ANGGAP saja apa
yang dituliskan ini sekadar sesuatu yang ingin dikatakan. Mumbling atau gumaman samar-samar di keriuhan, yang lebih ditujukan
untuk diri sendiri. Bukan agar sesiapa di sekitar memberi atensi, melainkan
semata karena ada yang mendesak dinyatakan. Hanya dinyatakan, lalu biarkan dia
terbang bersama angin atau luruh dalam pikuk.
Ayu Basalamah, gumam itu bukan tentangmu, tetapi ihwal
ketidak-berdayaan manusia, entah karena alasan manusiawi, zalimnya kekuasaan,
atau tersebab kita makin individualis dan tak peduli. Semua boleh disimpulkan
dalam satu kata yang semestinya netral: tega.
Ya, ketika orang yang kemudian disebut-sebut sebagai ajudan
Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, dan seseorang lain yang
patut diduga sebagai kerabat dekat keluarganya menjemputmu di Kotamobagu, saya
tahu ‘’tega’’ adalah kata yang dapat berarti pula sebagai pelanggaran hukum,
sewenang-wenang, mentang-mentang, dan mungkin biadab. Terlebih terduga utama
penjemput itu ternyata bukan ajudan. Dia hanya salah satu oknum yang ditugaskan
menjamin keamanan kediaman Bupati --yang kita sapa dengan akrab dengan Eyang— dan
keluarganya.
Menjaga keamanan rumah Bupati, juga seisinya, tentu tak
disertai tiket menggunakan kendaraan dinas (resmi) salah seorang pejabat di
jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Boltim, menjemput seseorang yang akhirnya
lantak dianiaya. Ayu Basalamah, saya tidak tahu apakah pejabat yang mobilnya dipakai
menjemputmu itu tahu kepercayaannya telah disalah gunakan. Sama tidak tahunya
dengan apakah Eyang merestui tindakan itu atau tidak.
Yang saya tahu, ketika ada tangan mendarat di tubuhmu yang
tidak setangguh badan kurus kami, sebagaimana kesaksian yang diabasahkan banyak
orang, Eyang berseru (kurang lebih), ‘’Jangan
pukul pa dia. Dia kita pe sudara.’’ Dia yang dimaksud Eyang adalah engkau yang
bersimpuh menundukkan muka, mengekspresikan salah dan penyerahan diri. Yang
mengaku takluk, meminta maaf, dan memohon keridaan Eyang.
Mencaci Eyang, seorang Bupati dan panutan, memang mengundang
amarah. Terlebih bila serapah itu tersebab engkau tak tahu, bahwa dengan segala
upaya, Eyang telah berikhtiar agar Novia Bachmid (bintang yang juga kau dukung)
mampu mengukir prestasi tertinggi di Pentas Idola Cilik RCTI 2013. Ayu
Basalamah, engkau tergelincir karena mulut memang lebih licin dari lantai
marmer basah; pun ucapan lebih tajam dari tombak; serta sebuah kata yang salah
tempat, salah waktu, dan diucapkan orang tanpa ‘’nomor punggung’’, tak beda
dengan gong harakiri.
Kini, setelah wajah porak diterjang tinju dan tempeleng,
badan payah diremuk tendangan dan pitingan, engkau belajar salah satu hal
terpenting dalam peradaban panjang manusia: Jaga tutur dan tingkah. Yang tak
perlu jangan diucap dan dilaku. Apalagi di hadapan kekuasaan yang tak punya
akal sehat orang kecil dimangsa bagai tikus dipermainkan kucing. Tapi akankah
engkau membiarkan takdir tikus memang adalah makanan kucing, atau membuktikan kemungkinan
lain yang dipercayai sebagai ultimate
situation dari sikap mengalah: Tikus pun akan balik menggigit kucing bila
terpojok dan harus mempertahankan diri?
Apakah derita di hari nahas itu, ketika usai bermaafan
dengan Eyang dan engkau tak dipulangkan ke Kotamobagu tetapi ke sebuah tempat
dimana tangan-tangan dan kaki bertemperasan mendera, kita anggap selesai saja?
Sebagai laki-laki yang tumbuh di era berkelahi adalah olahraga tradisional di
Mogolaing, di setiap pertarungan sedapatnya aku menghitung berapa bogem,
tempeleng, sikut, dan tendangan yang mampir ke tubuh. Tiap hutang mesti
dibayar, bila perlu dengan bunga dan bonus.
Engkau bukan kepala batu yang doyang adu otot seperti
anak-anak Jalan Amal di zaman kami remaja. Kepal oknum yang mengaku-ngaku
ajudan saja pasti langsung melengkingkan ampun, apalagi ditambah hingga 11
pasang tinju dan kaki lain. Mereka juga terlatih dan ‘’haus’’ melampiaskan
naluri binatangnya.
Lagipula sampai kapan pun menata rambut, mempercantik wajah,
mengkilap-muluskan kulit bukanlah ketrampilan membela diri di tengah bentrok
fisik. Walau, kebisaan ini dapat menjadi pembawa pesan damai bahkan di tengah
perang seperti yang dilakukan Deborah Rodriques. Ayu Basalamah, engkau dan
kaummu mungkin tak pernah mendengar, apalagi membaca, Kabul Beauty School (Random House, 2007) yang berkisah tentang
tentang seorang penata rambut dan kecantikan yang jadi kabar suka untuk para
wanita di tengah muramnya perang di Afganistan.
Kabul Beauty School
adalah perlawanan di tengah ketak-berdayaan. Bahwa akhirnya kekuasaan yang
zalim dan tanpa nurani tetap memakan korban, kian mempertegas pentingnya kita
terus-menerus mesti menolak laku barbar dan anarkis. Menutup mata, berpasrah
menyesali diri, lalu berserah pada nasib hanya membuka pintu jatuhnya korban
Ayu-Ayu Basalamah lain di masa datang. Yang tak hanya menanggung lebam dan satu
mata tertutup bengkak biru-ungu, tapi mungkin sesosok tubuh kaku dan dingin
yang disua di selokan atau di balik rimbun sesemakan.
Melawanlah. Jangan berhenti meminta polisi mengusut,
menangkap, dan menyeret gerombolan yang petantang-petenteng
karena merasa bakal mendapat perlindungan. Yang menganiaya karena tahu persis
satu-satunya daya yang kau punya adalah melolongkan ampun. Tak usah peduli yang
dihadapi tembok dan karang. Tak ada lagi padas yang terlampau kokoh di zaman
ini. Generasi kita tidak sedang menunggu tetesan air melobangi batu. Kita punya
palu, bahkan dinamit.
Seperti yang sudah aku tuliskan, engkau tak sendiri. Lukamu
adalah tikaman yang melelehkan darah di banyak nurani orang Mongondow. Simpati
dan empati orang banyak ini adalah
harapan yang tak boleh disia-siakan. Kendati dalam banyak hal tindakan polisi
mengundang skeptis dan patah hati, kali ini kita menyisahkan sedikit percaya
bahwa mereka tak akan membiarkan dukamu menjadi salah satu nomor gelap tumpukan
arsip terlupa.
Bila pun tidak, artinya Eyang, Kapolres, dan semua otoritas
berwenang membiarkan hukum rimba dipratekkan, maka ingatkan: Saya akan datang
bersama sejumlah orang, menyambangi Eyang dan Kapolres, memohon penuh hormat
untuk menyelesaikan dengan cara kuno. Bukan demi kau, Ayu Basalamah, tetapi
agar kami tetap tidur nyenyak dan punya percaya, bahwa Mongondow adalah tempat
di mana beradab masih di terus diikhtiarkan di tengah kian gilanya jagad
manusia.***