DI KOPI Jarod Sinindian,
Selasa (11 Juni 2013), Ayu Basalamah melangkah malu-malu ke meja di mana saya
bersama beberapa kawan sedang reriungan. Di akhir senja itu, hampir dalam nada
berbisik, dia mengisahkan kembali penganiayaan oleh sejumlah bangsat di Bolaang
Mongondow Timur (Boltim) berminggu-minggu lampau.
Dia menutur bagaimana serangkaian pesan BlackBerry Messenger
(BBM) yang dikirim ke seseorang ternyata berbuah tubuh nyaris remuk, dua kali
pingsan, beberapa rusuk kanan patah, dan salah satu mata terancam cacat
permanen. Sembari menatap rambut yang dicat pirang, lalu wajah kemayunya, saya
membathin: ‘’Apakah maha bahaya yang mengancam dari Ayu hingga dia layak
diremuk-redam segerombolan laki-laki berotot dan terlatih? Sedemikian besarnya keliru
yang dia perbuat hingga layak menanggung derita seperti itu?’’
Saya memang dianggap sebagai salah seorang pembela Ayu yang
sesungguhnya bernama lengkap Abdullah. Saya meradang sewaktu mengetahui nahas
yang ditimpakan padanya, Sabtu (23 Maret 2013), hanya gara-gara BBM yang berisi
cacian terhadap Bupati Boltim. Padahal Sehan Lanjar yang menjadi obyek BBM Ayu
justru tak menanggapi terlampau serius.
Di Mongondow ekspresi loyalitas tampaknya kian sulit
dipisahkan dari pemujaan membabi-buta. Cacian terhadap Bupati Boltim, misalnya,
tidak mengurangi dan menambahi rekam-jejaknya sebagai sosok istimewa di antara
sedikit sekali pemimpin publik di daerah ini. Sehan Lanjar, sepengetahuan saya,
juga sadar bahwa sehebat apapun dia, dia tetap manusia biasa yang manusiawi.
Dia boleh dipuja, juga dicaci. Kalau itu menyinggung harga diri, menggores
kehormatan, mari serahkan pada aparat berwenang.
Tapi bagi sejumlah orang yang menjunjung idolanya melebihi
akal sehat, yang sepele sekali pun bisa menggelapkan mata. Dan jatuhlah korban,
Ayu yang bukan petarung, preman, atau sejenisnya. Dia cuma perempuan yang
terperangkap di tubuh laki-laki, pemilik dan pengelola Ayu Salon, dengan
satu-satunya daya yang dimiliki: mewartakan deritanya ke banyak pihak sembari
berikhtiar mencari keadilan.
Ayu yang tak berdaya itulah yang menemui saya bersama
berakhirnya petang, hari itu, yang ternyata menjadi pertemuan terakhir kami.
Senin (17 Juni 2013) dia ditemukan di salon miliknya dalam kondisi mengenaskan.
Tewas dengan tangan dan kaki terikat serta mulut dibekap plastik perekat. Saya
bahkan tak tega menggambarkan seperti apa kondisi jenazahnya. Yang saya tahu,
dingin yang mendadak mengaliri dada adalah rasa hati yang basah digenangi
airmata.
Ayu berpulang disaat tengah terseok-seok mengais-ngais
keadilan hanya dengan dukungan kelompok kecil ‘’sesama’’ dan beberapa orang
yang bersimpati dan berempati. Kini, kita semua, seluruh orang Mongondow yang
tahu apa yang dia alami, menanggung hutang menuntut keadilan yang menjadi hak
Ayu akibat penganiayaan Maret 2013 lalu, juga menguak mengapa dan siapa-siapa
yang dengan darah dingin menghabisi nyawanya.
Kita juga mesti menjawab: Mengapa yang paling lemah dan tak
berdaya selalu menjadi korban pertama di tengah satu bangunan masyarakat yang
mestinya beradab? Di manakah budaya tinggi dan solidaritas sosial di Mongondow
yang diagung-agungkan dengan bahasa berbunga-bunga: Mototabian, mototanoban, bo mototompiaan? Pula, di mana –atau masih
adakah—hukum dan aparat berwenang yang menjadi penjaga rasa aman kita di
Mongondow?
Saya tak ingin mengait-ngaitkan tewasnya Ayu, peristiwa yang
dia alami sebelumnya, juga upayanya memperjuangkan keadilan. Boleh jadi
peristiwa satu dengan yang lain sama sekali tak berkaitan. Tugas polisilah
menguak latar belakang, motif, dan pelaku yang menghabisi Ayu; sebagaimana
tugas polisi pula menyeret pelaku penganiayaan yang dia alami, yang
sepengetahuan saya setelah hampir dua bulan baru menetapkan satu tersangka.
Tak terelakkan kita harus amat sangat serius mempertanyakan
kinerja aparat kepolisian di Bolaang Mongondow (Bolmong). Kepala Kepolisian
Resort (Kapolres) Bolmong, mungkin pula Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda)
Sulut, pasti naik darah bila saya menuding serangkaian peristiwa yang menimpa
Ayu, yang berujung kematiannya, tak lepas dari andil institusi ini dan
aparatnya. Tapi demikianlah fakta yang terjadi di hadapan kita.
Sejak mula saya percaya, mengungkap peristiwa penganiayaan
terhadap Ayu oleh sejumlah oknum pada Maret 2013 lalu tidaklah memerlukan
kecanggihan pengetahuan dan peralatan pendukungnya. Bagaimana kejadiannya, apa
penyebab, dan siapa-siapa pelaku –juga pihak yang terlibat--, terbeber di
hadapan publik dalam waktu singkat. Anehnya, polisi bertindak dengan kecepatan
setara siput dan kura-kura.
Polisi yang biasanya cekatan berhadapan dengan tindak pidana
dan kriminal telanjang, mendadak kehilangan taji. Mereka bahkan perlu
didorong-dorong dukungan unjuk rasa para waria hingga laporan Ayu ke Markas
Besar (Mabes) Polri, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta
lembaga serta institusi hukum dan kemanusiaan lain. Dengan kelambatan
tindakannya, polisi seperti dengan sengaja menjadikan peristiwa kriminal biasa menjadi
isu besar.
Andai polisi bertindak cepat, menangkap para tersangka dan
memproses untuk menunjukkan hukum dan keadilan bekerja tanpa pilih bulu, saya
yakin Ayu tidak akan berkelana ke mana-mana mengadukan deritanya. Membuat penganiayaan yang dia tanggung menjadi isu yang terus-menerus membesar dan jadi perhatian luas. Tidak pula
ada alasan bagi para free rider dan
pengail di air keruh mengaitkan-ngaitkandengan
peristiwa politik yang tengah berlangsung di Mongondow; atau menjadikan amunisi
gosip teori konspirasi kepentingan sumir dan sesaat.
Nasi telah menjadi bubur. Di tangan polisi kini ada dua
kasus yang harus selesaikan, sendiri-sendiri atau ternyata saling terkait,
mohon diungkap sesegera mungkin sebelum getahnya makin meluber ke mana-mana.
Kalau tidak juga, dengan segala hormat, apa kami yang prihatin ini mesti
meminta tolong Gerakan Pramuka, organisasi masyarakat (Ormas), atau perhimpunan
dukun?
Untuk Almarhum Ayu, saya tak lagi mampu menuliskan apa-apa.
Kesedihan, juga amarah ini, telah melampaui batas yang dapat dijelaskan dengan
kata-kata. Ayu, beristirahatlah dengan
tenang. Apa yang ditinggalkan, yang jawabannya ingin kau ketahui, tidaklah lagi
menjadi bebanmu. Itu hutang yang tanpa henti wajib kami tagih pada semua yang
berwenang menegakkan hukum di negeri ini.***