GEGAR pemilihan
Walikota-Wakil Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu (KK), Senin (24 Juni 2013),
tak jua surut. Dari kejauhan dengan takjub saya menikmati ekspresi keceriaan
dan syukur—utamanya—para pendukung kandidat yang dipastikan unggul, sembari
bersimpati dan berempati terhadap para penyokong calon yang tersungkur.
Orang Mongondow, warga KK, memang ‘’tukang baterek’’ dengan
cara yang harus diakui menunjukkan ketinggian selera humor dan ‘’nimau’ tahu’’-nya
etnis ini. Lihat saja bagaimana di seantero kota pendukung Tatong Bara-Jainudin
Damopolii (TB-JD), sejak Selasa (25 Juni 2013) hingga tulisan ini dibuat (Jumat
menjelang subuh, 28 Juni 2013), menggelar syukur dengan membantai sapi,
menggelar aneka hidangan, dan mempersilahkan siapa saja bergabung.
Bukan makan-makannya yang lucu, melainkan kain rentang yang
dipajang mengiringi pesta-pora itu serta plesetan (termasuk dalam bentuk foto)
dan aneka komentar yang lalu-lalang. Harus diakui dua frame foto Tatong Bara dan Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim),
Sehan Lanjar, yang duduk dalam ekspresi tertawa lebar dan diimbuhi komentar,
yang bersiliweran dikirimkan lewat BlackBerry Messenger (BBM), efektif mengguncang
urat tawa.
Sama kocaknya dengan poster DjM-RS yang tagline-nya kemudian dimodifikasi menjadi ‘’Landjutkan Sampai ke Lolan.’’
Atau foto DjM sedang terpakur dengan Sehan Lanjar di sisi kiri yang memandang
dalam posisi tubuh rendah dan kepala mendongak setengah memutar. Keterangan
yang menyertai gambar ini ditulisi, ‘’nTik,
kita so bilang jang malawang, eh ngana nyanda ba dengar. Kalah toh….’’
Sempat terlintas di benak pikiran bahwa loleke yang bersiliweran itu mulai melampaui batas. Namun, di sisi
lain, dengan melihat rekam jejak pemerintahan Djelantik Mokodompit hampir lima tahun
terakhir, perilaku orang-orang dekat dan penyokongnya, saya dapat memahami
mengapa mayoritas warga KK bersuka ria menyambut kekalahan sang patahana.
‘’So talalu’’ adalah komentar yang tak berlebihan untuk
menggambarkan bagaimana mayoritas warga KK menilai kelakuan Walikota dan
antek-anteknya. Yang dikategorikan antek-antek ini bukan hanya mereka yang
terhubung karena faktor politik (berada di partai yang sama), kedekatan
pribadi, tapi juga pegawai negeri sipil (PNS), bahkan wartawan, yang
diuntungkan oleh kekuasaan yang ada di tangan DjM.
Mereka yang pantas disebut antek-antek itulah yang
pertama-tama pula tiarap, tanpa malu-malu mencari-cari celah bergabung atau
mengaku-ngaku pendukung kandidat terpilih, atau berkilah pemihakannya selama
rentang pemerintahan DjM hingga Pilwako sebagai loyalitas atau ketakberdayaan.
Salah satu yang sangat menggelikan adalah bersegeranya
sejumlah wartawan menyambangi Tatong Bara di kediamannya, seolah-olah mereka
adalah insan pers yang netral dan profesional. Padahal kita semua tahu, selama
kampanye Pilwako mereka bukan hanya diam-diam memihak DjM-RS, tetapi bahkan
dengan vulgar menghadiri kampanye-kampanye lengkap dengan uniform khas pasangan ini. Untuk gerombolan ini, komentar saya
pendek saja: Oi, so nintau malo dang?
Antek atau pendukung yang kategori die hard, mereka yang tampaknya setiap hari memamah ular dan bisa,
lumayan loyal tetapi bodoh dan gelap mata. Informasi terkini yang saya terima,
mereka tengah merencanakan unjuk rasa merongrong Pleno Komisi Pemilihan Umum
(KPU) KK dan akan digiring menjadi chaos.
Saya yakin polisi bakal bersikap tegas menghadapi gangguan seperti itu. Kalau
tidak, orang banyak yang gantian menggambil tindakan; dan saya pribadi sangat
ingin berkontribusi menempeleng oknum-oknum najis itu.
Namun, di antara kegalauan akibat kekalahan patahana, saya
mencermati yang paling merana dan was-was adalah PNS yang selama ini secara
terbuka menyatakan atau menunjukkan pemihakannya terhadap pasangan DjM-RS. Tak
hanya PNS KK, tetapi juga di Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk dan Boltim yang
tercatat dalam daftar pemilih tetap (DPT) KK. PNS Bolaang Mongondow Selatan
(Bolsel) dan Bolaang Mongondow Utara (Bolmut) boleh berlega hati karena Bupati
Herson Mayulu resminya adalah pendukung DjM-RS, sedangkan Bupati Bolmut, Depri
Pontoh, dapat dikategorikan bersikap netral saat Pilwako KK berlangsung.
Tidur tak nyenyak dan makan tak enak di kalangan PNS itu,
terutama di Bolmong Induk dan Boltim, kian merongrong karena tiupan rumor
beberapa hari terakhir yang menyatakan bakal terjadi tsunami pencopotan,
mutasi, dan non-job. ‘’Katanya’’
Bupati Salihi Mokodongan tak mentolerir PNS-nya yang warga KK yang mendukung
kandidat selain TB-JD; demikian pula dengan Bupati Boltim terhadap PNS warga KK
yang tak menyokong pasangan Muhamad Salim Lanjar-Ishak Raden Suhega (MSL-IRS).
Saya tak percaya dengan ‘’fitnah’’ terhadap Bupati Bolmong
Induk dan Bupati Boltim itu. Bisik-bisik dan spekulasi seperti itu adalah
cara-cara oknum bejad mengail di air keruh.
Tetapi saya menyakini bahwa banyak PNS KK yang memang harus
dihukum dengan tega oleh Walikota-Wakil Walikota (Wawali) 2013-2018 terpilih,
dengan sejumlah alasan sahih. Telah menjadi rahasia umum, banyak PNS yang duduk
di posisi-posisi birokrasi penting diangkat oleh Walikota Djelantik Mokodompit
bukan berdasar profesionalisme, kompetensi, dan kapabilitas. Sudah demikian,
mereka –tak beda dengan patronnya—berlaku semena-mena, seolah-olah KK adalah budel nenek moyangnya seorang dan warga
kota ini cuma gerombolan lalat dan nyamuk.
PNS KK yang secara terbuka (dan ikut serta) memihak
Djelantik Mokodompit selama proses pencalonan, kampanye, dan puncak Pilwako,
semestinya dapat ditolerir. Setiap warga negara berhak memlilih mendukung siapa
atau apa yang dia sukai. Namun tidak untuk perlakuan terencana dan
berkelanjutan yang memang ditujukan mengkerdilkan seseorang, dalam hal ini
Tatong Bara, terutama dalam posisinya sebagai Wawali KK 2008-2013. Posisi
mereka, menukil komentar seorang kerabat, ‘’Aindon
no’i tongkob bo kinoitakan padoman in bantong bo kinoumpagan magi’ in pangkoi
in nunuk.’’
Balas dendam bukanlah tindakan yang saya sukai. Sebagai
kandidat yang dipastikan menduduki jabatan Walikota KK 2013-2018, Tatong Bara
juga sudah menyatakan dia memaafkan semua yang telah bersikap, berlaku, dan
memperlakukan dia tak semestinya (sekaligus menegaskan bahwa memaafkan bukan
berarti melupakan). Sayangnya, saya tidak sependapat dengan pemaafan seperti
itu. Setiap bangsat yang ada di balik kasur harus disingkirkan. Bila tidak, di
saat kita terlelap mereka pasti tanpa ampun berebutan mengisap setiap tetes
darah yang mungkin dihirup.
Daftar kutu busuk, kecoak, dan tikus di birokrasi Pemerintah
Kota (Pemkot) KK itu lengkap di tangan saya. Dengan penuh hormat saya akan
menyerahkan pada Walikota-Wawali terpilih disertai pengantar pendek: ‘’But
of course, decision is yours.‘’***