HARI Ulang Tahun
(HUT) Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) ke-59, Sabtu (23 Maret 2013), jatuh
bersamaan dengan libur akhir pekan hingga baru diperingati Senin (25 Maret
2013). Galibnya HUT, serangkaian acara pun dihelat yang puncaknya adalah upacara
peringatan dipimpin Bupati Salihi Mokodongan serta Sidang Paripurna Istimewa
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bolmong.
Kemeriahan HUT yang dipusatkan di Ibukota Bolmong, Lolak, itu
dilengkapi kehadiran sejumlah tokoh dan orang penting, antaranya anggota Komisi
IX DPR RI asal Mongondow, Aditya Moha. Sejatinya politikus muda yang akrab
disapa Didi ini tidak sekadar diundang, tetapi dia mewakili DPR RI dan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) menyerahkan bantuan Mobil
Reaksi Cepat Penanggulangan Kecelakaan Kerja.
Bolmong adalah satu-satunya daerah di Sulut yang menerima
bantuan fasilitas bergerak untuk para pekerja ini. Tidak salah kalau mobil dan
peralatan pendukungnya itu diserahkan secara resmi bersamaan dengan upacara
peringatan HUT Kabupaten.
Namun, mendadak serah terima yang direncanakan itu
menghilang dari susunan acara yang sebelumnya sudah diinformasikan, termasuk ke
Didi Moha yang juga telah hadir di tempat upacara berlangsung. Kabar yang saya
terima menyebutkan, akhirnya penyerahan bantuan tetap dilaksanakan di akhir
acara, tetapi setelah Ketua DPR Bolmong, Abdul Kadir Mangkat, meradang karena
menganggap jajaran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) melecehkan Didi dan mandat
yang dibawanya.
Tak hanya Ketua DPR yang tak dapat menerima penghinaan yang
sengaja dilakukan jajaran Pemkab itu. Sejumlah anggota DPR, terutama dari
Fraksi Partai Golkar (PG), bereaksi tak kalah kerasnya. Mereka kemudian memilih
balik kanan, meninggalkan Sidang paripurna Istimewa yang semestinya berlangsung
setelah upacara peringatan selesai.
Tanpa Ketua DPR dan sejumlah anggotanya, sidang batal
dilaksanakan. Dan untuk pertama kalinya, sejak mengenal institusi DPR, saya
menyatakan mendukung langkah mereka. Bahkan jangan berhenti hanya menunda
Sidang Parupurna Istimewa HUT Bolmong, tetapi juga memanggil Bupati
mempertanggungjawabkan pelecehan terhadap Didi Moha (dalam kedudukannya sebagai
pengemban mandat Komisi IX DPR RI dan Depnakertrans), bila perlu membentuk
Panitia Khusus (Pansus) yang target akhirnya memakzulkan Salihi Mokodongan.
***
Masyarakat Mongondow umumnya cepat bereaksi terhadap
peristiwa yang dianggap tak biasa. Memang, gosip dan bisik-bisik segera menyebar, mengabarkan bahwa Didi Moha dengan
sengaja dilecehkan karena ada persoalan pribadi yang belum selesai antara dia
dengan salah seorang pejabat teras di jajaran Pemkab Bolmong, yang kebetulan
pula menjadi lingkaran dekat Bupati. Kata kabar yang saya terima, kisikan maut
sang pejabat ini juga didukung dua birokrat lain yang dikenal sebagai orang
dekat Bupati.
Oh, rupanya dagelan tak sedap yang ditonton pula oleh
undangan dan tamu dari luar Mongondow itu adalah pelampiasan dendam pribadi?
Sebagai warga Mongondow saya tidak ambil pusing siapa yang benar dan salah di
antara keduanya; tetapi ulah mensabotase penyerahan bantuan dari Depnakertrans
yang akhirnya melecehkan Didi Moha dan mandat yang dia emban, pantas diganjar
dengan pencopotan si pejabat dari jabatannya.
Seingat saya, di bawah pemerintahan rezim sebelumnya, ketika
Bupati Marlina Moha-Siahaan (yang juga Ibunda Didi Moha) berkuasa, belum pernah
terjadi pelampiasan kemarahan dan dendam pribadi di tengah berlangsungnya event resmi pemerintah. Mantan Bupati
Marlina bukan tak pernah berselisih paham, bertabrakan, konflik dengan lawan
politik, bersetru dengan sesama pejabat di dalam dan di luar Sulut, atau dengan
‘’perang’’ dengan birokrat di jajarannya. Namun semuanya, sepengetahuan saya,
di lakukan diam-diam dan di luar arean publik.
Benarkah sabotase terhadap Didi Moha dan penyerahan bantuan
fasilitas bergerak untuk para pekerja itu semata didasari sentimen dan persoalan
pribadi? Kalau bukan, lalu apa? Belum selesainya rivalitas antara Didi Moha dan
Salihi Mokodongan karena kompetisi mereka di Pemilihan Bupati (Pilbub) Bolmong
2011 lalu? Atau justru ulah itu ditujukan terhadap mantan Bupati Marlina
Moha-Siahaan, yang alasannya juga patut diduga kurang lebih sentimen dan balas
dendam? Sebab meniadakan salah satu acara dari rangkaian peringatan HUT Bolmong
ke-59 bukanlah khilaf, apalagi terkait dengan pemberian bantuan fasilitas yang
wujudnya tepat terpantek di depan para hadirin.
Hanya Bupati Salihi Mokodongan dan para konspirator di
sekitarnya yang punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.
Dan kilahan apapun yang bersiliweran dari jajaran Pemkab
Bolmong, tak dapat menghadang fakta bahwa pemerintahan di kabupaten ini dalam
dua terakhir terakhir dijalankan bagai kapal dengan penggendali kapten yang
sedang mabuk. Pada seorang kawan yang iseng bertanya, saya mengatakan Bupati memerintah
bagai ‘’lupa daratan’’. Mungkin karena dia memang hanya terbiasa main di laut.
Dan lupa daratan itu juga penyakit yang sangat menular, terutama ke para elit
dan pejabat di sekitarnya.
Wabah itu mengerikan. Bupati yang dengan segala hormat saya
sebut naif (tersebab saya bosan selalu menuliskan dia tak tahu apa-apa dan tak
mau diberitahu), dengan sengaja membiarkan jajaran di bawahnya berulah hingga
taraf menghina dan melecehkan dia; lalu berkembang ke penghinaan dan pelecehan
terhadap tokoh dan lembaga lain yang bahkan berada di derajat yang lebih
tinggi. Pemerintah dan pemerintahan macam apa ini?
***
Lalu apa gunanya saya menuliskan kepedulian, karena pasti
tak bakal diindahkan juga? Bupati Bolmong dan jajarannya tak perlu merasa
sedang dikritisi dan dikritik. Catatan ini adalah rekaman dan renungan untuk
generasi kini dan nanti di Mongondow, bahwa rezim yang dipimpin orang pintar,
seberapa busuk pun, selalu lebih baik daripada pemerintahan yang dikuasai
orang-orang dengan pikiran dan logika hanya setara biji kacang.
Sialnya lagi, sudah di bawah standar, mereka juga
terus-menerus dibuai mabuk.***