DI MONGONDOW,
khususnya Bolaang Mongondow Timur (Boltim), selain Bupati Sehan Lanjar, ada dua
politisi yang selalu mengundang perhatian saya. Mereka adalah Sopian Alhabsyi
dan Sunarto Kadengkang.
Tiap kali bersua Sopian Alhabsyi, anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Boltim dari Partai Bintang Reformasi (PBR) yang lebih populer
sebagai Aba Um, saya menikmati percakapan penuh semangat. Tentu ditemani kopi
dan kepul-kepul asap kretek bagai cerobong kereta api berbahan bakar batubara.
Dalam soal ceplas-ceplos dan keterus-terangan, Aba Um hampir setara Eyang
(sapaan akrab Bupati Boltim ini selalu saya tuliskan dengan penuh respek).
Dengan Eyang dan Aba Um, saya bagai berada di tengah karib
yang tumbuh bersama dari masa kanak. Membahana dalam tukar cerita, tertawa
lepas, bahkan tak ada halangan mengulas topik-topik sensitif dan very-very confidential.
Di sisi lain, sikap easy
going Aba Um dibarengi pula dengan temperamennya yang mirip balon. Salah
sentuh sedikit, dia bakal meledak. Sekaligus gampang teduh. Bagi Aba Um
tampaknya tak ada yang benar-benar dimasukkan dalam hati, kecuali yang
menggores harga diri dan kehormatannya.
Sikap terbuka (dan berani) Aba Um tak pandang bulu pula.
Mencuatnya dugaan penyalahgunaan anggaran Makan Minum (MaMi) di DPR Boltim,
misalnya, dengan enteng dia tanggapi. Menurut Aba Um’, sebagaimana dikutip
Kontra Online (http://kontraonline.com/11561/alhabsyi-siap-ungkap-informasi-dugaan-korupsi-dana-ma-mi-dprd-boltim/),
dia akan kooparatif memberikan semua keterangan yang diperlukan pihak
berwenang. Kita patut menduga, pernyataan itu diam-diam mengundang geram
koleganya yang ‘’mungkin’’ bakal turut terjerat.
Politisi lain adalah Sunarto Kadengkang yang (setidaknya
sampai saat ini) duduk di DPR Boltim lewat Partai Golkar (PG). Saya tidak akrab
dengan sosok yang dikenal dengan panggilan Om To’ (dia juga mungkin sama sekali
tak tahu tentang saya) ini. Namun dalam percaturan percakapan politik
Mongondow, Om To’ kerap disebut, terutama urusan humor-humor segar dan original-nya. Tanpa terkatan, telah lama
saya menjadi fans Om To’ dalam
pengertian sebenarnya.
Karena tak cukup dekat mengenal Om To’, sulit bagi saya
menggambarkan seperti apa dia di balik permukaan. Namun dengan mengikuti
dinamikanya sebagai politikus, terutama yang dipublikasi di media, saya
menyimpulkan Om To’ dan Aba Um punya kemiripan dalam soal ceplas-ceplos. Apapun
yang mereka komentari, dengan gaya dan cara masing-masing, mengalir bebas dan
tanpa beban.
***
Sebagai pengagum Om To’, saya menjadi salah satu warga
Mongondow yang kaget ketika mengetahui dia ditangkap polisi atas dugaan
penyalahgunaan narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba). Saya bersimpati dan
berempati. Setiap orang berpotensi keliru dan bertindak salah. Dan itu tidak
menghapus kesan baik, lucu, dan manusiawi dari benak saya terhadap Om To’.
Dukungan saya hanyalah, semoga Om To’ dapat melewati proses hukum yang kini
dijalaninya dengan tabah. Badai pasti berlalu.
Ketersentakan yang sama menghantam saya ketika isu materai
palsu mencuat dan nama yang terkait adalah Aba Um. Sintesa dari lalu lintas
informasi yang saya ketahui menyebutkan, materai palsu yang jadi pokok soal
bersumber dari Aba Um. Fakta ini tak dibantah, bahkan diperjelas, antara lain
lewat Kontra Online, Jumat (22 Maret
2013), Soal Materai Palsu, Alhabsyi
Mengaku Ditipu Wanita Pramuria Jakarta (http://kontraonline.com/11773/soal-materai-palsu-alhabsyi-mengaku-ditipu-wanita-pramuria-jakarta/).
Aba Um tanpa tedeng aling-aling membeberkan riwayat hingga
materai palsu yang kini jadi dugaan tindak pidana tiba ke tangannya. Dia juga
mengungkap barang palsu ini beredar karena niatnya membantu yang memerlukan.
Misalnya kelompok nelayan yang mengurus dokumen yang membutuhkan materai.
Terang-benderanglah hal ihwal palsu itu. Dengan kata lain,
Aba Um adalah korban penipuan dan dia berhak mendapatkan perlindungan hukum.
Apalagi sebagai korban dia tidak menggunakan barang palsu yang dikuasai untuk
mendapatkan keuntungan, tetapi dimanfaatkan demi kepentingan yang bersifat
sosial dan suka rela.
Kita tentu tidak perlu mengutak-ngatik lebih jauh mengapa
pelaku penipuan terhadap Aba Um adalah ‘’wanita pramuria’’ di salah satu pub di
Jakarta. Mengulik informasi tidak perlu hanya melahirkan spekulasi dan gosip.
Bisa-bisa kemudian ada pertanyaan: Ketemunya di pub ya? Dalam rangka studi
banding, konsultasi DPR, bimbingan teknis, atau jalan-jalan pribadi?
Aba Um, harap maklum, mulut iseng di Mongondow memang suka
mencari-cari celah, menggali cerita yang dapat dipertukarkan sebagai menu
tambahan di warung kopi, arisan, atau sekadar reriungan berbual membuang-buang
waktu. Saya kira pertanyaan tidak penting seperti itu tak perlu ditanggapi.
Penipuan yang dilakukan ‘’wanita pramuria’’ sudah dilaporkan
ke pihak berwajib. Polisi telah pula mengusut. Sebagai korban, Aba Um dan para
pengguna materai palsu itu tak boleh dikriminalisasi.
***
Selesaikah masalahnya? Tidak juga. Menurut pendapat saya, kita
memang mesti mewaspadai merajalelanya segala yang palsu. Sekadar cinta palsu,
hubungan palsu, janji palsu (khususnya di musim kampanye), ijazah palsu, bahkan
polisi dan tentara palsu, sudah jadi konsumsi harian kita. Jangan ditanya lagi
barang-barang konsumsi palsu yang bahkan banyak di antara kita bangga
menggunakannya.
Memang mana tahan melihat barang-barang palsu, yang di
tangan pemalsu kelas empu tampak lebih luar biasa dan tanpa cela bahkan
dibanding aslinya. Saya tentu tak sedang bicara tentang kaos, celana, sepatu,
jam tangan, tas, atau perhiasan ber-merk
yang di-KW-kan. Melainkan yang tak dilebeli dan hanya dapat dideteksi oleh para
pakarnya.
Dengan terlebih dahulu meminta maaf, siapa sih (termasuk politisi dan anggota DPR
berpengalaman seperti Aba Um) yang mampu mendeteksi senyum sumringah dari wajah
ayu, tubuh bagai dewi Yunani, dengan kepribadian aduhai, ternyata semuanya
palsu. Senyumnya hasil latihan akting, wajah manis adalah kreasi ahli bedah
plastik di Singapura, dan tubuh moi ternyata
tak beda dengan body mobil, penuh
plastik, dempul, dan disempurnakan dengan sedot lemak.
Yang palsu tapi sukar dideteksi ini menjadi pintu masuk
membanjirnya palsu-palsu yang lain. Soalnya adalah kita tak bisa membandingkan,
seperti menyanding Nike atau Adidas original dan KW, yang cukup
dilakukan dengan membawa ‘’barang terduga palsu’’ ke gerai yang digaransi memang
hanya menjual produk asli.
Nah, sebelum saya melantur dan mengundang kecaman dari para
penggiat gender dan advokasi
perempuan, kita tutup saja tulisan ini. Lagipula, peringatan terhadap godaan
palsu ini bukan hanya pada kaum pria semata. Para wanita pun sebaiknya siaga
terhadap senyum menggoda, wajah flamboyan, dan postur macho. Boleh jadi itu juga hasil pemalsuan, pembuka pintu menuju
palsu-palsu selanjutnya. Terlebih kalau yang bersangkutan mengaku anggota DPR,
pejabat tinggi, perwira teras, atau pengusaha terkemuka.***