PEMILIHAN
Walikota (Pilwako) Kota Kotamobagu 2013 benar-benar jadi pesta rakyat. Tiga
hari terakhir, Kamis-Sabtu (14-16 Maret 2013), tahap pendaftaran bakal calon Walikota-Wakil
Walikota (Wawali) sudah diiringi keriuhan dan keriaan yang melibatkan ribuan
orang. Jalanan macet disesaki manusia dan aneka jenis kendaraan yang meraungkan
bising; juga diterabasnya aturan-aturan lalu lintas sesukanya.
Demokrasi sebagai salah satu produk luhur peradaban manusia
memang menyenangkan, sekaligus membingungkan. Di Pilwako KK, demokrasi yang
seharusnya dimaknai dan diterapkan sebagai salah satu pendekatan ideal bertata
negara dan bertata laksana, dijungkir-balikkan, terutama oleh aktor-aktornya utamanya
sendiri.
Tatkala kandidat usungan Partai Amanat Nasional (PAN),
Tatong Bara (TB)-Jainudin Damopoli (JD), didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum
(KPU), saya berdecak melihat foto-foto massa yang mengiringi keduanya. Sekali
lagi pasangan ini unjuk kekuatan, bahwa mereka adalah pemain utama yang masuk
gelanggang dengan keyakinan keluar sebagai pemenang.
Saya memang mendesiskan kekaguman. Baik pada prosesi yang
digelar; hadirnya banyak pegawai negeri sipil (PNS) Kabupaten Bolaang Mongondow
(Bolmong) Induk (yang memang masih tercatat sebagai warga KK), lengkap dengan uniform ‘’Kota Untuk Semua’’; maupun pengabaian
Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Raya. Yang paling nampak dari pelanggaran yang terakhir ini adalah para
pesepeda motor yang turut berkonvoi tak menggunakan helm.
Pesaing TB-JD yang diusung koalisi Partai Golkar (PD) dan
PDI Perjuangan, Djelantik Mokodompit (DjM)-Rustam Simbala (RS), tak mau kalah.
Jumat (15 Maret 2013), mereka juga mendaftar diiringi ‘’gelar pasukan’’
besar-besaran. Lengkap dengan PNS (kali ini mayoritas dari KK), termasuk pula
kendaraan dinasnya; dan tak ketinggalan melepeh UU Nomor 22/2009.
Salah satu gambar yang saya sukai adalah pengendara sepeda
motor berpelat dinas, dengan pakaian bertulis Golkar Family, yang turut di
konvoi DjM-RS. Di beberapa forum sosial, foto ini dipertukarkan dengan dilekati
slogan pasangan ini bersama aneka imbuhan: ‘’Djelas pelanggaran’’ atau ‘’Djelas
tidak tahu diri’’.
Media-media arus utama mungkin tak banyak menulis peristiwa
dan perilaku di balik dinamika Pilwako KK, entah karena itu dianggap kurang
penting atau justru karena mereka tahu para pelaku utama gegar politik ini
sudah buta-tuli. Tapi di media sosial isu-isu pelanggaran seperti itu menjadi
topik sangat seksi. Sama dengan banjirnya komentar (kebanyakan adalah kekaguman
dan apresiasi) terhadap poster ‘’Brenti Jo Badusta’’ (dengan tambahan ‘’Basis
hp’’) yang tiba-tiba berdiri di salah satu sudut Kelurahan Pobundayan, di hari
DJM-RS didaftarkan.
Di tengah kegilaan Pilwako, masih banyak akal sehat yang
diam namun menyuarakan konsern-nya dengan cara sendiri.
Selain TB-JD dan DjM-RS, kandidat lain yang juga berupaya
menunjukkan kekuatan pendukungnya adalah Muhamad Salim Lanjar (MSL)-Ishak R
Sugeha (IRS) yang diusung koalisi Partai Demokrat (PD), Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan
(PPP), dan Partai Barisan Nasional (Barnas). Kendati tak sedasyat konvoi
kandidat dua kandidat sebelumnya, pendukung MSL-IRS tetap signifikan. Terlebih
di antara pesepeda motor yang mengiringi pedaftaran keduanya terdapat Bupati
Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang menunggang Harley Davidson
(HD) –ini yang terpenting— tanpa helm pengaman.
Hingga Sabtu malam (16 Maret 2013), dari lima pasang bakal
calon Walikota-Wawali Pilwako 2013, hanya Nurdin Makalalag (NM)-Sahat Robert
Siagian (SRS) yang merupakan hasil kolaborasi Partai Bulan Bintang (PBB),
Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), dan Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN);
serta kandidat dari parti politik (Parpol) non
seat, Toan Tongkasi (TT)-Lucky Mangkey (LM), yang didaftarkan tanpa gelegar
berlebihan.
***
Di kerumunan ribuan orang yang ‘’terujung’’ gairah politik,
kita gagap berpaling menegok aturan dan para penjaganya. Menyaksikan gerombolan
PNS di konvoi para kandidat, saya bertanya-tanya: Kemanakah Penitia Pengawas
Pemilu (Panwaslu KK)? Apa karena mereka sibuk dengan studi banding dan bimbingan
teknis (demikian yang saya baca selintas di satu situs berita) hingga
pelanggaran-pelanggaran telanjang yang dilakukan hampir semua kandidat hanya berlalu
bagai asap ditiup angin?
Kemanakah pula polisi lalu lintas yang biasanya garang
terhadap pelanggar aturan di jalan raya? Jerikah mereka melihat ribuan orang
terang-terangan mengentuti UU dan turunannya yang selama ini susah-payah
ditegakkan, tak peduli dipanggang terik matahari atau dikuyupi hujan?
Apakah Panwaslu dan aparat kepolisian (juga institusi
berwenang lainnya) cuma ‘’paka-paka nyamuk’’? UU dan turunan tak beda dengan
resep kue yang biasanya dicantumkan di kaleng margarine?
Saya tak habis pikir, para kandidat yang berbusa-busa
meneriakkan ide menjadikan KK lebih baik lewat visi dan misi berbunga-bunga, di
momen penting justru terang-terangan mempraktekkan (atau membiarkan) tindakan yang
berkebalikan. Apa boleh buat, dengan hati yang tawar oleh kecewa, saya
menyimpulkan demokrasi yang kini dipraktekkan di KK masih sekadar ‘’demokrasi
konvoi’’. Persetan dengan visi dan misi; prek
dengan hari-hari ke depan yang lebih baik. Sebab yang penting bukanlah kemaslahatan
besok; melainkan aksi apa yang dapat diekspresikan hari ini. Mumpung kita semua
sedang berada di tengah pesta.
Namun, di antara semua pelanggar dan pelanggaran yang
meruyak tiga hari terakhir terkait pendaftaran kandidat Pilwako KK, yang harus
sangat disorot adalah aksi ber-HD Bupati Boltim. Eyang –sapaan akrabnya—yang
turut mengantar pendaftaran MSL-IRS dengan menunggang sepeda motor tanpa
mengenakan helm, menurut saya adalah pejabat publik yang ceroboh dan
mentang-mentang. Dengan rasa sayang dan hormat, (sekali lagi) saya ingin
mengingatkan dia.
Kebiasaan Eyang bersepeda-motor tanpa helm sudah menjadi pengetahuan
dan pemahfuman umum, utamanya ketika dia berkeliling di wilayah kekuasaannya.
Polisi di Boltim tentu tak berani mencegat Bupati dan menyodorkan surat tilang.
Tapi ini ketidak-adilan yang menjengkelkan karena polisi pasti tidak segan
menyemprit orang biasa yang berlaku sama, yang dipergoki atau tepergok di lain
kesempatan.
Eyang sendiri, sebagai pejabat publik yang menjadi panutan,
semestinya juga menyadari perilaku itu tak hanya memberikan contoh buruk,
tetapi juga menginjak-nginjak aturan formal yang seharusnya turut dia tegakkan
dengan konsisten. Saya yakin bila Eyang mengenakan helm (tidak perlu yang
menutup seluruh kepala dan wajah), kegantengan dan pesonanya tidak akan luntur.
Lagipula apa hebatnya bersepeda motor tanpa helm? Geng
sepeda motor sekelas Hells Angels pun sekarang menggunakan helm. Mereka telah
lama menanggalkan kelakuan yang hanya menunjukkan ketololan di jalan raya.
Bukan semata karena mematuhi aturan, tetapi bahkan anggota Hells Angels yang
berbadan bak banteng pun menyadari, aspal jalanan lebih keras dibanding batok
kepala manusia.
Masak Eyang, Bupati yang kini jadi kebanggaan di seantero
Bolmong Raya, lebih rendah adabnya dibanding anggota Hells Angels?***