’ina.
Tetapi apa yang mengusik itu? Pernyataan salah seorang
kandidat, Muhamad Salim Lanjar (MSL) seusai proses pencoblasan yang ingin saya
garis bawahi. Tribun Manado menulis,
kendati tidak puas dengan hasil Pilwako yang diwarnai polilik uang, MSL
menegaskan, ‘’Calon pemimpin cenderung
melakukan segala cara untuk menang. Tapi saya tidak akan melakukan upaya hukum
untuk kasus tersebut.’’
Pengakuan tak
langsung terhadap keunggulan lawan dan komitmen menerima hasil Pilwako dari MSL
patut dipuji sebagai ekspresi kesadaran politik yang semestinya dimiliki tiap
politikus. MSL paham, kendati dengan kekecewaan, bahwa kompetisi politik
bukanlah pertandingan lari 100 meter, 200 meter, bahkan 10 km. Pilwako adalah
arena brutal hingga ke cara dan trik paling kotor, sepanjang tidak ditiup oleh
wasit (Panwaslu yang cuma bisa berkotek itu).
MSL dengan tepat
memperlihatkan bagaimana seorang petarung yang kalah bersikap: Meninggalkan
arena dengan kepala tegak. Petarung jenis ini pantas mendapat hormat dari
lawan, penonton, dan kita semua.
Sebaliknya, saya
menyesalkan kandidat patahana, Djelantik Mokodomit (DjM) yang berpasangan
dengan Rustam Simbala (RS), yang justru berkoar dia menerima laporan politik
uang di hampir tiap desa dan kelurahan. Katanya, "Ada fenomena jangan
memilih dengan membeli undangan atau ditahan. Atau tidak datang dikasih duit.’’
Ini omongan orang kalah yang tidak berkaca dan tahu diri.
DjM adalah incumbent yang bertarung di Pilwako
dengan tetap punya kekuasaan sebagai Walikota. Didukung dua partai besar,
Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan, yang selain punya infrastruktur politik
kuat, juga memiliki sumber daya dana mumpuni. Boleh dibilang, DjM-RS-lah yang
paling memenuhi syarat menjadi pengendali dinamika dan praktek politik di
Pilwako KK.
Menguarkan isu
politik uang tak lebih dari meludah ke arah datangnya angin. Dia pula yang
bermandi liur sendiri. Bila omongan DjM itu dijadikan dasar adanya pidana
Pilwako, lalu institusi dan aparat berwenang mengusut dengan serius, saya yakin
yang bakal terjerat adalah DjM sendiri, tim sukses (TS), pendukung, dan
simpatisannya.
Atau akhirnya politik
uang itu dikedepankan semata agar ada kambing hitam? Kalau demikian, kudis
modus politik yang dipraktekkan DjM, TS, pendukung, dan simpatisannya cuma kelas
receh. Kita semua tahu berapa nilai rupiah yang dibagikan kubu patahana dan
berapa yang digelontorkan pesaing utamanya. Jangang
marah kalu ngana pe serangan lebe kacili dari yang laeng pe serangan.
Dari pernyataan
DjM, orang-orangtua Mongondow akan menilai sikapnya sebagai dia’ ko oya’. Padahal, aka no oya’ don, yo kita ta intau Mongondow
na’a in tonga bidon mo matoi atau simimpatoi. Yo simimpatoi don au’, sin intau ibanya in mota’au bi’ doman aka tonga’
mo matoi.
Sebagaimana pun, menjelang berakhirnya masa kekuasaan DjM,
kita patut menjaga dan mengantar dia paripurna sebagai pemimpin warga KK.
Sebaliknya, orang banyak ini juga mengharapkan DjM berhati-hati dengan
kata-kata dan adabnya, demi harga diri dan kehormatan sendiri.
Nasehat kecil dari saya: ‘’Kintum
don ule in ponulad-mu, ba' dia' mo'i topa' kon ulod.’’ Kalah bukan
akhir dunia. Sesakit apapun itu.***