KERIUHAN
pemilihan Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), yang
merentang beberapa bulan terakhir dan memuncak Senin (24 Juni 2013), perlahan
surut. Suka ria mengiringi keunggulan duet Tatong Bara-Jainudin Damopolii
(TB-JD) dan duka dari tiga pasangan kandidat pesaing sebentar lagi tinggal
nostalgi yang sesekali ditegok dan dijadikan menu bual-bual.
Tim sukses (TS), pendukung, dan simpatisan yang sebelumnya
berhadap-hadapan, harus bersigegas kembali menjalani keseharian. Alangkah
bodohnya memelihara perseturuan dan ketidak-sepahaman hanya gara-gara perbedaan
pilihan. Apalagi para kandidat yang mati-matian saling mengalahkan, pasti
dengan segera bertegur sapa dan berbagi senyum, setidaknya di hadapan umum.
Nah, ketika pikiran
nobui bidon kon ulu in naton
komintan, saya tidak akan membicarakan lagi hal-ihwal berbau sikat-sikut politik
di Pilwako KK. Ada aspek lain yang subtansial, sangat mewarnai Pilwako, hampir
setiap hari disua oleh warga kota, mempengaruhi mereka, sekaligus juga diterima
dan berlalu begitu saja.
Ihwal penting itu adalah bagaimana media dan para
jurnalisnya memainkan peran di Pilwako KK –sesungguhnya secara umum juga di
pemilihan kepala daerah (Pilkada), khususnya yang berlangsung di Sulawesi Utara
(Sulut). Dengan menggunakan pengetahuan normatif (bukan berarti saya
mengabaikan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan anutan-anutan dasar jurnalistik
lainnya), kita dapat membagi sikap media di Pilwako KK ke dalam tiga kategori:
memihak dengan tegas, netral, dan oportunis. Akan halnya para wartawan,
terpolarisasi dalam dua kubu besar: memihak atau netral. Kubu kedua ini boleh
diartikan sebagai mereka yang benar-benar berupaya menyajikan berita dan
tulisan sesuai kaidah jurnalistik.
Dalam amatan saya (sekadar amatan yang amatiran), media
kategori pertama, yang memihak, mengambil sikap mendukung satu pasang kandidat
tidaklah dengan berbasis ideologi. Misalnya karena ide-ide dan pikiran kandidat
itu sejalan dengan yang dianut media
bersangkutan. Pemihakan dilakukan berdasar faktor ekonomi (kontrak iklan, advertorial, atau sejenisnya), relasi
khusus (biasanya hubungan baik antara media dan kandidat atau tokoh-tokoh
partai politik pengusung), atau karena berita dan tulisan yang dipublikasi
sangat bias pemihakan jurnalisnya.
Kategori kedua, yang netral, saya kira memang demikian media
harus bersikap tidak hanya di Pilwako.
Dan kategori ketiga, yang oportunis, adalah varian dari
kategori pertama, dengan titik berat pada faktor ekonomi. Kandidat siapa pun
pasti akan didukung sepanjang ada kontribusi bernilai ekonominya. Media
kategori ini sedap dibaca karena setiap hari sukses membingungkan pemilih.
Bagaimana cirinya? Gampang, lihat saja berita utama ketika
pasangan kandidat A berkampanye dan di hari yang sama memajang iklan, juga
besoknya menaburi media yang bersangkutan dengan ‘’berita berbayar’’. Berita
dan tulisan yang terpampang pasti berjudul bombastis –setengah tak masuk
akal--, misalnya, ‘’Kampanye Terbesar dalam Sejarah’’. Jangan heran pula bila lusanya
kandidat pesaing, yang juga beriklan dan berkontrak ‘’berita berbayar’’,
dilayani dengan judul yang sama dasyatnya, katakanlah semacam, ‘’Rekor Baru
Kampanye Kandidat’’.
Kearifan pembacalah menafsir mana kampanye yang benar-benar
terbesar dalam sejarah dan menjadi rekor baru; atau dua-duanya omong kosong
belaka. Sebab barangkali judul seram itu cuma pelebih-lebihan belaka. Kecap
yang satu dengan lainnya sama-sama ‘’merasa’’ nomor satu. Terlebih takaran
‘’merasa’’ adalah perpaduan antara nyada dan abstark. Contohnya, ganteng dan ‘’merasa ganteng’’
boleh jadi berarti mirip-mirip atau sama sekali bertolak belakang. Bukankah
merasa ganteng kendati punya wajah bagai habis dilanggar tronton belum pernah
dimasukkan sebagai tindak pidana?
Nah, untuk para jurnalis, bukan rahasia lagi selama Pilwako
KK berlangsung, mereka yang tergolong kategori pertama, yang memihak, umumnya terbagi
ke dalam tiga kubu: Djelantik Mokodompit-Rustam Simbala (DjM-RS), TB-JD, dan
Muhamad Salim Lanjar-Ishak Raden Sugeha (MSL-IRS). Tidak sekadar memihak dalam
bentuk memproduksi berita atau tulisan yang ‘’relatif’’ menguntungkan kandidat
yang didukung, tetapi bahkan terlibat langsung mengelola materi kampanye dan
berkampanye.
Walau luput dari telisikan warga umumnya, selama Pilwako
berlangsung rivalitas di kalangan kubu-kubu para jurnalis itu berlangsung di tempo
dan tensi tinggi. Satu dan yang lain berlomba menampilkan berita dan tulisan
mengunggulkan kandidat dukungannya sembari sedapat mungkin mendegradasi
kandidat pesaing.
Warga Kotamobagu tahu persis siapa saja jurnalis yang
mengambil sikap memihak kandidat tertentu. Sama halnya dengan mereka hafal
jurnalis mana yang tergolong kategori kedua, yang netral. Kabar buruknya,
kategori kedua ini tak banyak, itu pun harus hati-hati bersiasat membaca arah
angin, mengingat mayoritas media yang meramaikan Pilwako KK pantas
diklasifikasi dalam kategori pertama atau ketiga.
Apa kerugian media dan jurnalis yang tak bersikap netral
ketika Pilwako selesai? Menurut hemat saya, dampak negatif jangka pendek ke
media yang memihak atau oportunis tidaklah signifikan. Paling-paling pembaca
akan mewasdapai kredibilitas isi media kategori ini. Tapi kalau perilaku itu
berulang dan tak hanya di event
politik, di jangka panjang pembaca pasti meninggalkan media bersangkutan. Dan
media minim atau tanpa pembaca tentu bukan yang bakal dituju dan dipilih para
pengiklan.
Berbeda dengan media, jurnalis yang memihak, terutama yang
kandidatnya ternyata gagal, langsung memikul dua dosa besar: Tidak profesional
(karena mengabaikan etika dan kode etik jurnalistik) dan bodoh (sebab
bersukarela mendukung pecundang). Sanksi terhadap dosa pertama menjadi wilayah
media tempatnya bekerja atau organisasi profesi di mana sang jurnalis bernaung.
Itu pun setelah sebelumnya dibuktikan sang tersangka yang di hadapkan di depan
majelis memang memihak dalam kapasitasnya sebagai jurnalis. Artinya, dapat
dipastikan nyaris tak ada sanksi apapun terhadap pelanggaran kategori dosa
pertama ini.
Lain halnya dengan dosa kedua, yang hukumannya langsung dan
biasanya tak tertahankan, terutama dari sesama pewarta yang tak segan mengolok
dan menojor kepala berisi otak kosong sembari menyeburkan, ‘’Sinumuba’ bi na’ pangkola’, yo nanam au’-a! ’’ Teledor dan
memihak yang kalah memang menyakitkan. Dan saya tahu derita itulah yang kini
dipikul sejumlah kawan jurnalis di Mongondow, di hari-hari setelah TB-JD secara
de facto memuncaki perolehan suara di
Pilwako KK.
Saya tentu bersimpati dan empati. Selebihnya: Bo unuon?***