MEMBELA Ayu
Basalamah yang dianiaya oknum-oknum over
acting di sekitar Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar,
mulanya saya duga bakal menimbulkan antipati. Namun yang terjadi justru
sebaliknya. Banyak orang, dari berbagai latar dan usia (juga orientasi
seksual), belakangan secara terbuka turut serta menyampaikan dukungan agar Ayu
pantang surut menuntut keadilan.
Saya berkeyakinan Bupati Boltim (karib yang saya sapa penuh
akrab dengan ‘’Eyang’’) sama sekali tak terlibat, apalagi memerintahkan
penganiayaan yang membuat ayu termehek-mehek itu. Satu-satunya dugaan yang
dapat dikenakan pada Eyang adalah ‘’pembiaran’’ terjadinya tindak pidana di
depan mata. Lainnya, hukum sosial dan budaya Mongondow karena sebagai tuan rumah
dia tak mampu menjamin kenyamanan dan keselamatan tamu.
Bagaimana pun penganiyaan yang dialami Ayu terjadi setelah
dia bertamu (lepas dari posisinya yang terpaksa) ke kediaman Eyang. Pelakunya
pun terbeber dan diketahui orang banyak sebagai orang-orang yang berada di
bawah kekuasaan, pengaruh, bahkan dekat secara kekerabatan dengan Eyang.
Tidak ada alasan bagi Eyang, tokoh yang kini menjadi salah
satu bright star di Mongondow,
membiarkan dan menganggap mala yang menimpa Ayu sebagai ‘’satu peristiwa di
antara banyak kejadian’’ yang setiap hari berkelindang di sekitarnya. Yang akan
lalu bersama angin.
Tuntutan yang sama juga dialamatkan ke Kapolres Bolaang
Mongondow (Bolmong), AKBP Hisar Siallagan, dan jajarannya (bahkan ke Kapolda
Sulut), mengingat salah satu terduga pelaku utama kebiadaban itu adalah anggota
polisi aktif. Citra polisi di Indonesia sudah compang-camping tak karuan. Saya
tahu, Kapolres lebih dari khatam memahami situasi ini dan tak berkeinginan
menambah panjang daftar cemooh untuk korps-nya.
Langkah penyelesaian yang mengedepankan keadilan yang
dikontribusikan Eyang (selain karena dia ikut terseret, juga tersebab locus delicti peristiwa ada di bawah
juridiksinya) dan Kapolres, akan membantu warga Mongondow menjaga kepercayaan
terhadap kebijaksanaan para pemimpin dan konsistennya penegakan hukum. Orang
banyak, khususnya komunitas yang kini gigih berempati terhadap Ayu, pasti
menghadiahkan ‘’cubitan paling sayang’’ pada dua tokoh ini.
Pada Ayu pribadi, yang kini ketakutan, bingung, hilang akal
dihantui bakal terjadi lagi peristiwa yang sama, pengobatan fisik (termasuk
memeriksakan kesehatan kepala dan isinya yang boleh jadi bergoyang parah karena
hantaman pukulan) tidaklah cukup. Dia
perlu jaminan psikis bahwa pihak-pihak yang bertanggungjawab dan berwenang tak
lepas tangan.
Jangan dilupakan, dari aspek moral Eyang memikul
tanggungjawab memastikan fisik dan psikis Ayu kembali seperti sedia kala
sebelum nahas itu ditimpahkan padanya. Terhadap pengungsi banjir Manado pada
Februari 2013 lalu saja Eyang berinisiatif mengirim Mobile Medical Centre (MMC), ikhlas menyingsingkan lengan baju,
hadir di tengah mereka, masak sih dia
mengabaikan kemasalahatan Ayu (yang warga Mongondow) di jangka panjang. Membawa
Ayu ke fasilitas kesehatan modern, di Jakarta sekali pun, menurut hemat saya
akan dilakukan Eyang. Dalam waktu dekat begitu dia berkesempatan.
***
Solidaritas terhadap Ayu telah menjalar, tak terhentikan.
Akhir pekan lalu saya mendengar sejumlah pengacara di Kotamobagu mempersiapkan
diri mendampingi bila tuntutan keadilan dari Ayu disandung pengaruh kekuasaan;
atau terindikasi polisi tak serius menindak-lanjuti.
Beberapa tokoh lain (ada yang bahkan secara pribadi dekat
dengan Eyang), bersetuju mendukung proses penyelesaian kasus penganiayaan itu,
termasuk dengan mengkontribusikan biaya kalau-kalau diperlukan ahli hukum yang
dianggap sangat handal dari Manado atau Jakarta. Tidak demi menyerang atau
menciderai reputasi Eyang, tetapi justru untuk mendukung agar dia tetap menjadi
tokoh yang diharapkan warga Mongondow kini dan nanti.
Setiap kerikil dalam sepatu mesti segera disingkirkan. Kasus
Ayu tak hanya kerikil, tetapi sudah menjadi duri di jempol kaki Eyang. Saya
pribadi tak ingin masalah (yang tak kecil) ini akhirnya menjadi ganjalan yang
berulang-ulang dibangkitkan setiap kali Eyang tampil dengan ide atau prestasi
jempolan.
Demonstrasi yang dilakukan komunitas wanita-pria(waria) di
Kotamobagu hari ini (Senin, 1 April 2013) bukanlah April mop. Dari gambar-gambar yang saya terima, mereka menuntut
kasus Ayu ditindak-janjuti sesegera mungkin dan seadil-adilnya. Aksi ini tak
boleh dipandang sebelah mata, sebab mereka tidak akan berhenti. Komunitas ini,
yang biasanya diam dan hanya bertekun dengan kepiawaian mereka (utamanya di
sektor kecantikan dan makanan), amat sohor kegigihannya. Mereka dikenal pantang
mundur dalam memperjuangkan sesuatu, terlebih itu terkait dengan nasibnya.
Berkaca dari negara semaju Amerika Serikat (AS), komunitas
ini bukan hanya menjadi penentu trend
mode atau beberapa perilaku sosial, tetapi juga politik dalam konteks yang
luas. Ini dibuktikan dengan lobi komunitas waria, lesbian, dan gay yang membuat semua kandidat Presiden
di Pemilu AS harus cermat memperhitungkan pendekatan yang tepat terhadap mereka
Saya belum mampu mengukur seberapa besar pengaruh sosial dan
politik Ayu dan komunitasnya di Mongondow. Yang dapat saya konklusi adalah,
demo yang mereka gelar baru pemanasan. Terbuka kemungkinan seratusan pendemo
yang ambil bagian hari ini bakal menjadi beratus-ratus di demo berikutnya dan
ribuan di demo selanjutnya.
Pembaca, Anda tentu dapat membayangkan bila Ayu dan seluruh
anggota komunitasnya merasa tidak ditanggapi dan diakomodasi aspirasi mereka,
turun ke jalan ternyata tidak efektif, lalu mereka ramai-ramai berhenti bergiat
di bidang yang digeluti. Kemana Ibu Bupati Boltim, Umi Siwin, Ibu Kapolres, dan
ibu-ibu pejabat lainnya cream bath,
menata rambut, manicure, pedicure, dan sebagainya?
Celutukan salah satu pendemo yang tiba di telepon genggam
saya, yang mengatakan ‘’Yey ganggu, eyke pletuk’’ bukanlah ancaman kosong.
Semut pun akan menggigit kalau diperlakukan semena-mena, apalagi komunitas yang
umumnya secara ekonomi (salah satu aspek paling fundamental manusia modern)
tergolong kaum mandiri.
Eyang, Kapolres Bolmong, dan kita semua tentu tak ingin Ayu
dan komunitasnya mengubah demo jadi mogok kerja massal, lalu ibu, istri-istri,
adik dan kakak, serta sahabat perempuan kita tampak kumal karena terpaksa
setiap hari cuma berdandan seadanya. Kalau ini sampai terjadi, pasti polisi
bakal menerima banyak pengaduan dari kaum pria karena jadi korban penganiayaan para
wanita; dan Eyang serta Kapolres mungkin bakal menghadapi pula aksi mogok dari
istri mereka.***