INI kenangan dari
masa kanak. Karena ‘’belajar’’ sekolah di usia belum genap (sudah begitu tak
pernah pula mencicip bangku Taman Kanak-Kanak), saya tergolong bocah yang serba
kikuk: Bergaul dengan teman sekelas dianggap kecilan, bermain dengan sebaya
ditolak sebab sudah Sekolah Dasar (SD).
Cara paling aman adalah menempel dengan kakak-kakak kelas
yang lebih tua. Mengekor ke mana mereka bermain. Kalau yang dimainkan
sepakbola, saya bersukarela jadi penonton merangkap pemungut bola out yang sangat aktif. Peran penting ini
kurang lebih sama di permainan lain, entah itu bulu tangkis, kasti, atau
pingpong.
Lama-kelamaan ada di antara mereka yang –saya yakin-- jatuh
iba. Di permainan sepakbola saya diikutkan, walau lebih banyak lari dan
jatuhnya ketimbang menendang bola. Main bulu tangkis dijadikan lawan tanding
untuk pemanasan. Kasti, jadi pelengkap tim. Kakak-kakak sepermainan menyebut
posisi yang saya tempati sebagai ‘’mei-mei’’. Sekadar pelengkap atau lebih
halus lagi ‘’yang masih belajar’’.
Di masa dewasa, bahkan kini, ketika berhubungan dengan
kalangan yang jauh lebih belia, saya kerap menengok kembali memori kanak-kanak
dengan penuh syukur. Menjadi ‘’mei-mei’’ tidak pernah menciptakan perasaan
direndahkan. Saya justru memaknai kesediaan membagi kesempatan dari kawan-kawan
yang berusia lebih tua itu sebagai penghargaan.
Bedanya, pengalaman menjadi ‘’mei-mei’’ membuat saya selalu
meletakkan yang berusia belasan pun, untuk konteks-konteks tertentu, di anak
tangga dan derajat yang sama. Soal tulis-menulis, misalnya, saya bersedia
berdebat dengan yang paling amatir sekali pun. Kerap dengan sadis dan
menyakitkan. Tetapi itu karena saya menganggap yang dihadapi setanding dan
harus diperlakukan dengan serius.
***
Sabtu malam (16 Maret 2013) tatkala bakal calon
Walikota-Wakil Walikota (Wawali) Kota Kotamobagu (KK) 2013-2018, Toan
Tongkasi-Lucky Mangkey (TT-LM)yang diusung partai politik (Parpol) non seat usai didaftar, saya menerima
beberapa pesan pendek yang menulis pasangan ini sebagai ‘’kandidat mei-mei’’.
Penilaian ini sahih dan masuk akal. Selain diusung Parpol yang nir kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR), TT-LM tampaknya dipersatukan di menit-menit terakhir sebelum KPU resmi
menutup proses pendaftaran.
Secara pribadi, sebagai bagian dari warga yang lahir dan
tumbuh di KK (juga aktif mengikuti dinamika sosial-politiknya), dua nama ini
tidaklah familiar di kuping saya. Tapi Pilwako bukanlah kontes popularitas semata.
Saya yakin bila TT-LM punya ‘’sesuatu’’ yang layak ‘’dijual’’ ke konstiuen,
dilakukan dengan cara yang tepat dan efektif, bukan tidak mungkin satu-dua
pekan ke depan mereka berdua akan sangat populer di mata masyarakat KK.
Sama halnya dengan dua pasang kandidat lain, Nurdin
Makalalag-Sahat Robert Siagian (NM-SRS) dan Muhamad Salin Lanjar-Ishak R Sugeha
(MSL-IRS), yang ditetapkan oleh Parpol pengusung di kondisi kepepet. Mengikuti
proses penetapan tiga pasang kandidat itu, kesan ‘’apa boleh buat, buat apa
yang boleh’’, memang tak dapat dielakkan. Terlebih bila cara pikir yang
digunakan adalah opini yang sudah terbentuk selama ini, bahwa Pilwako KK adalah
arena pertarungan dua jagoan utama, Djelantik Mokodompit (DjM) dan Tatong Bara
(TB); sedang sisanya sekadar pelengkap kompetisi.
Dengan cermatan yang dingin dan rasional, pilihan TB
terhadap Jainudin Damopolii (JD) juga bukanlah berdasar pertimbangan rasional.
Setali tiga uang dengan DjM memilih Rustam Simbala (RS), yang tampaknya diletakkan
pada kepercayaan bahwa konstituen Partai Golkar (PG) dan PDI Perjuangan
seluruhnya juga bersepakat dengan elit-elit partainya. Padahal pengambilan
keputusan yang meremehkan konstituen seperti inilah yang membuat partai-partai
mayoritas justru kalah di banyak pemilihan kepala daerah (Pilkada) dalam lima
tahun terakhir.
Belajar dari Pilkada di Bolaang Mongondow Timur (Boltim) dan
Bolaang Mongondow (Bolmong) Induk, ribuan massa yang menyertai pendaftaran
TB-JD, juga DjM-RS, adalah indikator yang terlampau dini. Berapa banyak massa
yang dikerahkan Sehan Lanjar, yang kemudian terpilih menjadi Bupti Boltim, saat
mendaftar dibanding pesaingnya –ketika itu diusung PG—Sehan Mokoagow? Sama
halnya dengan massa yang mengusung Didi Moha yang hanya finis di urutan ketiga,
dikomparasi dengan pendukung Salihi Mokodongan yang akhirnya dilantik sebagai
Bupati Bolmong?
Konstituen KK adalah warga perkotaan yang semestinya lebih
rasional dan sadar politik. DjM dan TB yang kini masih menjabat Walikota dan
Wawali KK, diuntungkan opini publik yang sudah bergulir lama. Telah pula
terbentuk kelompok-kelompok yang menyatakan diri sebagai penyokong salah satu
di antara keduanya. Tetapi seberapa ideologiskah kelompok-kelompok itu? Apalagi
sampai tulisan ini dibuat kohesi di antara para pendukung DjM-RS dan TB-JD
masih sebatas pada atribut, pengaruh afiliasi partai, juga sentimen sosial;
bukan pada ide, visi, dan tawaran terobosan-terobosan signifikan menyentuh
kepentingan dan kebutuhan warga KK.
Tanpa mengesampingnya apa yang dicapai dua pasang kandidat
utama itu dan tim di belakang mereka, kecuali keuntungan satu langkah di depan
tiga pasangan yang lain, sesungguhnya mereka semua tak kurang dan lebih
‘’sama-sama mei-mei’’. Pasangan mana yang lebih dominan dibanding lainnya,
tergantung pada multi aspek: Strategi dan taktik yang dirumuskan, tim yang
mendukung, kreativitas mengelolah pilihan konstituen, dan (yang utama) tawaran
yang kongkrit menjawab kebutuhan KK dan warganya.
Kalau pada akhirnya semua pasangan kandidat terjebak pada copy paste mentah pendekatan politik
yang dipraktekkan di Pilkada lain (misalnya latah berkemeja kotak-kotak), pekan
ini saja pengamat politik paling amatir pun sudah dapat mengkonklusi hasil
akhir Pilwako KK. Urutannya tak jauh dari TB-JD, MSL-IRS, DjM-RS, NM-SRS, dan
yang paling buncit TT-LM.
Bagaimana mengubah prediksi itu? Karena berpikir butuh
energi dan perangkat pendukung (riset, bacaan, dan sebagainya), saya tentu tak
akan mengobral kiat-kiat dan trik memenangkan kursi Walikota-Wawali KK
2013-2018. Lagipula, siapa saya? Lebih penting lagi, memangnya ada pasangan
kandidat yang sedang masyuk dibuai elu-elu syawat politik yang bersedia merendahkan
hati menerima nasehat, sekali pun itu sedekah nasehat?***