HANYA beberapa
menit setelah mengunggah Gegar dan Geger
Idola Cilik, nurani saya terluka. Informasi lebih lengkap tentang Ayu
Basalamah (yang bersangkutan sendiri menuliskan namanya dengan ‘’Ayhu’’) dan
derita yang dia pikul berdatangan. Hanya satu kata mengekspresikan simpati dan
empati saya terhadap Ayu: Terkutuk!
Ada beberapa versi peristiwa yang berawal dari cacian Ayu ke
Bupati Bolaang Mongondow Timur (Boltim), Sehan Lanjar, yang membuat dia
berakhir di sel Polsek Urban Kotabunan dengan kondisi babak-belur. Namun bila
diurut perbedaan di antara cerita yang lalu-lalang itu semata pada detil
tambahan, selebihnya sama.
Ayu mencaci Eyang (sapaan akrab Sehan Lanjar) lewat
percakapan BlackBerry Messenger (BBM)
dengan seseorang terkait gagalnya Novia Bachmid lolos ke tiga besar Idola Cilik
2013; BBM itu kemudian di-capture dan
menyebar cepat; Ayu dijemput untuk meminta maaf pada Eyang di Rumah Dinas
(Rudis) Bupati Boltim; Ayu dibogem hingga babak-belur; dan akhirnya diserahkan
ke Polsek Urban Kotabunan. Ketidak-sesuaian di antara urutan itu, bahkan
sekadar karang-karangan yang tercampur-aduk, tugas polisi mengusut tuntas versi
mana yang paling benar.
Namun rumor dan bisik-bisik, juga foto Ayu di tahanan Polsek
Urban, terlanjur menjadi konsumsi publik. Polisi, dengan alasan apapun, tak dapat
lagi menutup-nutupi dan me-86-an kejadian ini.
Agar tak terjebak turut menjadi tukang gosip, dengan
terlebih dahulu meminta maaf pada Eyang dan pihak-pihak terkait, BBM Ayu yang
patut diduga lancang itu adalah: Luji dgn
lanjar/Da bajanji mo bantu plsa ternyata ptarbale/Dsar bayaki manta/Da janji mo
sbar pulsa pa rakyat boltim ternyata nihil. Sedemikian menggunungnyakah dosa
yang telah diperbuat Ayu hingga dia harus diperlakukan dengan biadab dan
semena-mena?
Pertama,
percakapan BBM yang di-capture itu
tampaknya dilakukan hanya oleh Ayu dan seseorang. Bukan broadcast atau pernyataan di group
BBM yang biasanya beranggota lebih dua orang. Dengan kata lain, komentar Ayu
bersifat pribadi dan hanya untuk konsumsi seseorang yang sedang berkomunikasi
dengan dia lewat BBM.
Kalau kemudian pernyataan itu menyebar dan Ayu ‘’dianggap’’
melakukan tindak-pidana terhadap Eyang, maka semestinya orang pertama yang
ditangkap polisi adalah seseorang yang BlackBerry-nya
menerima pesan tersebut, meng-capture,
dan menyebarkan kemana-mana. Seseorang ini dapat dijerat dengan macam-macam
tuduhan, mulai dari provokasi hingga Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronika.
Kedua, kalau
Lanjar dalam BBM itu adalah Eyang, apa buktinya? Ayu tidak menyebutkan Sehan
Lanjar atau Eyang Lanjar, tetapi hanya ‘’lanjar’’. Bila pun yang dimaksud Eyang
dan merasa keberatan (terhina, dicemarkan, atau sekadar tersinggung), tindakan
yang patut adalah melapor ke pihak berwenang. Laporan ini harus datang dari
yang merasa dituding, yang dapat diwakilkan dengan surat kuasa, dan tidak oleh
pihak lain terlebih yang sekadar merasa sebagai orang dekat Eyang.
Tiga, merasa
terhina, dicemarkan, atau tersinggung harus dilandasi fakta bahwa yang
bersangkutan (dalam kasus Ayu adalah tudingan janji memberikan pulsa) tidak
pernah menjanjikan apa yang kemudian dicaci sebagai kebohongan. Andai ternyata
‘’Lanjar’’ yang dimaksudkan oleh Ayu pernah menjanjikan, keberatan apapun gugur
dengan sendirinya.
Keempat, membawa
Ayu menghadap Eyang untuk meminta maaf adalah tindakan yang jauh dari
bijaksana. Saya berkeyakinan,Eyang tidak pernah menginstruksikan orang-orang di
sekitarnya melakukan tindakan ala mafia itu. Walau, kita semua tahu, kelakuan
tercela ini adalah perilaku khas yang sejak lama menjadi praktek umum di
kalangan tukang jilat di Mongondow: Berinisiatif berlebihan demi pujian atau
agar kursi yang dia dapatkan dari pejabat publik yang sedang berkuasa makin
empuk.
Kelima, menganiaya
Ayu setelah pertemuan dengan Eyang (versi lain menyebutkan sebelumnya) lalu
menyerahkan ke Polsek Urban benar-benar perilaku tak terdidik. Barbar dan
biadab, terlebih bila Eyang mengetahui peristiwa itu dan tidak melakukan
tindakan pencegahan. Mafia Italia, Triad Cina, atau Yakuza Jepang yang kejamnya
tak terperih sudah lama meninggalkan cara-cara bodoh semacam ini. Masak sih Sehan Lanjar yang menitikkan airmata
melihat rakyatnya sakit atau berdiam di rumah tak layak huni berperan ganda
pula sebagai kepala gerombolan tukang pukul?
Yang mendidihkan darah, andai benar, konon yang melakukan
penganiayaan adalah ajudan Eyang. Sepengetahuan saya umumnya ajudan Kepala
Daerah berasal dari jajaran kepolisian. Ini satu lagi contoh perilaku
mentang-mentang yang ganjarannya semestinya pemecatan. Polisi goblok seperti
ini tidak layak dipertahankan bukan hanya di sekitar pejabat publik, tetapi
dari Kepolisian Republik Indonesia.
Mari kita tunggu dan lihat apa tindak-lanjut Kapolres
Bolaang Mongondow (Bolmong) dan Kapolda Sulwawesi Utara (Sulut). Apakah mereka
akan memberikan ketenteraman terhadap warga kebanyakan atau justru
meng-amin-kan perilaku tercela anggotanya; yang pada akhirnya memicu rakyat
main hakim sendiri.
Keenam, tindakan
Polsek Urban Kotabunan menjembloskan Ayu Basalamah ke dalam tahanan juga sama
sekali tak masuk akal. Atas laporan siapa dan pelanggaran pasal apa dari Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? Bagaimana dengan penganiaya Ayu?
Mereka melenggang begitu saja atas nama membela nama baik ‘’Lanjar’’ yang
disebut dalam BBM; atau karena pelakunya sesama aparat; atau tersebab para
bagundal itu adalah kaki-tangan Bupati?
Yang benar saja? Apakah seluruh jajaran kepolisian di
Mongondow sedang menantang rakyat di wilayah ini angkat parang dan tombak
karena kesewenang-wenangan yang mereka pertontonkan sudah melampaui akal sehat
dan toleransi kita semua? Polisi tampaknya ingin menguji nyali dan solidaritas
orang banyak yang kian hari kian merasa hukum tajam ke bawah tetapi majal ke
atas?
Ayu Basalamah mencaci seseorang bernama ‘’Lanjar’’ mungkin
perbuatan pidana; boleh jadi tidak karena dia hanya menuntut janji yang
diabaikan. Dia bersalah atau tidak, harus terlebih dahulu dibuktikan dengan
saksama dan sesuai prosedur (prosedur ini pula yang jadi kilahan utama setiap
kali aparat berwenang dipertanyakan kinerjanya), lalu akhirnya diputuskan di
pengadilan.
Merunut kembali nahas yang menimpa Ayu, bila sebelumnya
menurut hemat saya dia berhutang maaf dan ampunan pada Eyang; dengan makin
terangnya duduk-soal, justru Eyanglah yang mesti memohon pemaafan dari Ayu
Basalamah. Bahkan bukan hanya Eyang, melainkan juga Kapolres Bolmong yang
lengah mengontrol sepak-terjang jajaran di bawahnya.
Kalau Eyang dan Kapolres tak mengambil langkah apapun, saya
tidak akan menyesalkan atau mengutuk. Saya menghimbau orang Mongondow, di
seluruh daratan Mongondow, kali ini mari buktikan apa benar kita adalah
anak-temurun Bogani atau cuma kucing basah yang gemetar ditakuti sapu lidi.
Keberanian tertinggi yang diajarkan para leluhur adalah mengangkat apapun,
walau hanya pisau dapur pemotong bawang, membela ketidak adilan di depan mata.
Kita, orang Mongondow, mungkin adalah etnis yang santun dan
pemalu. Tetapi bukan penakut, apalagi menggigil hanya karena pangkat dan
seragam.***