KABAR duka itu
menyebar cepat pada Jumat, 17 Februari 2012, Wakil Bupati (Wabup) Bolaang
Mongondow Selatan (Bolsel), Samir Badu, meninggal dunia di usia 49 tahun di RS
Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat. Pemerintah dan warga Bolsel kehilangan
seorang pemimpin, pendidik, sekaligus politikus yang dikenal ‘’hemat dalam
kata-kata’’.
Almarhum Samir Badu adalah sosok bersahaja yang tak banyak
bicara. Setidaknya itu kesan yang saya tangkap ketika dia disandingkan dengan
Herson Mayulu di pemilihan Bupati-Wakil Bupati (Pilbup) Bolsel 2010 lalu.
Herson Mayulu yang malang-melintang di birokrasi kemudian beralih menjadi
politikus, memang lebih ekspresif dalam tutur. Mereka adalah pasangan yang
ideal, satu dan yang lain saling melengkapi.
Ketika terpilih dan dilantik sebagai Bupati-Wabup, hingga
berpulang ke Rahmatullah, Almarhum Samir Badu memainkan perannya dengan baik.
Saya tidak pernah mendengar ada pergesekan antara dia dan Bupati, sebagaimana
yang umum terjadi di Mongondow. Sudah menjadi pengetahuan umum, kemesraan
pasangan Bupati-Wabup atau Walikota-Wakil Walikota (Wawali) di Bolaang
Mongondow Raya (BMR) sepertinya selalu berumur pendek.
Hanya tiga-empat bulan setelah dilantik, mereka mulai saling
mengadu otot dan tarik-menarik pengaruh. Walikota Kota Kotamobagu (KK)
Djelantik Mokodompit-Wawali Tatong Bara berseteru nyaris ketika janur
pelantikan belum lagi kering. Perbedaan pendapat Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim)
Sehan Lanjar-Wabup Medi Lensun bahkan sempat diwarnai ancaman mundur dari
Wabup. Hubungan Bupati Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk Salihi Mokodongan-Yani
Tuuk yang kerap meriang. Tak harmonisnya Bupati Bolaang Mongondow Utara
(Bolmut) Hamdan Daatunsolan-Wabup Depri Pontoh yang belakangan terbukti dengan
cerainya mereka di Pilbup 2013 ini.
Bupati Herson Mayulu-Wabup (Almarhum) Samir Badu tak terjebak
pada silang-selisih yang sedemikian gentingnya hingga menjadi konsumsi publik.
Saya yakin ada banyak perbedaan pendapat di antara mereka, tetapi dengan
menejemen hubungan yang baik, tak ada satu pun di antara ketidak-kesepakatan
dan ketidak-sepahaman itu yang mencuat ke permukaan.
***
Berpulangnya Almarhum Samir Badu adalah kehilangan besar
bagi Bupati Herson Mayulu. Apalagi hingga lebih setahun sejak hari duka itu,
kursi Wabup Bolsel masih tetap dikosongkan.
Namun, apa pun alasannya, lebih dari sekadar tuntutan
undang-undang (UU) dan turunannya, mesti ada Wabup yang mendampingi Bupati. Tak
ada keraguan Herson Mayulu mampu memimpin Bolsel seorang diri, apalagi dia
didukung aparat yang terus-menerus ‘’dicambuk’’ agar mencapai kinerja maksimal,
termasuk dengan mempromosi orang muda seperti Tahlis Galang sebagai Pelaksana
Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda). Tapi memiliki seorang wakil tetap penting, agar tak seluruh beban pemerintahan
dan birokrasi (juga politik) terpusat di pundak Bupati.
Herson Mayulu bukan Batman, apalagi Superman. Dia tak
mungkin mengerjakan seluruh kompleksitas kepentingan (kebutuhan dan keinginan)
masyarakat Boltim seorang diri. Yang paling sederhana, misalnya, betapa sulit
dia bertindak sebagai pembuat kebijakan, pengambil keputusan, dan di saat yang
sama juga bertugas melakukan pegawasan. Kalau tak salah, yang terakhir
(pengawasan) dalam prakteknya galib diserahkan sebagai wewenang Wabup.
Pekan-pekan terakhir saya mendengar proses pemilihan Wabup
Bolsel sudah bergulir lagi. Kabarnya DPR
telah membahas tata tertib (Tatib) pemilihan; dan segera melanjutkan ke
tahap berikut. Siapa saja kandidat yang akan diusung, menjadi wewenang Bupati
(yang dipilih lewat Pilbup) untuk mengajukan calon, sedang DPR memilih (bila
calonnya lebih dari satu), menetapkan, dan mengawal prosesnya hingga pelantikan
dilakukan.
Semoga yang terbaik bagi Bolsel, pemerintah, dan
masyarakatnya yang akan terpilih.
***
Kita tak bisa menafikan bahwa posisi Wabup sangat strategis
bukan hanya dari aspek pemerintahan dan politik formal Bolsel; tetapi juga
secara pribadi untuk Bupati, khususnya dikontekskan dengan kepentingan jangka
panjang. Saat ini Bupati Herson Mayulu baru menjabat di periode pertama.
Melihat kepemimpinannya (lepas dari kelebihan dan kekurangan yang dicapai),
peluang menjabat kedua kali; atau menjadikan record pemerintahannya sebagai modal politik untuk jabatan lebih
pretisius (anggota DPR RI misalnya), terbuka sangat lebar.
Dalam memilih pengganti Almarhum Samir Badu, Herson Mayulu
mesti memperhitungkan sang calon bukan hanya pasangan menggenapi tahun masa
jabatan yang tersisa. Menurut pendapat saya, calon yang diajukan harus
diperhitungkan sebagai tandem kepentingan masa jabatan kedua (kalau
Herson Mayulu memutuskan mencalonkan diri lagi). Artinya, selain calon Wabup
secara profesional harus memiliki kecocokan dan saling mengisi dengan Bupati,
dari pendekatan politik minimal mampu memberi kontribusi terhadap reputasi dan
keterpilihan Herson Mayulu.
Kebutuhan partner
profesional ditakar dengan kecerdasan, kematangan, kebijaksaan, dan kecocokan chemistry (ini bagian yang paling sulit)
dengan Bupati. Kecocokan chemistry
ini penting agar Bupati merasa nyaman luar-dalam, jauh dari was-was setiap saat
Wabup beralih jadi Brutus dan malah jadi pesaing utamanya di Pilbup mendatang.
Akan halnya aspek yang sepenuhnya politik, Herson Mayulu
harus mempertimbangkan sang calon bukan hanya bermanfaat untuk dia pribadi dan
PDI Perjuangan (sebagai partai pengusung utama), tetapi lebih luas dari itu sebagai ikhtiar membangun aliansi politik besar. Aliansi ini selain mendekatkan ‘’jarak
politik’’ antara Bupati dan DPR Bolsel, juga mengakomodir aspirasi mayoritas
masyakat.
Kerumitan aspek-aspek yang harus dipertimbangkan oleh Herson
Mayulu, dalam pandangan saya, harus dia bijaksanai dengan membuka perspektif
seluas-luasnya, termasuk mempertimbangkan menggandeng calon Wabup dari eks
pesaing di Pilbup 2010 lalu. Harus diakui, beberapa calon yang bertarung dengan
pasangan Herson Mayulu-Almarhum Samir Badu, juga berkualitas jempolan: Baik
dari komitmen membangun Bolsel, pengaruh sosial, budaya, dan politik, serta
keterterimaan masyarakat.
Kalau Herson Mayulu berani menggandeng salah satu di antara mantan
pesaingnya, setidaknya yang dianggap paling netral dan memberi nilai tambah maksimun
di jangka panjang, dengan kesepakatan politik tegas, dia akan tidur nyenyak
hingga akhir masa jabatan. Pun, bila ingin mencalonkan diri kembali atau
menapak tangga berikut karir politiknya, dia tahu sudah mengantongi dukungan
yang luas dan memadai.
Politik adalah investasi yang hasilnya bergantung pada
seberapa cermat para pelakunya menghitung, menegosiasikan, mengkompromikan, dan
memegang teguh kesepakatan. Herson Mayulu kini menggenggam kesempatan emas
itu.***