PEMILIHAN
Walikota-Wakil Walikota Kota Kotamobagu (Pilwako KK) memang bukan pesta
demokrasi biasa. Beberapa bulan terakhir hampir seluruh sendi kehidupan warga
kota terimbas keriuhan persaingan di antara kandidat, tim sukses (TS), dan
pendukungnya. Boleh dibilang, dibanding seluruh kota dan kabupaten di Sulawesi
Utara (Sulut), Pilwako KK menjadi fenomena tersendiri.
Yang paling mencolok baliho, poster, dan stiker yang
berserak di segala tempat. Dari tiang listrik hingga kuburan. Belakangan,
kemeriahan –sekaligus kekacauan— itu dilengkapi adu lagu yang khusus dikreasi
untuk kandidat tertentu, yang diputar dengan volume seenak telinga nenek moyang
pendukung atau simpatisannya, terutama di bentor yang lalu-lalang. Begitu pula pesan
pendek (short message service –SMS)
dan BlackBerry Messenger (BBM) yang
meruah, membikin batteray telepon
terkuras.
Saking bersemangat dan fanatiknya para pendukung,
hubungan-hubungan sosial dan kekeluargaan, duit dan harta benda (saya menerima
pula broadcast tantangan bertaruh Rp
200 juta untuk kemenangan seorang kandidat), bahkan nyawa pun, rela
dipertaruhkan. Demam Pilwako menjadikan tetangga berseteru, kakak-beradik
saling mendiamkan, ayah-anak-menantu berpunggung-punggungan. Lebih dari itu,
saya mencatat di Pilwako KK kali ini bahkan ada korban jiwa yang jatuh karena sekadar
urusan memajang bendera dukungan terhadap kandidatnya.
Di KK, demokrasi sebagai cara beradab manusia
mengekspresikan kebebasan nyaris dipraktekkan sebaliknya. Makin barbar cara
yang dipilih, termasuk konvoi penuh raungan knalpot sepeda motor dan mobil
–juga pelanggaran seluruh aturan lalu lintas--, tampaknya dimaknai sebagai kian
syur-nya berdemokrasi.
Segala strategi dan taktik dikeluarkan, yang paling tak
masuk akal sekali pun. Saya mengamati dengan ketercengangan bagaimana layanan
publik Di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) nyaris lumpuh di saat kandidat
tertentu menggelar kampanye terbuka, karena Bupati-nya adalah Ketua TS sang
kandidat. Sama halnya dengan kantor-kantor pemerintah di Bolaang Mongondow
Timur (Boltim) sepi bagai rumah hantu ketika Bupati Sehan Lanjar turun
mendukung kandidatnya.
Jangan tanya lagi di Kotamobagu. Kandidat yang masih berkuasa
sudah tak malu-malu menunjukkan syawat politik seperti yang terjadi ketika KK
diumumkan menerima Piala Adipura ke-2. Sekretaris Kota (Sekkot) yang juga
Pelaksana Harian (Plh) Walikota terkesan berebut kesempatan dengan pejabat
lain, karena Walikota difinitif yang sedang cuti kampanye ‘’merasa’’ tetap
berhak menunjuk siapa penerima piala tersebut.
Sesiapapun yang memahami tata laksana pemerintahan pasti
menggeleng-ngelengkan kepala melihat sirkus politik itu. Paling-paling kita
cuma bisa menyimpulkan: ‘’Kasiang, dia
tako skali itu kursi Walikota mo talapas dari depe (maaf) panta.’’
Tapi aksi yang paling spektakuler tatkala Walikota patahana
menggelar kampanye terbuka, lalu diumumkan ada puluhan kendaraan dari wilayah
luar Kotamobagu yang hadir memberikan dukungan. Ya ampun, siapa sebenarnya yang
berhak mencoblos? Pemilih di KK yang masuk Daftar Tetap Pemilih (DPT) atau
anggota partai dan simpatisan dari luar? Menghitung dukungan dengan memasukkan
faktor yang sama sekali tak relevan, tak beda dengan meng-klaim sang kandidat
didukung seluruh jin dan hantu blau
yang ada di KK.
Lalu datanglah tiga hari masa tenang sebelum hari H Pilwako
yang akan berlangsung Senin (24 Juni 2013). Akhirnya mata yang capek melihat
baliho, poster, dan stiker dapat diistirahatkan; kuping yang pekak dihantam
lagu-lagu dukungan boleh rehat; dan otak yang panas dipaksa meresap dan
mencecap segala omong kosong, sementara waktu diharapkan mendingin.
Begitukah kenyataannya? Tidak juga. Sejak Sabtu malam (22
Juni 2013) telepon saya menjerit-jerit karena BBM yang tak henti-hentinya masuk. Kabar yang tiba
adalah maraknya ‘’serangan malam’’ (hingga fajar) yang dilakukan TS dan
pendukung para kandidat. Katanya (tersebab ‘’katanya’’, saya memilih bersikap
netral, antara percaya dan tidak), TS dan pendukung kandidat A secara
demonstratif bersafari membagikan Rp 100.000 per kepala pada warga yang
memiliki hak pilih. Aksi itu, tak lama kemudian, disaingi kandidat B dengan
nilai tiga kali lipat atau Rp 300.000 per kepala. Operator bagi-bagi berkat
Pilwako itu –lagi-lagi ‘’katanya’’—bahkan melibatkan Lurah dan Ketua RT.
Tak usah ditanyakan di mana Panitia Pengawas Pemilu
(Panwaslu)? Kita sudah mahfum lembaga ini sekadar ‘’mei-mei’’ di Pilwako KK.
Ibarat ayam, mereka bukan jago yang punya taji. Dia ayam betina tanpa telur
yang koteknya saja yang kerap kita baca menghiasi media massa.
Lagipula kita boleh menganggap uang siluman yang ‘’katanya’’
didistribusi ke warga yang memiliki hak pilih sebagai bagi-bagi rezeki hasil
jarahan para kandidat. Darimana mereka mendapatkan dana dalam jumlah sangat
besar, kecuali dari hutang yang akan diperhitungkan ketika nantinya terpilih?
Hutang yang tak kecil, apalagi ‘’dengar-dengar’’ ada kandidat yang masih
menyimpan amunisi dan akan menggelontorkan Rp 500.000 ribu per kepala, melibas
Rp 100.000 dan Rp 300.000 yang sebelumnya sudah diedarkan.
Persetan dengan kemungkinan ada gugatan politik uang ke
Mahkamah Konstitusi (MK) setelah Pilwako usai. Memangnya selama ini berapa
banyak tudingan politik uang berhasil mengubah hasil pemilihan kepala daerah yang
diputuskan di MK?
Namun tidakkah bagi-bagi uang oleh para kandidat itu sekadar
pelebih-lebihan meramaikan Pilwako KK? Tidak, kata BBM yang saya terima. Salah
satu takarannya adalah kondisi pasar di KK pada Minggu pagi (23 Juni 2013),
yang bagai menjelang Idul Fitri dan Tahun Baru. Disesaki orang-orang yang
belanja tanpa peduli harga-harga barang mulai melonjak karena pemerintah baru
saja mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Di luar fakta adanya bagi-bagi uang telanjang di tengah
warga pemilih, sahih atau tidak situasi pasar sebagai indikator pembuktian
‘’politik uang’’, tak perlu kita risaukan. Toh
jantung para kandidat, TS, pendukung, dan –terutama—penyokong dana merekalah
yang kini berdegup lebih cepat. Sudah tepat topik yang mendadak hangat di KK: ‘’Jangan ba marah kua’ kalu ngana pe
kandidat depe doi cuma sadiki.’’
Sebab itu, untuk para kandidat, TS, pendukung, dan
pendananya, sebagai sumbang saran, saya mengingatkan, ‘’Berhati-hatilah dengan
jantung Anda selepas perhitungan suara nanti.’’ Serangan jantung dapat terjadi
setiap saat, tanpa permisi dan pemberitahuan sebelumnya.***