PERTANYAAN itu
sederhana dan tanpa basa-basi. Beberapa menit sebelum lewat tengah malam,
Minggu (17 Maret 2013), saya menerima telepon dari salah seorang tokoh di Kota
Kotamobagu (KK), yang langsung mengatakan, ‘’Ada lima pasang kandidat bakal
calon Walikota-Wakil Walikota (Wawali), yang mana yang harus didukung?’’
Pertanyaan itu sangat serius. Sang penelepon pun,
sepengetahuan saya, bukan orang yang senang tunjung
jago mengklaim punya pengikut. Kendati ada barisan panjang di belakang yang
terbukti setia, mendengarkan, dan (umumnya) mengikuti instruksinya. Andai
pemilihan walikota (Pilwako) KK di Senin, 24 Juni 2013 mendatang adalah
pemilihan legislatif (Pileg), tanpa berlebih saya berani mengatakan pengaruh
tokoh kita ini mampu mendudukkan tak kurang empat anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).
Setelah beberapa detik mencernah, saya balik bertanya,
‘’Mengapa saya yang dijadikan referensi?’’ Ini bukan pertanyaan pura-pura gila
dan pura-pura bodoh, tetapi karena kesadaran di Mongondow (untuk yang kesekian
kali) saya bukanlah siapa-siapa. Bukan tokoh masyarakat, tidak pula tokoh
politik, apalagi tokoh budaya. Saya cuma anak Mogolaing yang gemar menuliskan
sinisme, kritik, dan serapah terhadap pejabat publik lancung, yang jauh dari
ilmiah.
Jawaban datang segera, bahkan sebelum saya menarik nafas.
Tokoh yang menelepon itu bilang, ‘’Saya menghargai akal sehat Anda. Memang
kadang-kadang membuat marah, tetapi akal sehat tetaplah penting supaya torang samua nyanda mengulang kesalahan
yang sama, setiap kali memutuskan memilih pemimpin.’’
Terima kasih. Paling tidak di tengah ghirah politik Pilwako KK dengan aneka kelucuan dan
ketidak-mengertiannya, masih ada satu-dua orang yang tidak terseret arus dan
ombak dukung-mendukung irasional.
***
Sesungguhnya, hingga tulisan ini dibuat saya bersikap netral
terhadap lima kandidat bakal calon Walikota-Wawali KK 2013-2018. Ada sejumlah
alasan yang mendasari pilihan itu.
Pertama, sejauh
ini saya tidak melihat ada satu pun calon yang memenuhi syarat minimal. Rekam
jejak mereka biasa-biasa saja, sebagian bahkan di bawah standar. Patahana,
Walikota Djelantik Mokodompit (DjM) dan Wawali Tatong Bara (TB) yang
dipersepsikan sebagai dua kandidat utama, beserta para pendukung dan
penyokongnya, lebih asyik adu sentiment pro-kontra ketimbang merumuskan dan
memperlihatkan pada konstituen apa yang semestinya dilakukan untuk KK selama
lima tahun ke depan.
Kandidat lain pun berupaya merespons dengan cara yang sama.
Contoh paling sederhana, karena TB-Jainudin Damopolii (JD) didaftarkan
menunggang Jeep terbuka, lengkap
dengan konvoi, kandidat lain juga mati-matian mengerahkan massa agar tampak
punya kekuatan setanding. Politik dan demokrasi apa yang dapat dipelajari dari
praktek semacam ini?
Kedua, kualitas kepemimpinan
seseorang ditakar dari bagaimana dia merumuskan, mempersiapkan, dan
mengimplementasikan apa yang direncanakan. Dari proses memasangkan lima
kandidat yang kita terdaftar, warga KK dapat menilai bahwa semua pasangan tidak
punya cetak biru yang dapat dipercaya. DjM dan TB yang siap dengan partai
penyokong (Partai Golkar –PG—dan Partai Amanat Nasional –PAN) merendahkan diri
mengikuti fit and proper test dan
psikotes yang dilaksanakan PDI Perjuangan. Konyolnya lagi, TB bahkan tiba-tiba
memaklumatkan pasangannya sebelum PDI Perjuangan mengumumkan hasil seleksi
mereka.
Tidak lebih baik dari DjM dan TB, tiga pasang kandidat lain
diputuskan menjelang batas akhir waktu yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Mereka dipasang-pasangan bukan berdasar pertimbangan fundamental
(kesamaan ideologi atau visi), tetapi sekadar supaya bakal calon Walikota punya
bakal calon Wawali, dan sebaliknya; juga karena peluang koalisi dengan partai
politik (Parpol) mainstream sudah
tertutup. Faktor lain, ego Parpol dan elitnya yang masih mengedepankan
kepentingan kelompok dan golongannya saja; ketimbangan kemaslahatan politik dan
masyarakat KK di jangka panjang.
Ketiga, warga KK
harus didorong memahami bahwa politik adalah proses yang semestinya masuk akal,
fair, dan dua arah. Parpol, para
elitnya, pendukung dan simpatan, serta bakal calon Walikota-Wawali tidak lebih
tinggi posisinya dibanding warga yang memiliki hak pilih. Bahkan, konstituenlah
yang berada di strata lebih tinggi.
Di Pilwako, Pileg, atau kompetisi politik umum lainnya,
setiap politikus mengharap kesediaan konstituen menjatuhkan pilihan padanya,
dengan berbagai cara. Sederhananya, mereka mengharapkan ‘’sedekah politik’’
yang hasilnya adalah kekuasaan, tetapi dengan imbang balik yang paradoksal buat
warga: kemaslahatan bila politikus yang dipilih amanah dan kesengsaraan lima
tahun kalau sedekah itu jatuh ke tangan yang salah.
Warga kebanyakan bukanlah elit atau pengurus Parpol yang
memang diwajibkan terus-menerus melakukan segala upaya untuk institusi politik
tempat bernaung; dan demi kepentingan karir politiknya sendiri. Kewajiban ini
tak beda dengan tunjangan yang menuntut dipenuhi, tanpa peduli kondisi dan
situasi.
Sepengetahuan saya mayoritas warga adalah ‘’massa
mengambang’’ dengan keleluasaan memilih akan menyedekahkan suara ke Parpol,
politikus, atau kandidat pejabat publik yang dianggap paling merepresentasi
pemenuhan kebutuhan KK dan masyarakatnya. Lima pasang kandidat yang kini
bertarung memperebutkan kursi Walikota-Wawali 2013-2018 harus mampu meyakinkan
mereka layak menerima sedekah politik dari konstituen; dan tunjangan politik
dari Parpol tempat bernaung serta anggotanya.
Sayangnya, setelah proses pendaftaran berlangsung, sejauh
ini saya tidak melihat satu pasang kandidat pun yang layak menerima sedekah politik itu; apalagi
tunjangan.
***
Tabiat paling buruk dari para politikus (atau umumnya elit
kita) adalah dengan sengaja memelihara lupa. Ingatan mereka hanya tajam
menjelang Pemilu, Pilkada, atau di saat ada peristiwa perebutan kursi dan jabatan.
Tiba-tiba semua orang, terlebih yang menganggap (atau dianggap) tokoh,
disambangi, diakui sebagai kenalan baik, kawan dekat, bahkan keluarga –tak
peduli kekeluargaan itu jaraknya sudah tujuh generasi.
Ingatan itu dibarengi keramahan dan aneka janji didukung
pernyataan tertulis dan sumpah. Di event
politik orang-orang yang sehari-hari bangsat besar tiba-tiba berwajah dan
berkelakuan malaikat. Setelah itu, berhasil atau tidak kursi yang disasar
diduduki, hanya perlu sedikit tempo mayoritas politikus sudah kembali ke laku
lama.
Penggetahuan dari pengalaman panjang berurusan dengan
politikus di Mongondow cukup jadi pelajaran. Karenanya saya bersikap netral di
Pilwako KK 2013. Tidak ada kandidat yang layak dipercaya menerima sedekah
politik yang mereka harapkan; apalagi tunjangan yang sifatnya di atas
kesuka-relaan.
Toh pasangan mana
pun yang terpilih, hasilnya tetap sama: Praktek politik dan pemerintahan
seperti yang sudah kita kenal dan rasakan.***