BUPATI Bolaang Mongondow
Timur (Boltim), Sehan Lanjar, sekali lagi mengundang decak warga dan membuat
sejumlah birokrat bawahannya pontang-panting terpiuh-piuh. Selasa, 5 Maret
2013, mendadak Eyang –sapaan akrabnya—berkeliling, masuk-keluar pemukiman,
menunggang sepeda motor ber-CC besar.
Sebagian orang menyebutkan yang ditungganggi Eyang adalah
BMW, ada pula yang menyebut Harley Devidson (HD). Menurut Tribun Manado yang mempublikasi kunjungan mendadak (Kundak –sebagai
versi tidak resmi inspeksi mendadak atau Sidak) Eyang, Sehan Menitikkan Air Mata Lihat Warganya (http://manado.tribunnews.com/2013/03/06/sehan-menitikkan-air-mata-lihat-warganya),
yang dia gunakan adalah HD.
Buat saya, Eyang mau menunggang HD, kuda, atau meminjam sapi
Bali yang sedang digembalakan di Togid, tidaklah penting. Kebiasaannya yang kerap
menerabas protokoler, membuat pening ajudan, sekretaris pribadi (Sespri), dan
birokrat Boltim umumnya, patut diberi empat jempol (dua jempol tangan dan dua
jempol kaki).
Saya tidak bosan menuliskan bahwa mengenal –dan berkawan— dengan
Eyang adalah kebanggaan. Dia tidak berubah, dari seorang calon Bupati yang
hanya memajang beberapa baliho berukuran sedang, menjadi Bupati dengan
popularitas meng-Indonesia, Eyang tetaplah sosok yang tak banyak berubah.
Satu-satunya perubahan yang menonjol, barangkali, adalah dengan percaya diri
dia kini berucap, ‘’Jang bagitu, Bupati
ini….’’ Tentu sembari cengar-cengir dan memasang wajah tak berdosa.
Jauh sebelum Joko Widodo (Jokowi) terpilih sebagai Gubernur
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dan membudayakan blusukan (masuk-keluar pemukiman dan kawasan lain yang berada di
bawah wewenangnya), Eyang sudah mempraktekkan tanpa banyak publikasi. Menurut
saya, Eyang bahkan boleh dibilang satu-satunya Bupati di Mongondow yang tidak
sungkan ngelayap di bawah pohon
kelapa, meniti litir, dan nongkrong reriuangan di leput.
Dia tetap orang kampung seperti yang selalu diakui tanpa
malu-malu. Dia juga tidak berusaha memaksakan diri bergaya pejabat agar
dihormati dan disegani, sebagaimana kebanyakan elit politik dan birokrasi di
Mongondow. Kediamannya (baik rumah jabatan maupun pribadi) terbuka setiap saat.
Begitu bebasnya berhubungan dengan Eyang, salah seorang wartawan pernah menulis
di status Blackberry (BB)-nya: Gampang skali maso kaluar di rumah jabatan
Bupati Boltim, maar Bupati Boltim susah skali mo kaluar dari rumah.
***
Eyang memang ‘’ajaib’’. Ketika melakukan Kundak dan
menemukan masalah, terutama yang berkaitan dengan nasib ‘’orang kecil’’, dia
bisa sangat mudah tersentuh dan implusit. Terlebih bila warga yang ditemuinya
bukan hanya dalam kesulitan, tetapi kondisinya benar-benar merana bagai pepatah
‘’sudah jatuh tertimpa tangga’’ pula.
Tangisan Eyang tatkala menemukan warganya, Mashita Piri yang
telah 13 tahun sakit –bahkan tiga tahun terakhir kedua kakinya lumpuh--,
bukanlah akting seorang politikus. Tidak pula ditujukan untuk konsumsi media demi
pecitraan sebagai orang baik. Eyang yang saya kenal benar-benar ditonjok hati
kecilnya oleh derita yang dipikul Mashita.
Hati manusia adalah samudera penuh misteri. Siapa yang mampu
mengukur? Kita hanya mampu menakar sincerity
(ketulusan) seseorang, bahkan bukan dengan akal, melainkan ‘’rasa’’. Ketika
Eyang menitikkan air mata, menanyakan apakah gubuk yang didiami Mashita milik
sendiri atau bukan, dia sedang mengalirkan ketulusan. Saya tidak heran bila
pemilik tanah di mana gubuk itu berdiri spontan –dan sukarela—menghibahkan
tanahnya untuk Mashita. Saya tak pula kaget kalau tindakan itu diikuti beberapa
orang berpunya lain yang ada bersama Eyang saat itu. Saya tak pula takjub besok
menyua gubuk milik Mashita Piri telah berubah jadi rumah sehat layak huni.
Ketulusan Eyang terhadap orang-orang kecil dibarengi bakat
alamiahnya mempengaruhi orang banyak. Ditambah tindakan spontan lain, seperti
mengancam akan mencopot para birokrat yang mempersulit pelayanan kesehatan
untuk warga kurang berdaya, memperkuat resapan pengaruh tindakannya terhadap
orang banyak.
Tulus, secara alamiah berhati baik, spontan, dan satu lagi:
Eyang tidak pernah melupakan kebaikan orang, sekecil apapun itu. Saya yakin
kerelaaan Abdullah Gaffar Ligawa yang menghibahkan tanahnya pada Mashita Piri
dan Ko’ Inyo dari Kayumuy yang mengikhlaskan dua kavlin tanahnya untuk warga
tak mampu (sebagaimana yang ditulis Tribun
Manado), bakal melekat dalam ingatan Eyang.
Perilaku Eyang itu bukan tanpa cacat. Kebiasaan mudah jatuh
iba dan impulsifnya membuka celah dimanfaatkan oknum-oknum yang pintar mendekat
dan mengambil hati. Maka dia memang harus dipagari oleh orang-orang yang
berpikir lebih tenang, strategis, taktis, dan jangka panjang. Mencopot seorang
pejabat hanya karena satu informasi in situ misalnya, adalah sikap
sewenang-wenang dan tidak fair.
Sebaliknya, mempertahankan seseorang karena dia memboyong anak-istri dan
melelehkan air mata di hadapan Eyang, juga kelemahan yang tidak boleh
ditolerir.
***
Di balik sukses tiap laki-laki hebat selalu ada seorang perempuan
luar biasa. Yang jadi penopang, pemberi semangat, bahkan menyediakan shoulder to cry on. ‘’…. inilah tempat yang damai/di mana gelora dosa diredakan/tempat
membasuh kaki yang payah/yang telah berjalan dengan resah/menempuh kekosongan dan
kebimbangan/’’ tulis WS Rendra dalam Sawojajar
5 Jogya.
Eyang tergolong laki-laki beruntung karena didampingi Ny
Nursiwin Lanjar-Dunggio yang tampaknya memberikan dukungan tanpa reserve terhadap segala tindakannya,
termasuk yang ‘’gila’’ sekali pun. Pada istrinya, sebagaimana yang saya amati
dari perkawanan dengan Eyang selama ini, dia menemukan oase, kawan –termasuk
dalam senda gurau--, lawan tanding, dan juga tempat bersandar.
Di percakapan-percakapan pribadi kami, Eyang suka
membanggakan bagaimana istrinya berperan besar membuat dia tetap optimis di
saat paling sulit dan menjaga kewarasannya ketika nasib baik sedang
membuai-buai. Tanpa bermaksud menyanjung, Ny Nursiwin yang akrab dikenal
sebagai Umi Siwin juga memainkan peran dengan apik di belakang panggung
(publik) Eyang.
Dia mendukung Eyang tanpa keinginan tampil melangkahi sang
suami. Padahal aktivitas sosialnya, sebagaimana yang ditulis Tribun Manado, Ketua PKK Boltim Janji Tindaklanjuti Kasus Gizi Buruk (http://manado.tribunnews.com/2013/03/06/ketua-pkk-boltim-janji-tindaklanjuti-kasus-gisi-buruk),
layak mendapat sorotan setara dengan Eyang.
Di atas semua itu, yang amat saya kagumi dari pasangan
Bupati dan Ibu Bupati Boltim ini, adalah rileksnya mereka dalam segala hal.
Kisah bagaimana Eyang mengajak Umi Siwin menonton film Habibie & Ainuna adalah salah contoh bagaimana mereka saling
menerima dan memaknai satu sama lain dengan keluasan yang nyaris tanpa batas.
Tersebutlah, popularitas Habibie
& Ainun menggoda Eyang
untuk mengajak Umi Siwin menonton. Usai diharu-biru kisah cinta mantan Presiden
BJ Habibie dan Hasri Ainun Habibie, Eyang tak kuasa menahan diri tak
berkomentar. Dengan cengar-cengir khasnya, Eyang menyelutuk pada Umi Siwin,
"Ngana nimbole jadi Ainun, karna
gampang orang sogok."
Umi Siwin yang
selalu tak kurang jurus, mengeluarkan langkah skak mati, "Ti Aba juga tidak sama dengan Habibie, karna pang ba
akal...."
Sehebat apapun
Bupati Boltim, Umi Siwin memang selalu punya senjata pamungkas. Dia adalah rem,
penyeimbang, serta alarm akal sehat dan perilaku Eyang sebagai pribadi maupun
pejabat publik.***