AGAK sulit buat
saya, kendati terbiasa dengan proyeksi tiga dimensi (sisa peninggalan
pendidikan teknik sipil bertahun-tahun lampau), membayangkan ruang penyimpanan
800 kotak tissue dan 200 batang sapu. Katakan saja tissue yang dipilih merek bagus yang berisi 280 sheets (lembar), maka hanya 12 kotak
yang masuk di boks dokumen standar.
Diperlukan tak kurang dari 67 boks dokumen untuk menyimpan
800 kotak tissue itu. Boks dokumen
sebanyak ini menyita ruangan cukup besar, sekali pun setiap tumpukan disusun 8
boks vertikal. Tambahkan pula 200 batang sapu, pasti harus disediakan gudang
penyimpan khusus.
Hitung-hitungan iseng itu kita lanjutkan dengan berapa
lembar tissue yang ada di 800 kotak?
Tak kurang dari 224.000 lembar. Tissue sebanyak ini, dibagikan ke 20 orang,
setiap kepala berhak terhadap 11.200 lembar atau sejumlah 40 kotak. Kalau para penerima mesti menghabiskan jatah tissue-nya
dalam setahun (365 hari tanpa jeda libur), maka per hari minimal dia harus
menggunakan 31 lembar tissue.
Tissue selesai,
sekarang 200 batang sapu. Terus-terang, saya kesulitan melakukan
perhitungan di bagian ini. Baik di rumah di Jakarta maupun di Manado, dua
batang sapu untuk lantai rumah dan dua batang sapu lidi untuk halaman, sudah
hampir dua tahun bentuknya masih tak jauh beda dengan pertama kali dibeli.
Mungkin karena sapu di rumah saya benar-benar digunakan untuk
menyingkirkan debu dan remah-remah di lantai; sama halnya dengan sapu lidi yang
digunakan ‘’membereskan’’ dedaunan dan sampah sejenis di halaman. Kami serumah
tidak memiliki keahlian ‘’makan sapu’’ atau menyulap sapu menjadi barang lain
tetapi tetap bernama sapu.
Pembaca, Anda akan bertanya-tanya kegilaan apa yang mampir
di kepala hingga di Minggu (3 Maret 2013) yang sebenarnya cukup cerah ini, saya
merepot-repotkan diri menghitung tissue
dan sapu? Justru karena merasa masih waras, saya tak habis pikir mengetahui
Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Dewan Perwakilan Rakyat Bolaang Mongondow
Timur (DPR Boltim) 2012 ternyata mencantumkan pembelian 800 kotak tissue dan 200 batang sapu.
Tugas anggota DPR Boltim tampaknya amat sangat berat. Mereka
harus memeras keringat (terlebih listrik yang dipasok Perusahaan Listrik Negara
–PLN—datang dan pergi mirip kunang-kunang), sering-sering membuang ingus, serta
tidak tertutup kemungkinan melelehkan airmata, untuk itu tissue mesti melimpah. Demikian pula dengan sapu. DPR sebagai
lembaga yang mengawasi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) tidak boleh kotor, pun
siap membantu birokrasi membersihkan diri.
Maka tepat adanya 20 anggota DPR Boltim masing-masing
dipersenjatai 10 batang sapu. Bila perlu lima batang sapu lantai, lima sisanya
sapu lidi. Lantai beton, ubin, atau marmer Itali dicemari kotor, bisa disapu
sebersih-bersihnya. Sampah berserak di pelataran, jalan, bahkan got, ada sapu
lidi yang membereskan.
Sebagai modal kerja, andai anggaran tissue dan sapu itu
disediakan lima tahun sesuai masa jabatan anggota DPR Boltim, setiap orang
berhak atas 200 kotak tissue dan 50
batang sapu. Dengan berhemat-hemat sedikit, di akhir masa jabatan boleh jadi para
mantan anggota DPR Boltim bisa berkongsi membuka toko khusus tissue dan sapu.
***
Situs berita Kontra Online, Kamis (28 Februari 2013),
mengunggah SM Jadi Tersangka Kasus Ma-Mi
Boltim (http://kontraonline.com/11493/sm-jadi-tersangka-kasus-ma-mi-boltim/).
Dalam berita disebutkan bahwa setelah kurang lebih dua tahun lamanya dugaan
penyelewengan anggaran makan-minum (Ma-Mi) di DPR Boltim di telisik, akhirnya
Polres Bolmong mencatat kemajuan dengan menetapkan seorang tersangka.
Inisialnya SM.
Dugaan tindak pidana yang diancam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 9,
Pasal 11 huruf a, b dan UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi ini, menurut Kontra Online, telah pula memeriksa 12 saksi,
masing-masing DD, SU, SM, JG, MB, GM, DM, NM, FP, RI, SG, dan OM. Akan halnya
kerugian negara yang diakibatkan oleh kelancungan Ma-Mi ini, ditaksir tak
kurang Rp 600 juta.
Dari sejumlah informasi, tersangka yang sudah ditetapkan
Polres Bolmong adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di Sekretariat
Dewan (Setwan) DPR Boltim. Saksi-saksi yang diperiksa idem ditto, semuanya PNS.
Mengikuti logika anggaran, polisi tidak salah. Kuasa
Pengguna Anggaran di DPR Bolmong adalah Sekretaris Dewan (Sekwan) –--seorang
PNS-- yang dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dibantu jajaran staf
yang semuanya juga PNS. Namun, bagi yang memahami sistem administrasi
pemerintahan, khususnya berkaitan dengan Setwan, tahu persis bahwa penggunaan
anggaran DPR harus atas persetujuan Pimpinan DPR.
Hanya Sekwan sinting yang mengeluarkan dan memanfaatkan
anggaran sesuka budel neneknya
sendiri, tanpa persetujuan dari jajaran Pimpinan DPR. Juga, hanya Pimpinan DPR
tolol yang membiarkan wewenangnya dilanggar di depan mata, tanpa melakukan apa
pun. Sepengetahuan saya, diusutnya dugaan penyalah-gunaan anggaran Ma-Mi di DPR
Boltim bukanlah atas aduan Pimpinan DPR.
Saya mendukung Polres Bolmong mengungkap tuntas dugaan
penyelewengan anggaran Ma-Mi di DPR Boltim; sekaligus juga meragukan polisi
benar-benar melaksanakan tugasnya tanpa pandang bulu. Dalam catatan saya,
setidaknya lima tahun terakhir, polisi di Mongondow lebih mahir bersilat alasan
dibanding mengungkap kasus.
Beberapa kasus menonjol, misalnya penerimaan calon pegawai
negeri sipil (CPNS) Kota Kotamobagu (KK) 2009, yang sudah menjerat beberapa
elit Pemerintah Kota (Pemkot), masih menggantung karena polisi pura-pura bego
menindak-lanjuti perintah Pengadilan Negeri untuk memeriksa Walikota KK. Selama
persidangan, para terdakwa skandal CPNS memang berulang-kali menyebutkan nama
Walikota KK, Djelantik Mokodompit. Atau barangkali tak ada satu pun polisi di
Mongondow yang berlangganan dan membaca koran.
Kasus lain, Tunjangan Penghasilan Aparat Pemerintahan Desa
(TPAPD) yang sudah menjerat beberapa birokrat papan atas Kabupaten Bolaang
Mongondow (Bolmong) Induk, kini sunyi senyap setelah Polres Bolmong mengumumkan
sejumlah tokoh (mantan Bupati Bolmong, mantan Sekretaris Daerah (Sekda), dan
Sekda saat ini) diduga terlibat. Harus berapa lama orang banyak menunggu
tindakan selanjutnya dari polisi?
Sama halnya dengan dugaan ijazah palsu Bupati Bolmong,
Salihi Mokodongan, yang timbul-tenggelam sejak 2010 lalu. Apa maunya polisi
dengan mengulur-ngulur kepastian status Bupati Bolmong, apakah bersih atau
memang memalsukan ijazahnya? Untuk jadi ‘’celengan babi’’ seperti gossip yang beredar setiap kali ada
kabar polisi melakukan pemeriksaan terhadap saksi dugaan ijazah palsu Salihi
Mokodongan?
Jadi, kita tunggu saja kemana skandal Ma-Mi DPR Boltim
mengarah. Hanya jajaran PNS yang salah satu di antaranya kini sudah ditetapkan
sebagai tersangka? Ataukah menjerat tokoh-tokoh lain (yang sebenarnya berperan
utama) tapi pontensial lolos karena polisi di Mongondow jerih tersebab mereka juga terlanjur turut
menikmati bagian dari hasil ‘’jarahan’’ itu?***