AYU BASALAMAH telah
dilepas dari kerangkeng sel Polsek Urban Kotabunan. Senin pagi (25 Maret 2013)
saya menerima kabar itu disertai foto terbaru Ayu. Dia tak kurang apapun. Malah
ada yang bertambah, yakni benjolan besar berwarna biru-ungu yang menutup mata
kanannya.
Memandangi foto Ayu, ingatan saya melayang pada ajaran
orang-orang tua Mongondow yang hingga kini masih dihormati masyarakat sebagai
takaran keterdidikan, keberadaban, dan keberadatan kita. Tamu, kata para
leluhur cerdik bijaksana, bukan hanya dihormati dengan bahasa sesantun-santun
yang kita mampu, melainkan juga dijamu, diperlakukan sebagai raja, dan dijamin
ketenangan lahir-bathinnya.
Di hari Novia Bachmid tersingkir dari Pentas Idola Cilik,
Ayu dijemput oleh beberapa orang dan dibawa ke kediaman Bupati Bolaang
Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar. Kita tahu bersama, musababnya adalah BlackBerry Messenger (BBM) Ayu yang
‘’dianggap’’ menista Bupati yang akrab disapa Eyang ini.
Pertemuan antara Eyang dan Ayu bukanlah persamuhan seimbang.
Di foto yang saya terima tampak Eyang duduk sebagai tuan rumah yang percaya
diri, sedang Ayu bak pesakitan dengan dua tangan dikepit di antara paha. Gambar
ini memberi tahu kita mana pihak dominan dan siapa yang tersungkur bagai petinju
KO di detik pertama, ronde pertama.
Semestinya dugaan penistaan Ayu terhadap Eyang selesai
sampai disitu. Sebab menjemput Ayu ke kediaman Eyang pun sudah sebuah
pelanggaran serius. Tugas polisi mengusut setiap dugaan tindak pidana; bukan
Sehan Lanjar (sebagai Bupati dan pribadi), ajudan, apalagi hanya orang dekat.
Namun kita maknai saja pertemuan Eyang-Ayu itu sebagai ikhtiar menyelesaikan
masalah dengan cara kekeluarga. Sesuatu yang khas Timur dan efektif
menjembatani silang-selisih tanpa menciptakan pemenang dan pecundang.
Usai pertemuan, Ayu yang kemudian digiring keluar, belum
lagi 100 langkah lalui, bogem berdatangan menghantam dia. Saya yang tidak
pernah siap mendifinisikan sosok Ayu, kecuali dengan sopan menuliskan dia
lelaki yang cukup feminis, diperlakukan bagai samsak. Apa dayanya? Yang dia hadapi bukan pertandingan menata
rambut, memasak cake, atau kompetisi
cubit-cubitan. Ayu tumbang dan ‘’diamankan’’ ke sel Polsek Urban Kotabunan.
Polisi wajib mengusut penistaan oleh Ayu, kalau Eyang sebagai
yang terduga menjadi subyek BBM berkeberatan. Namun, polisi juga mutlak
menelisik dan menangkap pelaku penganiayaan terhadap Ayu, ada atau tidak
laporan dari korban, karena kejadian ini berlangsung di hadapan mereka. Polisi
tidak perlu pura-pura gila dengan alasan menunggu laporan dari Ayu; karena ini
sama artinya dengan ada dua orang bandit saling bunuh di depan kantor polisi, sedang
gerombolan aparat berwenang ini cuma menonton sembari menunggu ada laporan
masyarakat yang terganggu, atau setelah salah satu tewas digorok dan yang lain
sukarela menyerahkan diri ke tangan hukum.
Akan halnya Eyang, saya ingin mengisahkan bagaimana di satu
hari awal Januari 2013 lalu kami menghabiskan setengah hari di Kopi Jarod
Kotamobagu, bertukar cerita dan bual-bual. Saat itu Eyang menuturkan betapa dia
menghargai dan menjunjung adat Mongondow. Penghormatan terhadap adat itu pula
yang membuat dia bertekad menggelar pernikahan anak pertamanya, Fuad Lanjar,
akhir Maret 2013 ini, dengan prosesi adat selengkap-lengkapnya.
Setiap tekad yang membawa kemaslahatan terhadap Mongondow
saya dukung sepenuh hati; sebagaimana rencana Eyang mengadat-lengkapkan
pernikahan putranya. Tetapi apakah adat Mongondow hanya soal nikah, khitanan,
pemakaman, pembagian warisan, dan hal-hal formal populis lainnya? Bukankah
keseharian yang sepele tetapi substansial dipayungi dan dilingkupi pula oleh
tradisi, adat, dan budaya?
Dalam soal adat dan budaya Mongondow, penganiayaan terhadap
Ayu Basalamah seusai dia dibawa bertemu Eyang adalah pelanggaran adat tak
termaafkan. Orang-orang yang melakukan pemukulan bukan hanya telah mencemarkan
nama baik Sehan Lanjar sebagai Bupati dan pribadi beserta keluarganya, secara
tersirat tidak mengakui kepemimpinan Eyang, tetapi sesungguhnya juga mencemari keberadaban
masyarakat Boltim umumnya.
Saya yakin seyakin-yakinnya, masyarakat Boltim yang tak
makan bangku sekolah formal pun tahu, seorang tamu yang datang dengan sopan dan
terjaga perilakunya lalu dianiaya usai bertandang ke rumahnya atau terlebih di
halamannya sendiri, harus dibela bahkan dengan nyawa sekali pun. Pembelaan yang
dilakukan bukan lagi sekadar kewajiban menghindarkan terjadinya
kesewenang-wenangnya atau tindak-pidana, tetapi sudah menjadi perkara harga
diri dan kehormatan.
Kehadiran Ayu, suka atau tidak, dengan sukarela atau
paksaan, menempatkan dia sebagai tamu di kediaman Eyang. Ketidak-mampuan Eyang
menjamin ketenangan dan keselamatan Ayu adalah bukti dia tuan rumah yang buruk.
Maafkan saya, Eyang. Besok lusa, bahkan saya dengan nyali yang lumayan besar,
akan berpikir dua kali bertandang ke kediaman Bupati (baik dinas maupun
pribadi), terlebih karena saya masuk golongan yang suka mengkritik Anda. Saya
kuatir kritik yang terlampau keras dimaknai sebagai penistaan oleh orang-orang
di sekeliling, lalu akhirnya ada pembogeman atau sejenisnya yang saya terima.
Beda dengan Ayu yang hanya mampu menangisi nasib buruk yang
mendadak menimpa kepalanya, saya takut karena kalau ada perlakuan fisik
sewenang-wenang, saya tak akan diam. Mungkin malah bakal ada nyawa yang
melayang. Setidak-tidaknya Eyang punya pengikut dan penurut fanatik, sama
halnya dengan orang lain, termasuk saya.
Adat yang Anda hormati dan junjung tinggi itu, Saudaraku
Eyang, diinjak-injak dan dikencingi di depan mata. Apa yang akan Anda lakukan
demi membersihkan aib itu? Nista yang bukan hanya sahih dari aspek budaya
Mongondow; tetapi juga tuntunan agama yang kita berdua anut dan tegakkan
semampu yang kita dapat lakukan. Kalau melarang kemungkaran halaman rumah
sendiri dengan mulut dan tangan saja Anda tidak mampu, padahal Bupati adalah
pemimpin politik, pemerintahan, sosial, dan budaya tertinggi di Kabupaten
Boltim, mestikah kami yang warga biasa melapor langsung pada Tuhan Yang Masa
Esa?
Pelajaran adat lain yang saya terima sejak masa kanak
menyatakan, di Mongondow seorang pemimpin bukan hanya jernih dan bijaksana
dalam pikiran, fasih dan terampil mengolah lidah, perkasa dan kuat secara
fisik, tetapi juga adil lahir-bathin. Ayu, tamu yang dianiaya usai menyambangi
kediaman Anda, kini butuh wujud keadilan seperti apa yang dipraktekkan pemimpinnya.
Jajaran kepolisian di Mongondow mungkin segan mengusut
perkara ini, lalu akhirnya derita Ayu hanya menjadi salah satu ‘’dark number’’
di antara kebiadaban kriminal yang terlupakan di tumpukan kasus berdebu file-file Polsek Urban Kotabunan. Tapi
apakah dengan demikian Eyang masih dapat tidur nyenyak atau bangga mengaku
dirinya sebagai pemimpin yang bersikap adil; juga warga negara dan warga adat
Mongondow yang menghormati dan menjunjungi tinggi semua aturan dan norma,
tertulis atau tidak?
Eyang boleh memilih hukum formal atau hukum adat untuk
menyelesaikan penistaan terhadap dia dan keluarga, akibat laku lancung
gerombolan biadab yang menganiaya Ayu. Namun menurut hemat saya, hukum
formallah yang lebih tepat, dengan menyerahkan dan meminta polisi melakukan
tugas mereka sesegera mungkin.
Menerapkan hukum adat terhadap pelaku penganiayaan, terlebih
agar nama baik Eyang sebagai Bupati dan pribadi, seluruh keluarganya, juga
masyarakat Boltim umumnya, bersih dari aib sebagai tuan rumah yang gagal,
berkonsekwensi terlampau berat. Kecuali bila Eyang bersedia menerima siapa pun
yang jadi pelaku diusir keluar dari Boltim. Adat Mongondow sungguh luhur,
tetapi juga kejam dan dingin.***