KOTA KOTAMOBAGU
(KK) relatif berbeda dengan empat daerah otonom lain di Mongondow. Selain
wilayah yang sangat kecil (hanya empat kecamatan) dengan kepadatan penduduk
tergolong tinggi, dari aspek ekonomi, sosial, dan pendidikan, warga KK berada
di atas skala rata-rata.
Dari paparan informasi, masyarakat KK punya akses lebih unggul
dibanding orang Mongondow di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk,
Bolaang Mongondow Utara (Bolmut), Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), atau
Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Media cetak terbitan Jakarta atau Manado tiba
terlebih dahulu di Kotamobagu. Sama halnya dengan media cetak, televisi, dan
radio lokal yang umumnya berkantor pusat di kota ini. Dan, tentu saja, jaringan
internet yang walau pun lambat (sedikit di atas kura-kura Galapagos), tetap
menyediakan akses yang lebih baik.
Kemudahan berkomunikasi itu, terutama dalam konteks kontes
politik, semestinya menjadi arena kreatif sangat menantang. Itu sebabnya, jauh
hari sebelum Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota (Wawali) KK dilaksanakan
–puncaknya berlangsung Senin, 24 Juni 2013 mendatang--, saya membayangkan
ide-ide dan pikiran demi kemaslahatan orang banyak dari para kandidat bakal
bersiliweran di media. Sebuah keriuhan intelek yang bergizi dan jauh dari
sekadar unjuk otot kekuatan massa dan cuap-cuap kosong yang bakal terlupa (oleh
yang bicara dan mendengar) dalam hitungan menit.
Nyatanya Pilwako KK tak beda dengan yang umum dilaksanakan
di pelosok dunia ketiga. Setengah primitif, pendekatannya jaman dahoeloe
(jadul), penuh parade dan pengerahan massa. Sekadar adu ego kandidat dan partai
politik (Parpol) pengusung. Seolah-olah warga KK sekumpulan bebek yang tanpa
daya digiring mengenakan warna tertentu, patuh dan taat mengikuti arah yang ditunjuk
gala yang ujungnya diberi secarik kain.
Para kandidat dan Parpol pengusung lupa, kebanyakan warga KK
yang melek politik, membaca koran,
menelusuri internet, memancang mata dan kuping di televisi, sudah mengambil
keputusan mendukung kandidat siapa, jauh hari sebelum Komisi Pemilihan Umum
(KPU) KK resmi menyatakan proses Pilwako dimulai. Masyarakat, kecuali yang
penyakit mata dan kupingnya sudah di derajat tak tertolong, khatam kandidat
mana yang cuma tukang bohong, yang boneka, yang coba-coba siapa tahu jackpot, atau yang turut berlaga karena
bingung tak punya kesibukan.
Semua pengetahuan yang relevan digunakan menelisik calon
pemimpin, disajikan (langsung atau tidak) oleh media massa. Kalau pun kita
tidak membicarakan lebih menukik dan terbuka, semata karena malu melihat calon
pemimpin dan pemimpin kita yang tidak tahu malu.
Perkara amat sepele dan fundamental seperti gelar
pendidikan, misalnya. Bertahun-tahun kita melihat, membaca, dan tahu ada
kandidat yang mencantumkan gelar ‘’Drs’’ di depan namanya; dimulai ditahun
ketika gelar ini sudah tidak digunakan lagi. Setelah sekian lama, tiba-tiba
dipublikasi-publikasi resmi ‘’Drs’’ telah bersulih menjadi ‘’S.Sos’’. Astaga!
Betapa gampangnya, seolah-olah orang banyak tidak memperhatikan dusta
bertahun-tahun itu. Pula, perubahan itu tidak berkonsekwensi ikutan yang lebih
gawat.
Bagaimana kalau ‘’Drs’’ jadi-jadian itu ternyata sudah
digunakan dan diumbar didokumen publik, misalnya surat pemberitahuan tahunan
(SPT) pajak atau surat keputusan (SK) birokrasi? Sang ‘’Drs’’ mungkin saja
membayar pajak, tapi bagaimana dengan si ‘’S.Sos’’. Demikian pula, apa
keabsahan SK yang ternyata ditanda-tangani dengan gelar palsu?
Masyarakat KK tahu persis contoh bejat seperti itu. Kalau
kemudian mereka sukarela memilih kandidat yang demikian, apalagi dilakukan dengan
sadar atas konsekwensinya, itulah demokrasi.
Palsu-palsu dan tak intelek hanya efektif di permukaan,
termasuk pengerahan ‘’massa palsu’’ di deklarasi dan kampanye-kampanye
kandidat, agar difoto-foto yang dipajang di advertorial
tampak menggentarkan hati pesaing. Tidak peduli massa yang dikerahkan itu
datang terpaksa (tersebab ancaman atau iming-iming), yang penting megah.
Saya mencermati para kandidat di Pilwako KK cukup bebal
untuk memetik pelajaran dari pemilihan Bupati-Wakil Bupati (Pilbup) dan Pilwako
lain, di Mongondow maupun Sulut umumnya. Padahal sudah terbukti jumlah massa
yang menghadiri deklarasi atau kampanye terbuka, pada akhirnya sama sekali
tidak berkorelasi dengan suara yang berhasil didulang di hari ‘’H’’ pemilihan.
Perilaku tidak masuk akal di Pilwako KK, tampaknya juga
diaminkan dengan saksama oleh KPU. Saya hanya bisa mengusap-ngusap dada
(apalagi yang mesti diusap?) mengetahui KPU mengatur penyampaian visi-misi
kandidat Walikota-Wawali di depan DPR KK. Untuk apa penyampaian ini? Memangnya
20-25 ongol-ongol di DPR KK menjadi faktor utama yang menggerakkan orang banyak
memilih pemimpinnya?
Pilwako adalah pemilihan langsung. Tidak ada hubungannya
dengan DPR KK. Bahwa dengan visi-misi itu disampaikan di hadapan DPR akan
menjadi catatan yang ditagih ketika kandidat terpilih memegang jabatan, adalah
kilahan udang di balik rempeyek. Memangnya anggota DPR KK yang kini masyuk
menikmati kekuasaan seluruhnya masih terpilih kembali di 2014? Dan memangnya
mereka peduli dengan apa yang akan dilakukan Walikota-Wawali terpilih? Kalau
pun peduli, memangnya mereka cukup punya nyali?
Kulminasi dari sirkus Pilwako KK adalah debat kandidat yang
digagas KPU, yang dilaksanakan Minggu, 16 Juni 2013, ini. Situs
Beritamanado.Com, Sabtu, 15 Juni 2013(http://beritamanado.com/berita-utama/debat-kandidat-besok-massa-dilarang-datang/188644/),
Debat Kandidat besok, Massa Dilarang
Datang, saya baca dengan mengusap dada dan dahi. Memang debat ini disiarkan
live
di 97,6 Mhz Radio Pemkab FM, tapi melarang pendukung kandidat hadir
tentu kebijakan sangat tak sopan. Pilwako dilaksanakan untuk rakyat KK. Kalau
tidak ingin rakyat melihat, mendengar, atau menikmati dengan cara yang menjadi
haknya, debat tak usah dilaksanakan.
Melarang masyarakat KK mengapresiasi debat kandidat sesuai
keinginan mereka, sama artinya dengan menyediakan goroho goreng dengan label ‘’makanan beracun’’. Menganjurkan
boleh, melarang tidak. Hebat betul Ketua KPU hingga mengambil alih seluruh
tugas institusi dan lembaga lain, juga
hak masyarakat, ke dalam genggamannya sendiri.
Lagipula, apa yang akan diperdebatkan? Menunjukkan kandidat
mana yang paling pintar, paling jujur, paling adil, paling kompeten, dan
karenanya paling layak dipilih sebagai Walikota-Wawali KK 20132018? Melihat
perilaku mereka, menurut hemat saya, debat kandidat itu perbuatan sia-sia yang
satu-satunya kegunaannya adalah KPU KK seolah-olah bekerja dan dana Pilwako
sudah dimanfaatkan dengan benar.
Kucing di Pilwako KK sudah kita kenal. Dia bukan kucing
dalam karung yang nantinya ras, jenis kelamin, dan warnanya jadi kejutan. Mana
kucing garong, kucing rumah, kucing liar, sudah dimahfumi masyarakat se-KK. Jadi,
KPU dan para kandidat serta Parpol pengusung, mari kita nikmati saja pesta ini
sebagai pesta. Tidak lebih atau kurang. Tak perlu pura-pura intelek, visioner,
apalagi jujur dan bermartabat.
Rakyat banyak sudah tahu dan siap menanggung akibat apapun
dari pilihannya.***